TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ini Biang Kerok Politisi dan Pejabat Getol Rampok Uang Rakyat

Pembiayaan politik yang mahal sebenarnya bisa disiasati

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (3/12/2020) (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah mengatakan, mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan dalam pemilu presiden (pilpres), pemilu legislatif (pileg), dan pemilihan kepala daerah (pilkada), menjadi 'bumerang' keberlangsungan sistem demokrasi dan keberadaan partai politik di Indonesia.

"Hal itu melahirkan praktik-praktik korup yang dilakukan para politisi atau pejabat yang terpilih. Karena keterpilihan mereka tidak ditentukan kualitas dan kapabilitasnya, tapi 'isi tas' atau besaran dana politik yang bersumber dari kantong pribadi atau dari penyandang dana," kata Fahri dilansir ANTARA, Minggu (5/9/2021).

Baca Juga: 7 Pasutri Pejabat Negara yang Ditangkap KPK karena Garong Uang Rakyat

1. Politisi berlomba mengembalikan biaya politik dengan korupsi

Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah (IDN Times/ Margith Damanik)

Mantan Wakil Ketua DPR RI itu mengatakan, kerusakan sebuah negara demokrasi, bisa dilihat setidaknya dari tingkah laku parpolnya, terutama yang masuk dalam lingkaran kekuasaan.

Fahri mengaku tak heran apabila para politisi atau pejabat terpilih dalam jabatan tertentu, maka yang terpikir pertama kali adalah bagaimana mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan agar 'balik modal'.

Mantan politikus PKS itu menyebut, hampir tidak ada klaster politik yang tidak ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kasus terbaru seorang anggota DPR dari Fraksi NasDem Hasan Aminuddin bersama istrinya yang merupakan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari yang kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) penyidik KPK.

"Segera dilakukan pembenahan agar parpol dan sistem demokrasinya sehat. Partai politik itu sebenarnya lembaga pemikiran untuk mengintroduksi cara berpikir dalam penyelenggaraan negara, namun sekarang justru menjelma menjadi mesin kekuasaan," ujarnya.

2. Pembiayaan politik yang mahal sebenarnya bisa disiasati

Terpidana kasus mega korupsi KTP Elektronik Setya Novanto yang merupakan eks Ketua Umum Partai Golkar (ANTARA FOTO/Putra Haryo Kurniawan)

Fahri menilai pembiayaan politik yang mahal sebenarnya bisa disiasati dan ditekan seminimal mungkin dengan berbagai cara, misalnya menggelar pertemuan secara virtual dibandingkan bertemu dengan cara bertatap muka.

Fahri pun mengkalim Partai Gelora akan berusaha memutus 'lingkaran setan' tersebut, karena pertarungan politik adalah pertarungan rakyat, bukan pertarungan pribadi atau partai politik.

Menurut dia, negara yang beres sistem politiknya harus bebas korupsi, sehingga sistemnya harus ditata dan dikelola dengan baik, termasuk soal pembiayaan politik.

"Saya juga tidak mau kalau calon anggota legislatif (caleg) dibiayai partai, karena kalau dia bersalah, partai politik akan mengambil kepemilikannya," kata Fahri.

Baca Juga: Peta Politik Pilpres 2024, Diprediksi Memunculkan 3 Pasangan Calon

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya