TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Emil Salim: Kita Butuh Investasi Tapi Jangan Hancurkan Masyarakat Adat

Area hutan di Papua yang dibabat seluas ibu kota Seoul

Guru Besar Universitas Indonesia, Emil Salim (IDN Times/Fiqih Damarjati)

Jakarta, IDN Times - Guru besar Universitas Indonesia, Emil Salim mempertanyakan keberanian pemerintah Presiden Joko "Jokowi" Widodo untuk mengoreksi tindakan pemerintahan di periode sebelumnya yang memberikan konsesi hutan di Papua kepada PT Korindo Group.

Berdasarkan stasiun berita BBC yang melakukan investigasi bersama Greenpeace International dan Forensic Architecture, PT Korindo Group sudah membuka hutan Papua seluas 57 ribu hektare. Area itu seluas kota Chicago atau Seoul di Korea Selatan. 

Berdasarkan data, perusahaan yang berasal dari Negeri Ginseng diberi pengelolaan lahan konsesi sejak tahun 1998 hingga 2014 lalu. Pada praktiknya, anak usaha PT Korindo Group melakukan pembukaan lahan dengan menggunakan api. Cara ini diduga dipilih karena biayanya lebih murah. 

Kesimpulan itu didukung dengan bukti yang ditunjukkan oleh peneliti senior Forensic Architecture, Samaneh Moafi. "Kami menemukan bahwa pola, arah, dan kecepatan pergerakan api sangat cocok dengan pola, kecepatan, dan arah pembukaan lahan. Ini menunjukkan bahwa kebakaran dilakukan dengan sengaja," ungkap Samaneh. 

Emil pun bertanya apa Jokowi sanggup mengoreksi kekeliruan yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya. "Sebab, Dirjen KLHK mengakui ini terjadi di era pemerintahan 2009-2014," cuit Emil pada 13 November 2020 lalu. 

Pria yang juga menjadi tokoh di bidang lingkungan hidup itu juga menyentil pemerintahan Jokowi yang membuka keran investasi secara massif. "Kita membutuhkan investasi untuk membuka lapangan kerja. Tetapi, jangan sampai hancurkan kehidupan masyarakat adat di daerah semula, seperti yang terungkap di Papua," kata dia lagi. 

Lalu, apa langkah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menanggapi temuan investigasi dua badan internasional mengenai pembabatan hutan di Papua?

Baca Juga: 5 Fakta Pembakaran Hutan di Papua Seluas Seoul oleh Perusahaan Korsel

1. Kementerian Lingkungan Hidup malah minta Greenpeace International segera laporkan hasil investigasinya ke polisi

Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani (Dokumentasi KLHK)

Sementara, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho mengaku heran mengapa Greenpeace International baru merilis video dan hasil investigasi mengenai pembakaran hutan di Papua pada 2020. Padahal, investigasi yang dilakukan Greenpeace International didasari pada video yang direkam pada 2013 lalu. 

"Seharusnya, Greenpeace segera melaporkan bukti video tahun 2013 itu kepada pihak terkait pada saat itu," ungkap Rasio seperti dikutip dari situs resmi KLHK pada hari ini. 

Ia juga menyebut seharusnya Greenpeace bersikap jujur ke publik bahwa pelepasan kawasan hutan untuk konsesi perkebunan sawit diberikan pada periode 2009 hingga 2014. Hal tersebut bukan diberikan oleh pemerintahan di era Presiden Joko "Jokowi" Widodo. 

"Misalnya, SK pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan yang diberikan oleh Pak Menteri Kehutanan yang dulu kepada PT Dongin Prabhawa itu adalah SK tahun 2009," kata dia lagi. 

Sedangkan, dari sudut pandang Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Asia Tenggara, Kiki Taufik, seharusnya Dirjen Gakkum KLHK sudah berinisiatif menggandeng Polri untuk menindak lanjuti mengenai kebakaran hutan di Papua.

"Apalagi di dalam UU Lingkungan Hidup, UU Perkebunan, kan dilarang pembersihan lahan dengan menggunakan api. Ini (sudah ada) bukti yang kuat. Artinya, KLHK bisa bekerja sama dengan Polri untuk menindak lanjuti (investigasi itu)," tutur Kiki ketika dihubungi oleh IDN Times melalui telepon pada Minggu kemarin. 

2. Warga lokal Papua dibujuk oleh PT Korindo Group agar mau melepas hutan adat dengan biaya ganti rugi Rp100 ribu per hektarenya

Ilustrasi konsesi perkebunan kelapa sawit milik PT Korindo di Papua (Dokumentasi Greenpeace)

Investigasi yang dilakukan oleh Greenpeace International dengan Forensic Architecture meski sudah dilakukan tujuh tahun lalu, namun tetap membuat publik geram ketika membaca laporannya tahun ini. Betapa tidak, sebab, biaya ganti rugi yang diberikan oleh anak usaha PT Korindo Group yakni, PT Tunas Sawa Erma POP-E hanya Rp100 ribu per hektarenya.

Pada 2015 lalu, pemilik ulayat bersedia melepas hutan adat mereka dengan menerima ganti rugi yang terlalu rendah itu. Alhasil, kini lebih dari 19 ribu hektare hutan di Papua dikuasai oleh PT Tunas Sawa Erma POP-E. 

Cerita itu disampaikan oleh ketua marga dari Suku Mandobo, Petrus Kinggo. Ia mengaku menyesal karena pada 2014 telah melakukan hal yang mengubah nasib marganya selamanya. 

Ia mengaku turut memuluskan langkah Korindo melakukan ekspansi kebun sawit di Boven Digoel. Petrus menjadi 'koordinator bagi 10 marga yang hutan adatnya menjadi area konsesi anak usaha Korindo, PT Tunas Sawa Erma (TSE). Ia mengaku turut mempengaruhi marga-marga lain agar mau melepas hutan adat mereka. 

Ia bersedia melakukan hal itu karena diiming-imingi honor dari PT TSE. "Bapak, nanti akan kami kasih honor, upah. Bapak sebagai koordinator, nanti biaya pendidikan (anak) ditanggung perusahaan. Nanti, ada rumah-rumah bantuan, sumur air bersih dan (nanti) ada genset," ungkap Petrus menirukan janji manis PT TSE ketika itu. 

Namun, janji itu hanya diucapkan secara verbal dan tidak dituangkan dalam kesepakatan tertulis. Tetapi, ia tetap memperoleh uang senilai Rp488,5 juta karena dapat melepas hak atas tanah hutan adat milik marga Kinggo seluas 4.885 hektare. 

Ia juga mengatakan PT Korindo turut menggelontorkan uang senilai Rp1 miliar yang dianggap sebagai "uang permisi." Duit itu akhirnya dibagi kepada 9 marga. Satu marga lainnya menolak menerima. 

Petrus sendiri mengaku hanya mengantongi Rp10 juta yang ia gunakan untuk membiayai pendidikan 8 anaknya. 

"Uangnya su tidak ada. Kosong," kata dia lagi. 

Baca Juga: Greenpeace: Terima Kasih KPopers Ikut Sebar Isu Kebakaran Hutan Papua!

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya