TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

IPK RI Anjlok, Pengamat: Bukti Jokowi Ingkar Janji Berantas Korupsi

IPK RI di 2022 balik ke momen awal Jokowi menjabat

Presiden Joko “Jokowi” Widodo beri arahan dalam Rakornas BMKG 2022. (dok. YouTube Info BMKG).

Jakarta, IDN Times - Lembaga Transparency International Indonesia (TII) merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 180 negara selama 2022. Hasilnya, IPK Indonesia anjlok empat poin di akhir masa kepemimpinan Presiden Joko "Jokowi" Widodo. 

TII melaporkan hasil penelitian mereka, IPK Indonesia turun empat poin. Pada 2021, IPK Indonesia ada di skor 38 dan berada di peringkat ke-96. Sementara, pada 2022, skornya anjlok menjadi 34. Peringkat Indonesia pun melorot ke ranking 110 dari 180 negara. 

Dari data TII, ini menjadi penurunan skor terparah sejak tahun 1995. Bahkan, skor ini adalah angka yang sama ketika mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut dilantik sebagai presiden pada 2014 lalu. 

Akademisi dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengatakan, IPK Indonesia pada 2022 sudah bisa diprediksi. Selain itu, IPK ini mencerminkan bahwa Jokowi ingkar janji untuk memberantas korupsi. 

"Jadi, (IPK Indonesia) kembali lagi ke titik nol itu menjadi bukti bahwa yang Pak Jokowi lakukan waktu itu (tahun 2014) hanya menjanjikan (untuk memberantas korupsi). Dia hanya jualan janji. Kan waktu itu Pak Jokowi janji bakal memperkuat KPK, anggaran bakal dinaikan, begitu juga IPK," kata Bivitri kepada IDN Times ketika ditemui usai peluncuran IPK 2022 di Jakarta, Selasa (31/1/2023). 

Sementara, publik sudah mulai memberikan penilaian kualitas kepemimpinan Jokowi di akhir masa jabatannya. Mayoritas, kata Bivitri, menilai Jokowi tak mampu memenuhi janjinya. 

"Makanya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) balik lagi ke titik nol saat ia mulai menjabat presiden. Itu jadi bukti bahwa ia menjanjikan hal yang gak mampu dipenuhi," tutur dia. 

Bagaimana perkembangan IPK Indonesia selama kepemimpinan Jokowi?

Baca Juga: Indeks Persepsi Korupsi RI Tahun 2022 Anjlok 4 Poin di Angka 34

1. Skor IPK di awal dan di akhir kepemimpinan Jokowi tetap 34

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia selama 20 tahun terakhir. (Dokumentasi TII)

TII mencatat saat di awal menjabat pada 2014 lalu, IPK Indonesia berada di angka 34. Lalu, IPK terus mengalami kenaikan di tahun-tahun berikutnya di periode pertama kepemimpinan Jokowi. Pada 2015, IPK Indonesia ada di angka 36. Di tahun 2016, IPK Indonesia naik satu poin di angka 37. 

Sementara, pada tahun 2017, skor IPK Indonesia stagnan di angka 37. Kemudian, pada 2018, skor IPK Indonesia kembali naik ke angka 38.

Puncak keemasan upaya perlawanan korupsi di Tanah Air terjadi pada 2019. Saat itu, skor IPK naik hingga ke angka 40. 

Namun, setelah Jokowi setuju melakukan revisi terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), skor IPK Indonesia anjlok 3 poin ke angka 37 pada 2020. IPK kembali naik satu poin menjadi 38 pada 2021. 

Lalu, pada 2022, skor IPK Indonesia kembali ke titik awal saat Jokowi menjabat yakni 34. Bila dilihat dari tren yang ada, Jokowi berhasil menjaga konsistensinya melawan rasuah di periode pertama. Namun, komitmen itu terlihat menurun di periode kedua kepemimpinannya. 

2. Skor IPK Indonesia yang jeblok bisa mempengaruhi upaya menggaet calon investor untuk IKN

Ahli di bidang tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti (www.pshk.or.id)

Poin penting lainnya dari pemaparan skor IPK Indonesia pada 2022 yakni penurunan drastis salah satu indikatornya yaitu Political Risk Service (PRS) International Country Risk Guide dari angka 48 ke 35. Deputi Sekretaris Jenderal TII Wawan Suyatmiko mengatakan, penurunan drastis itu menggambarkan pelaku usaha yang datang ke Indonesia bukan lagi mengalami risiko dalam bentuk untung dan rugi. Para pelaku usaha juga mengalami risiko politik. 

Sementara, Bivitri menyebut skor IPK Indonesia yang rendah berpeluang mempengaruhi calon investor asing untuk membenamkan dananya di mega proyek Ibu Kota Negara (IKN). Menurutnya, calon investor yang nantinya tetap berinvestasi di Indonesia adalah investor yang tidak berkualitas dan hanya mementingkan keuntungan jangka pendek. 

"Investor yang berkualitas tidak akan mau hanya meraih keuntungan dalam jangka waktu cepat. Sementara, investor yang tak berkualitas sebaliknya. Setelah dapat keuntungan langsung kabur, bodo amat soal lingkungan, bodo amat soal Hak Asasi Manusia (HAM)," kata Bivitri. 

Di sisi lain, calon investor berkualitas akan berpikir ulang untuk membenamkan duit di negara yang belum memiliki tata kelola pemerintahan yang baik dan tinggi praktik korupsinya.

"Jadi, calon investor berkualitas mau dikasih insentif pajak model apapun, kepemilikan tanah hingga ratusan tahun lamanya, mereka juga gak akan mau kalau risiko berinvestasinya terlalu tinggi," tutur dia. 

Baca Juga: Luhut Dorong OTT KPK Diminimalkan, Mahfud: Digitalisasi Belum Ampuh

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya