TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Adu Gagasan Anti Korupsi Jokowi-Prabowo, Siapa yang Lebih Unggul?

Keduanya kompak ingin memperkuat KPK

(Ilustrasi dua pasang calon presiden) IDN Times/Sukma Shakti

Jakarta, IDN Times - "Untuk terbebas dari korupsi, maka harus diciptakan pemerintahan yang bersih. Pemerintahan yang bersih bisa dilakukan apabila ada dua hal pembangunan sistem dan rekrutmen dengan sistem yang terbuka," ujar Jokowi ketika berbicara dalam sesi debat calon presiden bersama Jusuf "JK" Kalla pada 2014 lalu. 

Itu merupakan visi dan misi Jokowi-JK untuk bisa membersihkan penyakit bernama korupsi dari Indonesia. Cara mewujudkan pembangunan sistem itu, kata Jokowi direalisasikan dengan membuat semua hal menjadi elektronik sehingga bisa dipantau oleh publik. 

Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan fokus Jokowi-JK ketika itu juga mengkerucut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi agar lembaga antirasuah itu bisa independen, sehingga upaya penegakan hukum lebih terjaga. 

Bahkan, dalam wawancara dengan stasiun televisi NET pada musim kampanye 2014, mantan Gubernur DKI Jakarta mengatakan ingin menambah anggaran untuk KPK. Apabila lembaga antirasuah itu kekurangan penyidik, maka saat itu terpilih, penyidik tersebut akan ditambah.

Sementara, Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Hatta Rajasa di Pilpres 2014 lalu juga mengklaim ingin memperkuat KPK. 

"Caranya dengan menitikberatkan pada penambahan personel penyidik. Selain itu, masih ada sejumlah penguatan tambahan untuk mencegah tindakan politisi yang ingin mengurangi wewenang KPK," kata Ade 2014 lalu. 

Kini, Jokowi kembali bertemu Prabowo di pilpres 2019. Namun, kali ini dengan pasangan cawapres yang berbeda. Jokowi menggandeng Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin. Sedangkan Prabowo memilih didampingi oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno. 

Dalam hal program pemberantasan korupsi, apabila dilihat dari visi-misinya, keduanya juga masih memiliki tujuan yang sama yaitu memperkuat KPK. Hanya saja, bagi Jokowi, upaya itu sering kali gagal ditunjukkan. Bahkan, di tahun pertama ia memimpin sebagai Presiden, pimpinan lembaga antirasuah justru digoyang. 

Lalu, apa saja janji Jokowi yang tidak terpenuhi dan apa yang berbeda dari programnya kali ini dalam pemberantasan korupsi? Bagaimana dengan program pemberantasan korupsi di kubu Prabowo? Apakah justru jauh lebih baik dari kubu Jokowi? 

Baca Juga: Deretan Kepala Daerah yang Terjaring OTT KPK Sepanjang 2018

1. Jokowi belum berhasil memperkuat KPK

Gedung KPK. (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Beberapa bulan usai menjabat sebagai Presiden, konflik justru langsung mengerumuni KPK. Konflik bermula dari adanya pergantian Kapolri. Di saat Komjen (Pol) Budi Gunawan sudah melewati fit and proper test di parlemen untuk menjadi orang nomor satu di Trunojoyo, KPK yang ketika itu dipimpin oleh Abraham Samad, menjadikannya sebagai tersangka dalam kasus kepemilikan rekening gendut. Akibatnya fatal, pimpinan KPK termasuk Abraham justru dikriminalisasi. 

Gara-gara konflik tersebut, kinerja KPK terhambat. Tidak ada pengungkapan kasus korupsi yang signifikan di tahun pertama di era kepemimpinan Jokowi-JK. 

Pimpinan KPK akhirnya diganti. Setelah melalui proses seleksi terpilih lah lima pimpinan yang hingga kini dikenal yaitu Agus Rahardjo (Ketua), Laode M. Syarif (Wakil Ketua), Basaria Panjaitan (Wakil Ketua), Saut Situmorang (Wakil Ketua) dan Alexander Marwata (Wakil Ketua). Namun, omongan dan spekulasi yang menyebut masing-masing dari pimpinan itu mewakili berbagai kepentingan terdengar nyaring saat proses seleksi dilakukan di tahun 2015. Mantan petinggi KPK, Johan Budi malah tidak dipilih oleh anggota Komisi 3 DPR. 

