TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Perludem: Penjabat Kepala Daerah dari TNI-Polri Cederai Reformasi

Penjabat kepala daerah lebih ideal dari ASN karier

Ilustrasi Pemilu. (IDN Times/Mardya Shakti)

Jakarta, IDN Times - Kekosongan jabatan gubernur pada 2022 dan 2023 bisa menjadi celah masuk para perwira tinggi TNI-Polri menjadi penjabat sementara. Sebab, sudah ada contohnya pada 2018.

"Ya memang itu tidak ideal, kalau penjabat dari TNI-Polri. Posisi kepala daerah ini kan walau pun penjabat ini kan posisi sipil, lalu ini jabatan politik, sementara dari sisi organisasi TNI-Polri adalah organisasi yang netral, bebas dari kepentingan politik," ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Agustyati, kepada IDN Times, Rabu (6/10/2021).

Nisa mencontohkan Menteri Dalam Negeri (2018) Tjahjo Kumolo, mengangkat perwira tinggi Polri Irjen M Iriawan sebagai penjabat di Jawa Barat dan Irjen Martuani Sormin di Sumatra Utara. Nisa menilai, bila pemerintah menunjuk perwira tinggi TNI-Polri sebagai penjabat gubernur, bisa mencederai semangat reformasi.

"Semangat reformasi juga salah satunya sudah memisahkan bahwa TNI-Polri tidak melakukan peran-peran sipil lagi," ucapnya.

Baca Juga: KPU Pastikan Pilkada 2022 dan 2023 Diundur ke 2024

Baca Juga: Penjabat Gantikan Sementara Kepala Daerah di 2022-2023, Bakal Kacau?

1. Penjabat kepala daerah sebaiknya diisi ASN karier

Ilustrasi pilkada serentak. IDN Times/Mardya Shakti

Nisa mengatakan, penjabat kepala daerah lebih baik diisi aparatur sipil negara (ASN) karier. Sebab, mereka lebih memahami birokrasi di daerah.

"Nah, kalau dibandingkan antara ASN karier dengan TNI-Polri sebetulnya mungkin ASN karier lebih bisa beradaptasi dengan birokrasi di daerah, karena memang mereka birokrat dibandingkan dengan TNI-Polri. Jadi dari cara tata kelola kerjanya pasti berbeda," katanya.

2. Undang-undang tak tegas melarang TNI-Polri jadi penjabat kepala daerah

Ilustrasi pilkada serentak. IDN Times/Mardya Shakti

Berdasarkan Pasal 201 Undang-Undang 10 Tahun 2016, orang yang berhak mengisi penjabat gubernur adalah mereka yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya. Mereka akan mengisi hingga ada gubernur definit yang terpilih. Kemudian untuk penjabat bupati atau wali kota, akan diisi jabatan pimpinan tinggi pratama hingga adanya pejabat definitif terpilih.

"Jadi sebetulnya undang-undang tidak membolehkan dan tidak ada larangannya juga. Karena tadi, pratama dan madya, sehingga di sini menjadi celah masuk, karena di struktur TNI dan Polri juga ada jabatan madya dan pratama itu," kata Nisa.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya