TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Marak Pelecehan Seksual di Kampus, Bagaimana Mengatasinya?

Masih adakah ruang aman untuk perempuan?

Google

Jakarta, IDN Times – Belakangan ini, publik disuguhi rangkaian kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan. Mirisnya, kasus-kasus ini tidak cukup membangkitkan gerakan perlawanan masif.

Komnas Perempuan sendiri mengidentifikasi 9 bentuk kekerasan seksual yang penting untuk kita ketahui seperti dilansir dari laman komnasperempuan.go.id. antara lain, perkosaan, pencabulan, pelecehan, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, dan pemaksaan aborsi.

Baca Juga: Ini Alasan PKS Tolak Draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

1. Kasus Agni: korban perlu keadilan

unsplash.com/Mihai Surdu

Kasus terakhir yang menyita perhatian publik adalah soal Agni (bukan nama sebenarnya), salah seorang mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM). Ia mengalami kekerasan seksual dari rekan sekampus (HS) pada 30 Juni 2017 saat menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku.

Kasus ini menjadi isu nasional setelah media mahasiswa UGM, Balairungpress, mengungkapkannya secara detail mengenai dugaan serangan seksual yang dialami oleh Agni.

Apa yang dialami Agni, di mana ia malah disamakan dengan “ikan asin” yang memancing kekerasan seksual laki-laki. Hal ini menegaskan bahwa kaum perempuan selalu dibelenggu oleh superioritas berpikir kultural sekaligus struktural yang melahirkan keterbatasan daya dan keberanian kaum perempuan untuk melakukan perlawanan terhadap ancaman kekerasan yang merenggut keselamatan dan masa depannya.

Salah satu yang penting dimunculkan dalam RUU Penghapusan Seksual dari tahun 2018, bagaimana korban sudah sampai 348 ribu pelapor.

“Kita perlu memberitahu bahwa betul ada pemerkosaan. Pemerkosaan yang ditulis dalam KUHP, misalnya, yang ada unsur pemaksaan ketidaksadaran itu terjadi ketika pelakunya itu adalah orang asing. Data-data keras dari lapangan tentang bagaimana kekerasan itu terjadi perlu disosialisasikan dan dilaksanakan,” ujar Saras Dewi saat diskusi di Ruang Komunal (Facebook), Jakarta.

2. Korban sulit melapor karena masih ada stigma kuat yang mempengaruhi

Ilustrasi pelecehan seksual. (IDN Times/Sukma Shakti)

Salah satu yang menjadi alasan korban sulit melapor ialah lantaran merasa pelecehan terjadi karena diri sendiri yang salah dan membiarkan ini terjadi. Akhirnya, menimbulkan self blaming atau perilaku menyalahkan diri sendiri. Korban yang merasa tidak mempunyai hak juga menjadi pemicu sehingga pemikiran semacam itu telah mengakar dan sulit didobrak.

Saat itu, Balairung berambisi agar Agni berani melapor atas kasus yang dialami oleh dirinya. Publik harus mengetahuinya karena ini menyangkut kepentingan publik yang sedang disakiti. Namun, ternyata bukan seperti itu caranya.

Yang perlu digarisbawahi adalah hak untuk melapor itu ada di korban. Korban tidak perlu dipaksa untuk bercerita. Ketika memaksanya, justru akan menambah beban di pundak korban. Menurut Citra Maudy, mahasiswa yang juga jurnalis dari BPPM Balairung, yang perlu disediakan selain harus mendengarkan, pihaknya juga harus mencari tahu bagaimana caranya dan mendiskusikan jalan keluarnya.

3. Hal tabu harus didobrak

IDN Times/Rini Oktaviani

Di Indonesia, ketika bicara konteks, budaya malu masih membelenggu ketika berkaitan dengan respons masyarakat terhadap kasus pelecehan seksual.

Yang menjadi poin penting adalah mungkin pengalaman “pendobrak” apa yang tabu di masyarakat. “Di kalangan lingkungan kita, hal tersebut memang terkadang menyakitkan. Tetapi jangan salah, masyarakat itu belajar kok. Maksudnya, proses itu tetap jalan,” kata Citra.

Tabu bisa dihancurkan dengan salah satu cara yaitu dibicarakan terus menerus sehingga menjadi sesuatu yang biasa didengar. Ketika sudah menjadi biasa, berarti itu bukan menjadi hal yang tabu lagi.

“Kita bisa memberikan narasi yang lain supaya perdebatan di publik itu terus ada dan akhirnya publik jadi belajar sendiri. Saya rasa Balairung sudah memecahkan salah satu hal yang tabu itu,” tambah Eka Kurniawan, sastrawan kondang Indonesia.

Baca Juga: Alasan PKS Tolak RUU PKS: Tak Selaras Nama dan Definisi 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya