KPK Ungkap Alasan Kenapa Kasus RJ Lino Terkatung-Katung Sampai 4 Tahun
KPK masih tunggu audit kerugian keuangan negara dari BPK
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya mengungkap alasan mengapa kasus korupsi yang melibatkan eks Direktur Utama Pelindo II, Richard Joost Lino terkatung-katung hingga empat tahun lamanya. Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan salah satu penyebabnya karena kurangnya alat bukti berupa data kerugian keuangan negara.
Alex yang terpilih kembali menjadi pimpinan KPK mengatakan pihaknya masih menunggu hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar kasus tersebut bisa naik ke pengadilan tindak pidana korupsi Jakarta Pusat.
"Kami kemarin menanyakan kira-kira kapan audit keuangan itu selesai? Dijanjikan paling lambat pertengahan Desember oleh BPK. Kalau itu sudah selesai, maka bisa kami limpahkan (ke pengadilan), karena hanya itu yang sesungguhnya menyebabkan mengapa perkara RJ Lino itu belum kami limpahkan," ujar Alex di rapat dengar pendapat bersama anggota komisi III DPR di kompleks parlemen pada Rabu (27/11).
Rapat itu menjadi sesi pertemuan terakhir antara komisi III dengan pimpinan KPK jilid keempat. Sebab, mulai (21/12), KPK akan memiliki pimpinan baru.
Namun, uniknya di dalam rapat tersebut wakil ketua KPK lainnya yakni Laode M. Syarif menjelaskan lebih lanjut omongan koleganya itu. Sebab, muncul pertanyaan dari anggota komisi III dari fraksi Partai Demokrat, Benny K. Harman apakah kasus itu terkatung-katung karena bukti untuk menetapkan RJ Lino masih kurang dari dua buah. Sesuai dengan aturan di dalam undang-undangnya, KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka apabila memiliki minimal dua alat bukti.
Lalu, apa isi klarifikasi yang disampaikan Syarif?
Baca Juga: KPK: Kasus Korupsi Garuda akan Rampung Paling Lambat Awal Maret 2019
1. Laode M Syarif menegaskan saat menetapkan RJ Lino sebagai tersangka, KPK sudah memiliki dua alat bukti
Melihat koleganya diserbu komentar oleh anggota Komisi III, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif pun turun tangan dan memberikan penjelasannya. Ia menegaskan KPK telah memiliki minimal dua alat bukti sebelum menetapkan mantan pimpinan BUMN itu sebagai tersangka.
Namun, ketika jaksa KPK hendak melimpahkan kasus itu ke pengadilan, mereka membutuhkan data penghitungan kerugian keuangan negaranya. Data tersebut harus tepat.
"Di situlah kami minta BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Tapi, BPKP lama-lama hampir satu tahun lebih tidak mau hitung. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Setelah kami masuk (pimpinan jilid IV), kita putuskan untuk memindahkan penghitungannya ke BPK. Di sini ada Pak Panca (Deputi Penindakan) yang nyaris berkantor di BPK, tapi selalu alasannya enggan untuk berhitung," kata mantan pengajar di Universitas Hasanuddin itu.
Ia pun blak-blakan mengapa BPK dan BPKP enggan melakukan penghitungan. Alasan pertama, karena harga pembanding quay crane yang dibeli dari Tiongkok tidak ada.
Syarif dan Agus bahkan sampai terbang ke Beijing untuk meminta data tersebut. Tetapi, tiba-tiba oleh pemerintah mereka pemberian data itu justru dibatalkan.
"Alasan itu sebenarnya bisa kami pahami, karena kan barangnya dibeli dari China, jadi butuh harga pembanding, harga di sana (quay crane) itu berapa. Tapi, kan tidak ada datanya karena otoritas di China tidak kooperatif," tutur dia.
Dari sana akhirnya diputuskan agar BPKP membandingkan saja harga quay crane di pasaran yang ada di dunia itu berapa.
Baca Juga: Dapat Ancaman dari Dalam, KPK Sulit Kembangkan Kasus 'Big Fish'