Dalam pandangan Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Yogyakarta, Oce Madril, Jokowi jelas gagal memperkuat lembaga antirasuah. 

"KPK sering kali dilemahkan melalui adanya keinginan revisi UU KPK, kriminalisasi terhadap pimpinan KPK dan penyerangan terhadap pegawai KPK menjadi masalah yang serius dan harus diselesaikan," ujar Oce dalam keterangan tertulis pada 10 Desember 2018 lalu. 

Berikut data adanya upaya pelemahan KPK yang terjadi di era kepemimpinan Jokowi-JK: 

  • Masuknya delik korupsi dalam R-KUHP
  • Penyiraman air keras terhadap penyidik senior Novel Baswedan 
  • Adanya sidang hak angket yang meminta KPK membuka rekaman video pemeriksaan anggota DPR dari Partai Hanura, Miryam S. Haryani soal "nyanyian"nya ke penyidik
  • Teror bom ke kedua rumah pimpinan KPK
  • Teror penyiraman air keras ke mobil dan bom ke salah satu penyidik KPK, Afief Yulian Miftach

2. Masih banyak memiliki utang kasus besar dan cenderung fokus ke upaya penindakan

(Ilustrasi gedung KPK) ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

Dalam catatan PUKAT, pemberantasan korupsi di era pemerintahan Jokowi-JK juga mengabaikan tindak lanjut dari pengusutan kasus-kasus besar dengan nilai kerugian negara mencapai triliunan. Direktur Eksekutif PUKAT, Oce Madril mengakui KPK sudah mulai menyentuh beberapa kasus besar seperti pengadaan KTP Elektronik, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan Bank Century.

"Tetapi kasus-kasus mega korupsi itu belum sepenuhnya diusut tuntas. Dalam kasus BLBI misalnya, KPK baru menjatuhkan vonis terhadap mantan Kepala BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) Syafruddin Arsyad Tumenggung. Namun, sejatinya ia masih sebagian kecil dari bagian lain yang belum diusut dari kasus korupsi," kata Oce. 

Dalam kasus e-KTP, pengusutan kasusnya terkesan mandek setelah sahabat dan keponakan Setya Novanto dijatuhi vonis. Made Oka Masagung dan Irvanto Pambudi, masing-masing dijatuhi vonis selama 10 tahun penjara. Namun, setelah itu, tidak ada lagi kelanjutannya.

Kelanjutan pemeriksaan terhadap politisi Partai Golkar, Markus Nari belum ada. Padahal, ia menyandang dua status tersangka, pertama karena diduga terlibat korupsi proyek e-KTP dan kedua, karena telah menghalangi penyidikan. 

KPK justru seolah mengerahkan banyak tenaga untuk melakukan upaya penindakan bernama Operasi Tangkap Tangan (OTT). Angka OTT dari tahun ke tahun semakin naik. Tahun 2018 ditutup dengan 30 OTT dan berhasil menangkap 121 orang. 

Lembaga antirasuah menepis mereka melakukan OTT dengan nilai receh. 

"Sering kali dari OTT yang nilainya ratusan juta rupiah itu bisa membuka kasus lain yang nilainya mencapai miliaran rupiah," ujar juru bicara KPK, Febri Diansyah pada 19 Desember 2018 lalu. 

Melalui OTT di tahun 2018 pula, KPK berhasil menangkap 21 kepala daerah dari tingkat gubernur hingga ke bupati. 

(Daftar Operasi Tangkap Tangan KPK periode 2005-2018) IDN Times/Sukma Shakti

Baca Juga: Jokowi Teken PP Bagi Pelapor Perbuatan Korupsi Diganjar Rp 200 Juta

3. Jokowi meneken Perpres pencegahan korupsi dan memberi insentif kepada pelapor kasus rasuah

IDN Times/Teatrika Handiko Putri

Selain itu, Jokowi juga membuat kebijakan terkait pencegahan korupsi. Dua di antaranya meneken Perpres pencegahan korupsi nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi pada Juli 2018. 

Perpres ini juga semakin mengukuhkan peran KPK sebagai koordinator dan supervisi yang akan melibatkan kementerian dan lembaga pemerintah lainnya, misalnya Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Kepala Staf Presiden. Perpres itu diyakini memperkuat upaya pemerintah dalam pencegahan tindak pidana korupsi sejak hulu, tanpa mengurangi kewenangan, dan independensi lembaga penegak hukum yang sudah ada.

Kedua, pemerintah meneken Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2018 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Aturan itu menggantikan PP nomor 71 tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. 

Artinya, kalau kalian melaporkan adanya informasi mengenai tindak pidana korupsi dan bahkan berkontribusi besar mengungkap skandal yang ada, maka bisa diganjar uang tunai senilai Rp200 juta. 

4. Enam turunan program antikorupsi Prabowo-Sandiaga Uno

IDN Times/Irfan Fathurohman

Koordinator juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan pasangan nomor urut dua itu memiliki komitmen yang kuat terhadap pemberantasan korupsi. Salah satu contoh yang ia ambil yaitu dalam hal revisi UU KPK, Prabowo sejak awal sudah menolaknya. 

"Pak Prabowo sejak awal sudah menolak revisi UU KPK apabila revisi itu punya kecenderungan untuk melemahkan KPK," ujar Dahnil ketika berkunjung ke kantor IDN Times pada (9/1) kemarin. 

Ia turut menambahkan seandainya Prabowo-Sandi yang terpilih sebagai orang nomor satu di negeri ini pada 2019, maka mereka berkomitmen untuk menambah jumlah penyidik independen di lembaga antirasuah tersebut. 

Dalam fokus bidang hukum yang dimuat di visi misinya, Prabowo dan Sandiaga memiliki program aksi menguatkan gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Ada enam turunan dari program aksi itu, yaitu sebagai berikut:

1. Memperkuat gerakan pemberantasan korupsi secara lebih sistematis dengan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman.
2. Menjamin untuk tidak mengintervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam penegakan kasus-kasus korupsi.
3. Merevisi Inpres Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional di mana Jaksa Agung dan Kapolri diinstruksikan untuk mendahulukan proses administrasi pemerintahan sebelum melakukan penyidikan atas laporan masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang dan detail lainnya yang justru berpotensi melindungi koruptor.
4. Memperkuat program edukasi antikorupsi bagi generasi muda, serta bekerja sama dengan swasta untuk menguatkan sinergi gerakan antikorupsi di sektor swasta dan publik.
5. Mengatur sistem pendanaan dan pembiayaan politik yang menjamin independensi, transparansi, mencegah korupsi, dan menjaga keberlangsungan demokrasi.
6. Mendorong peran serta elemen masyarakat untuk menjadikan korupsi sebagai gerakan kolektif dimulai dengan keteladanan pemimpin di semua lini.

 Uniknya, ide untuk menambah jumlah penyidik itu sempat dikritik oleh mantan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto yang kini berada di barisan Prabowo-Sandi. Ia mengkritik visi dan misi Prabowo di tahun 2014 dengan menyebut untuk memperkuat KPK bukan sekedar menambah penyidik. 

Salah satu ide pemberantasan antikorupsi bisa diwujudkan dengan melakukan tes integritas dalam proses rekrutmen dan promosi di setiap kementerian. 

Langkah tersebut, kata Bambang, diharapkan bisa menutup peluang munculnya kolusi dan nepotisme dalam pemerintahan.

"Tidak memberi peluang pada usaha keluarga untuk mengakses dana APBN, menentang setiap upaya pelemahan pemberantasan korupsi, dan mewajibkan dibentuknya Unit Pengendalian Gratifikasi," kata dia pada 2014 lalu. 

Baca Juga: Messi, Sandiaga Uno dan Konglomerat Lain Klarifikasi soal "Panama Papers"

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya