Kualitas Udara Jakarta Disebut Terburuk, Ini Kata Menteri KLHK
Menteri KLHK sebut Jakarta ada di peringkat ke-44
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), Siti Nurbaya Bakar, meminta publik tidak langsung percaya tentang informasi yang menyebutkan bahwa kualitas udara di DKI Jakarta akhir-akhir ini kembali memburuk. Menurutnya, data itu diambil dari perusahaan milik swasta, Air Quality Index (AQI) dari situs IQAir.
Ketika aplikasi itu diakses pada Senin (20/6/2022) pukul 07.00 WIB, indeks kualitas udara di Jakarta mencapai angka 192 atau tidak sehat. Dengan angka tersebut, DKI Jakarta berada di peringkat pertama sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.
"Itu kan hasil monitoring dan analisa menggunakan metode tertentu dari swasta. Saya tidak bermaksud membela diri, tetapi kita lihat dari metode yang biasa kami pakai. Nanti, saya kasih data analisanya," kata Siti di Istana Kepresidenan, Senin.
Menurut data yang ia pegang, kualitas udara di DKI Jakarta bukan ada di peringkat pertama terburuk, melainkan ada di posisi 44. Siti mengatakan, kualitas udara di DKI Jakarta tidak seburuk yang dilaporkan oleh media.
"Jadi, sebenarnya buat saya itu hanya ukuran dan indikator saja. Yang paling penting dilihat adalah metode apa yang dipakai?" ujarnya.
Pertanyaan penting lainnya adalah apa yang bisa dilakukan untuk mengembalikan kondisi udara di Jakarta ke keadaan normal? Lalu, apa yang menyebabkan kualitas udara di Ibu Kota kembali buruk usai libur Idul Fitri 2022?
Baca Juga: Kualitas Udara Jakarta Masih Buruk, PSI Usul Bodetabek Dilibatkan
Editor’s picks
Baca Juga: Kualitas Udara Jakarta Buruk, Dihirup Seharian Setara 9 Batang Rokok
1. BMKG sebut kualitas udara di Jakarta dipengaruhi transportasi dan residensial
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan sejumlah faktor yang mempengaruhi kualitas udara di Jakarta yang kembali memburuk. Dalam beberapa hari terakhir, konsentrasi PM2.5 mengalami lonjakan signifikan. Lonjakan tertinggi pernah menyentuh angka 148 µg/m3.
Kondisi itu menunjukkan kualitas udara di Jakarta tidak sehat. Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Urip Haryoko mengakui kualitas udara di Jakarta yang memburuk bisa terlihat dari kondisi udara yang terlihat semakin gelap seolah berkabut.
"Tingginya konsentrasi PM2.5 dibandingkan hari-hari sebelumnya juga dapat terlihat saat kondisi udara di Jakarta secara kasat mata terlihat cukup pekat atau gelap," kata Urip, dikutip dari ANTARA, Senin.
PM2.5 merupakan salah satu polutan udara dalam wujud partikel dengan ukuran yang sangat kecil, yaitu tidak lebih dari 2,5 µm (mikrometer). Dengan ukurannya yang sangat kecil ini, PM2.5 dapat dengan mudah masuk ke dalam sistem pernapasan, dan dapat menyebabkan gangguan infeksi saluran pernapasan dan gangguan pada paru-paru.
Selain itu, PM2.5 dapat menembus jaringan peredaran darah dan terbawa oleh darah ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner.
Berdasarkan analisis BMKG, konsentrasi PM2.5 di Jakarta dipengaruhi oleh berbagai sumber emisi yang berasal dari sumber lokal, seperti transportasi dan residensial. Selain itu, bisa juga dipengaruhi dari sumber regional dari kawasan industri yang dekat dengan Jakarta.
Baca Juga: Anies Sampaikan Komitmen Perbaiki Kualitas Udara di DKI usai Digugat
Baca Juga: Jokowi hingga Anies Divonis Melawan Hukum pada Kasus Pencemaran Udara