TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kepala Daerah Boleh Dukung Pasangan Capres-Cawapres?

Fenomena kepala daerah dukung pasangan capres kini marak

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Artikel ini merupakan jawaban dari pertanyaan terpilih yang masuk ke fitur #MillennialsMemilih by IDN Times. Bagi pembaca yang punya pertanyaan seputar Pilpres 2019, bisa langsung tanyakan kepada redaksi IDN Times.

Jakarta, IDN Times - Sejumlah kepala daerah ramai-ramai mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2019. Yang menjadi pertanyaan, apakah mereka diperbolehkan menyampaikan dukungan secara terang-terangan kepada pasangan calon tertentu?

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sejatinya kepala daerah diperbolehkan memberikan dukungan secara terbuka kepada pasangan calon presiden tertentu, namun ada syaratnya. Apa saja syaratnya?

Baca Juga: DPT Pemilu 2019, Pemilih Perempuan Lebih Banyak dari Laki-Laki

1. Kepala daerah diperbolehkan memberikan dukungan kepada pasangan capres-cawapres

IDN Times/Ilyas Listianto Mujib

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, disebutkan kepala daerah diperbolehkan memberikan dukungan politiknya kepada pasangan capres-cawapres. Namun, dukungan tersebut ada ketentuan yang harus dipenuhi.

Pasal 281 ayat (1) disebutkan Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota harus memenuhi ketentuan.

Ketentuan pertama, mereka tidak boleh menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua, menjalani cuti di luar tanggungan negara.

Ayat (2) disebutkan cuti dan jadwal cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disebutkan, dilaksanakan dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan kata lain, cuti tersebut tidak mengganggu jalannya pemerintahan.

Sementara, ayat (3) berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU."

2. Sejumlah kepala daerah mendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf

IDN Times/Teatrika Handiko Putri

Sederet kepala daerah terang-terangan mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01, Joko 'Jokowi' Widodo-Ma'ruf Amin.

Kepala daerah yang mendukung Jokowi-Ma'ruf antara lain Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Bali Wayan Koster.

Gubernur NTT Viktor Laiskodat, Gubernur Papua Lukas Enembe, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak, Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran, dan Wakil Gubernur Terpilih Maluku Utara Rivai Umar.

3. Mendagri memperbolehkan kepala daerah mendukung pasangan capres-cawapres

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan tidak masalah jika kepala daerah ikut aktif mendukung pasangan calon presiden-wakil presiden pada Pilpres 2019.

Namun, Tjahjo menyebutkan, dukungan kepala daerah itu harus sesuai dengan aspirasi mayoritas masyarakat di daerahnya. Karena itu, dukungan kepala daerah kepada pasangan capres tidak harus sama dengan dukungan partai politiknya.

Sementara, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Abhan menuturkan, kepala daerah boleh menjadi tim kampanye pasangan capres-cawapres, namun tidak dibolehkan menduduki ketua tim kampanye pasangan capres. Menurut dia kepada daerah bisa membantu kampanye pasangan capres pada saat mereka libur akhir pekan atau saat cuti.

4. Fenomena mendukung capres-cawapres bukti demokrasi telah bergeser

Dok. IDN Times/TKN Jokowi-Ma'ruf

Pengamat politik Universitas Muhammadiyah Kupang Ahmad Atang menilai fenomena kader partai mendukung pasangan capres-cawapres yang tidak didukung partainya pada Pilpres 2019, membuktikan demokrasi Indonesia telah bergeser.

"Fenomena dukung-mendukung merupakan hal yang wajar dalam politik, tetapi harus dipahami bahwa demokrasi kita hari ini telah bergeser dari demokrasi representatif ke demokrasi partisipatif, dan dari demokrasi institusi ke demokrasi individu," kata Ahmad dikutip dari kantor berita Antara, Selasa (18/12).

Mantan Pembantu Rektor I UMK itu menyatakan fenomena dukung mendukung pasangan capres-cawapres pada Pilpres 2019 merupakan hal wajar dalam politik. Hal ini juga merujuk pada konsep politik persepsi publik terhadap figur.

"Semakin tinggi ekspektasi publik terhadap figur itu positif, akan mendorong publik memberikan dukungan kepadanya, begitu juga sebaliknya," tutur Ahmad.

Dengan demikian, Ahmad menyimpulkan, kedua figur yang akan bertarung pada Pilpres 2019, memunculkan fenomena partisan politik lokal memberi dukungan yang berbeda dengan sikap koalisi partai di pusat.

Kendati, fenomena banyaknya kepala daerah yang mendukung Jokowi-Ma'ruf, sementara partainya mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menunjukkan adanya pembangkangan politik yang dilakukan kader partai.

"Di sini, kader daerah lebih melihat figur Jokowi bukan partai," ucap dia.

Menurut Ahmad, jika dilihat dari aspek hirarkis organisasi politik, tindakan tersebut merupakan perlawanan internal. Namun, harus dipahami bahwa demokrasi hari ini telah bergeser dari demokrasi representatif ke demokrasi partisipatif, dan dari demokrasi institusi ke demokrasi individu.

Figuritas, menurut Ahmad, memainkan peran penting dalam membangun image politik untuk meraih dukungan. Faktor lain adalah, politik merupakan sesuatu yang kontekstual, sehingga ketika konteks lokal lebih menguntungkan mendukung Jokowi, tidak ada pilihan lain melawan arus. Sehingga kepentingan lokal menjadi alasan pembangkangan yang dilakukan kader partai di daerah.

Baca Juga: Cegah Peretasan Penghitungan Suara, KPU Rangkul Hacker di Pemilu 2019

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya