TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

BNPB: Benar Data Pasien COVID-19 di Daerah dan Pusat Tidak Sinkron

BNPB menyebut masih ada pasien COVID-19 yang didiskriminasi

Ilustrasi (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Jakarta, IDN Times - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengakui adanya perbedaan data mengenai jumlah kasus COVID-19 di daerah dengan yang disampaikan oleh pemerintah pusat. Bahkan, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Agus Wibowo blak-blakan mengaku memang masih banyak data yang ditutup-tutupi.

Menurut Agus, data yang ditutup-tutupi itu terjadi karena dua hal. Pertama, karena data yang disampaikan oleh gugus penanganan COVID-19 adalah informasi dari Kementerian Kesehatan. Kedua, masih ada stigma dari masyarakat lain kepada pasien COVID-19. 

"Memang benar adanya data di antara pusat dengan daerah memang tidak sinkron. Tapi, saya gak tahu penyebab kenapa bisa gak sinkron. Tapi, BNPB punya sumber kedua datanya kok, baik dari Kemenkes maupun di daerah," ungkap Agus ketika berbicara di program web binar Energy Academy Indonesia yang tayang secara daring di YouTube pada Minggu malam (5/4). 

Oleh sebab itu, BNPB dan tim pakar dari gugus penanganan COVID-19 sedang mencari solusi dari permasalahan ini. Salah satunya mereka akan meluncurkan aplikasi bernama Lawan COVID-19. Apa fungsi aplikasi itu? Bagaimana cara mengedukasi publik agar tidak memberi stigma terhadap mereka yang terpapar COVID-19?

Baca Juga: Mulai Hari Ini Daerah Episentrum COVID-19 akan Diberlakukan PSBB

1. Data yang ditampilkan oleh gugus penanganan COVID-19 berasal dari Kemenkes

(Tes COVID-19 dengan sistem drive thru di Kota Bogor) www.instagram.com/@ridwankamil

Menurut Agus, kendati BNPB memiliki data dari dua sumber, tetapi yang ditampilkan oleh masyarakat adalah informasi yang dipasok oleh Kementerian Kesehatan. Agus pun mengaku setuju pemerintah harus lebih terbuka kepada publik soal data mengenai pasien COVID-19. 

"Kalau perlu diumumkan bila ada individu yang dinyatakan positif (COVID-19), lalu ia lapor ke puskesmas atau fasilitas kesehatan untuk mengecek kondisi kesehatannya. Lalu, pemerintah cari kontak dekat langsungnya supaya bisa dilacak," tutur Agus. 

Ia menyayangkan masih ada saja pasien COVID-19 dan tenaga medis yang malah dicap dengan stigma negatif. Padahal, bila tertular virus corona, bukan akhir dari dunia. 

"Ini kan sebenarnya bukan masalah. Di sini masyarakat harus diedukasi karena kalau kena COVID-19 bukan suatu yang jelek atau terhina," kata dia lagi. 

Salah satu cara untuk mengatasi adanya perbedaan data, ungkap Agus, yaitu BNPB sedang mengembangkan suatu aplikasi bernama Lawan COVID-19. BNPB akan menggandeng  berbagai stakeholder untuk input data ke dalam aplikasi itu. 

"Jadi, kami akan mengerahkan datanya baik dari BNPB, BPBD, militer, polisi mengentry data nanti masuk ke aplikasi dan langsung jadi. Senin ini rencananya akan ada MoU soal pembukaan datanya," ujarnya. 

2. Salah satu indikasi perbedaan data di pusat dengan daerah terlihat dari angka pemakaman di DKI Jakarta yang melesat

Angka Pemakaman DKI Jakarta (IDN Times/Shukma Sakti)

Salah satu indikasi adanya perbedaan data yang mencolok antara pusat dengan daerah yakni terlihat dari melesatnya angka pemakaman di DKI Jakarta di tengah wabah virus corona. Data dari Pemprov DKI Jakarta yang diperoleh IDN Times menunjukkan pada Maret 2020 saja ada 4.377 jenazah yang dimakamkan. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memang belum bisa memastikan apakah semua jenazah terinfeksi virus Sars-CoV-2. Tetapi, prosedur pemakaman jenazah sesuai tata cara bila jasad terinfeksi penyakit menular. 

Sedangkan, data dari Kemenkes per (31/3) pasien positif COVID-19 yang meninggal baru berjumlah 136 orang. 

Baca Juga: Achmad Yurianto Buka-Bukaan Soal Beda Data COVID-19 Pusat dan Daerah

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya