TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Wamenkumham: Pasal Pencemaran Nama Baik Dihapus dari RKUHP

Hakim juga tidak boleh memvonis langsung hukuman mati

Wamenkumham Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum dalam Konferensi Nasional Keadilan Restoratif (Youtube/ICJR)

Jakarta, IDN Times - Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edwar Omar Sharif Hiariej atau Eddy mengatakan pemerintah bersama DPR telah sepakat akan menghapus pasal pencemaran nama baik dan penghinaan di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Transaksi Elektronik.

Penghapusan itu dilakukan melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Hal yang penting diketahui, pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum itu dihapuskan, itu kemudian kami tambahkan ada pasal 240 RKUHP terkait penghinaan terhadap pemerintah, yang itu juga sangat dibatasi, bahwa pemerintah di sini adalah lembaga kepresidenan," ujar Eddy di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (27/11/2022).

"Sementara, penghinaan terhadap lembaga negara itu, terbatas legislatif yaitu DPR MPR DPD, sementara terhadap yudikatif hanya dibatasi untuk MA dan MK, dan itu delik aduan," sambungnya.

Baca Juga: Pasal Karet UU ITE dan 14 Pasal Bermasalah RUU KUHP Ancam Jurnalis

Baca Juga: DPR Dinilai Ngegas, Masyarakat Sipil Desak Pengesahan RKUHP Ditunda

1. DPR minta ada pasal yang bisa jadi pedoman hukum yang hidup di dalam masyarakat

Gedung DPR RI (IDN Times/Kevin Handoko)

Dalam kesempatan itu, Eddy mengatakan, DPR juga meminta adanya pasal untuk jadi pedoman hukum yang hidup di dalam masyarakat, atau living law.

"Fraksi-fraksi DPR meminta agar ada PP yang jadi pedoman untuk penyusunan perda (peraturan daerah) terkait dengan living law itu," kata dia.

2. Hakim tidak bisa langsung memvonis hukuman mati

Sidang di Pengadilan Negeri (PN) Simpang Tiga Redelong dipimpin Ahmad Nur Hidayat sebagai hakim ketua dengan dibantu dua hakim anggota, Muhammad Abdul Hakim Pasaribu serta Beny Kriswardana. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Lebih lanjut, Eddy mengatakan, pemerintah dan DPR juga sepakat kalau hakim tidak boleh langsung menjatuhkan hukuman mati. Dia mengatakan, bagi terdakwa yang akan dijatuhi hukuman mati harus dipenjara 10 tahun terlebih dahulu.

"Perkembangan sangat berarti bagi HAM yaitu pidana mati, jadi dengan diberlakukan KUHP baru, pidana mati selalu dijatuhkan secara alternatif dengan percobaan, artinya hakim tak bisa langsung memutuskan pidana mati, tapi pidana mati itu dengan percobaan 10 tahun," ucap dia.

"Jika dengan jangka waktu 10 tahun terpidana berkelakuan baik, maka pidana mati diubah pidana seumur hidup, atau pidana 20 tahun," sambungnya.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya