TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

LBH Papua Desak Oknum TNI AU yang Aniaya Tunawicara di Merauke Dipecat

LBH menyayangkan korban sudah lebih dulu dicap pemabuk

Penganiayaan yang dialami warga Merauke, Steven oleh dua personel POM TNI AU (www.twitter.com/@LBH_Jakarta)

Jakarta, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum Papua mendesak TNI agar dua anggota Polisi Militer TNI AU segera diberhentikan tidak hormat karena menganiaya tunawicara di Merauke. Kejadian yang menimpa korban bernama Steven itu terjadi pada Senin (26/7/2021) di Jalan Raya Mandala. Peristiwa penganiayaan yang menimpa Steven direkam kamera dan viral di media sosial. 

"Perdamaian atau permohonan maaf saja tidak menghapus tindak pidana yang terjadi. Yang bisa menghapus hanyalah putusan hakim di pengadilan," ungkap Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, ketika dihubungi IDN Times melalui telepon pada Rabu (28/7/2021). 

Apalagi, menurut Emanuel, korban penganiayaan yang dilakukan oleh Serda Dimas dan Prada Vian merupakan tunawicara. Sehingga, ia tidak dapat berkomunikasi dengan baik. 

"Itu kan di dalam video terlihat jelas anggota TNI AU ketika datang justru langsung memegang leher (korban). Cara memegangnya juga bukan dengan tangan, melainkan siku, lalu menarik. Jadi kelihatan sekali sikap arogansinya," kata dia lagi. 

Bagian yang membuat warganet geram karena korban dalam keadaan telanjang dada dan kaki dan ditelungkupkan. Lalu, kaki salah satu anggota POM TNI AU menginjak kepala korban, padahal korban sudah tidak dalam keadaan berdaya. 

Hal tersebut menurut Emanuel bertentangan dengan perintah konstitusi, bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perilaku yang merendahkan derajat martabat manusia. Poin itu tertuang di dalam Pasal 28G ayat (2) UUD 1945. 

Selain itu, tindakan penganiayaan tersebut juga melanggar hak asasi manusia (HAM). Emanuel menggarisbawahi perbuatan dua anggota TNI AU itu sudah masuk ke dalam kategori penyiksaan sesuai dengan Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam dan diatur di dalam Pasal 1 UU Nomor 5 tahun 1988. 

Bagaimana kondisi dua pelaku penganiayaan tersebut?

Baca Juga: KSAU Minta Maaf, Aksi Penganiayaan di Merauke Bukan Perintah Kedinasan

1. LBH Papua menyayangkan sudah ada label pemabuk bagi korban

Tindak penganiayaan yang dilakukan dua anggota POM TNI AU terhadap tunawicara pada Senin, 26 Juli 2021 di Merauke (www.twitter.com/@LBH_Jakarta)

Poin lain yang disayangkan Emanuel yakni korban sudah dicap lebih dulu dengan dugaan tengah mabuk dan hendak berbuat onar. Padahal, korban berbicara pun sulit, lantaran penyandang disabilitas. 

Narasi korban diduga mabuk disampaikan dalam keterangan resmi TNI AU mengenai kronologi peristiwa pada Senin lalu. "Jadi, supaya keterangannya lebih objektif, maka harus juga dimintai keterangan ke penjual makanan apa sebenarnya persoalan sebelumnya," kata Emanuel. 

"Keterangan dari keluarga juga dibutuhkan. Atau kalau bisa menemukan orang yang bisa berbahaya isyarat untuk mempertanyakan ke korban secara langsung bagaimana duduk perkaranya," tuturnya lagi. 

LBH Papua menyesalkan dalam menghadapi korban mengapa menggunakan tindak kekerasan. Hal tersebut, kata Emanuel bertentangan dengan tugas pokok TNI yang diwajibkan melindungi segenap bangsa. 

"Kalau kemarin yang dipertontonkan bukan melindungi, melainkan datang dan langsung bertindak brutal," ujarnya. 

Ia berharap salah satu hasil evaluasi di tubuh TNI, yakni ada prosedur bagaimana membangun komunikasi dengan warga sipil. Tujuannya, agar peristiwa serupa tak berulang. 

2. Video penganiayaan dikhawatirkan makin menimbulkan trauma warga Papua ke aparat militer

Ilustrasi Pulau Papua (IDN Times/Mardya Shakti)

Poin penting lainnya yang disampaikan Emanuel yaitu meluasnya peredaran video penganiayaan Steven dikhawatirkan semakin meningkatkan rasa trauma warga Papua kepada otoritas militer. Padahal, tingkat kepercayaan itu dibutuhkan dalam penanganan pandemik COVID-19 yang makin memburuk di Papua. Apalagi mutasi Delta sudah ditemukan di Bumi Cendrawasih. 

"Ini bisa dijadikan catatan oleh pemerintah pusat juga agar tidak menggunakan pendekatan militer karena terbangun trauma dan itu sulit untuk diobati. Dampak itu sampai sekarang masih terasa," ujarnya. 

Bila pemerintah bersikeras tetap menggunakan pendekatan militer, malah membuat warga Papua semakin tak percaya dan berempati ke pemerintah. Dalam hal penanganan pandemik, warga Papua jadi enggan untuk divaksinasi karena pemberian vaksin dilakukan oleh personel militer. 

"Mereka juga sulit diajak menggunakan masker karena yang menyosialisasikan adalah personel militer," kata dia. 

3. LBH Papua mendesak agar peradilan terhadap dua anggota TNI AU dilakukan di pengadilan sipil

Serda Dimas (kiri) dan Prada Vian (kanan) kompak memakai baju tahanan usai menganiaya tunawicara di Papua. (IDN Times/istimewa)

Poin lain yang dituntut dari TNI AU yakni agar dua anggota Polisi Militer tersebut diadili di pengadilan sipil dan bukan militer. Emanuel mengatakan sering kali dalam proses hukum yang melibatkan aparat militer, vonis yang dijatuhkan malah ringan lantaran disidang dengan peradilan militer. 

"LBH sangat tegas mengharapkan adanya reformasi UU Pengadilan Militer, karena kitab undang-undang hukum acara militer dibuat pada masa orde baru, di mana semangatnya memberikan impunitas kepada para anggota (militer)," ungkap Emanuel. 

Seharusnya, kata dia, lantaran Indonesia sudah memasuki era reformasi maka aturan tersebut juga sebaiknya direvisi. Dengan demikian proses penegakan hukum di lapangan disatukan. Sehingga, tidak ada kelompok-kelompok tertentu yang dikhususkan ketika melanggaran aturan.

"Jadinya, prinsip kesetaraan hukum itu bisa maksimal tercapai di negara ini. Bila ada kekhususan, maka akan ada kelompok orang yang diperlakukan khusus," kata dia.

Baca Juga: Ini Sosok Oknum TNI AU yang Viral Injak Kepala Tunawicara di Papua

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya