TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pemerintah Bantah Instruksikan Daerah Ubah Data Laporan COVID-19

Ada selisih 2.526 kematian COVID-19 di data pusat dan daerah

Suasana TPU Rorotan pada Jumat (9/7/2021). (IDN Times/Uni Lubis)

Jakarta, IDN Times - Kantor Staf Presiden (KSP) membantah pemerintah pusat menginstruksikan pemerintah daerah, mengutak-atik data pelaporan COVID-19 sehingga selisih data tetap ditemukan. Justru, agar hal tersebut tidak terjadi, Kementerian Kesehatan kini langsung meminta data kasus virus corona kepada semua rumah sakit di daerah. Alhasil, pelaporan dan verifikasi pun tidak lagi dilakukan secara berjenjang. 

Pernyataan tersebut mengomentari temuan dari organisasi pemantau wabah, LaporCovid19, yang menyebut masih ditemukan selisih angka kematian COVID-19 di data pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selisih angka kematian pada April 2021 dilaporkan mencapai 2.526. 

Temuan tim relawan LaporCovid19 menemukan pada April 2021 angka kematian pasien yang positif tertular COVID-19 mencapai 47.642. Data itu, menurut LaporCovid19 bisa lebih tinggi, karena masih ada 12 provinsi yang belum memperbarui datanya lantaran situsnya bermasalah. Sedangkan, pada bulan yang sama, pemerintah melaporkan 45.116 orang yang meninggal akibat COVID-19. 

"Kami tidak pernah mengeluarkan instruksi untuk utak-atik data (COVID-19). Data itu selalu diutak-atik dari bawah. Tapi ya begitulah situasinya. Karena kami butuh data yang real time," ujar Deputi II KSP, Abetnego Tarigan, ketika berbicara pada webinar LaporCovid19 bertajuk "Paparan Kajian LaporCovid-19: Kekuasaan dan Peran Militer Dalam Merespons Pandemik COVID-19", Rabu (18/8/2021).

Lantaran ada perbedaan data itulah, akhirnya pemerintah pusat melalui Kemenkes memutuskan untuk meminta data langsung ke semua fasilitas kesehatan dan rumah sakit di daerah.

"Kan justru bingung ya," tutur Abetnego. 

Salah satu daerah yang sempat dituding tidak melaporkan angka kematian secara real time adalah Kota Bekasi, Jawa Barat. Lantaran pelaporan data yang tidak beres itu, pemerintah pusat memutuskan tidak menggunakan sementara waktu angka kematian sebagai indikator bagi penentuan level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). 

Apa komentar pemerintah mengenai angka kematian yang masih tinggi selama masa pandemik COVID-19?

Baca Juga: Wakil Ketua MPR: Indikator Kematian Jangan Dihapus, Tapi Diperbaiki

1. KSP sebut angka kematian masih tinggi, karena warga lebih memilih isolasi mandiri di rumah

Deputi II Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Abetnego Tarigan ketika mengisi webinar LaporCovid19 (Tangkapan layar YouTube LaporCovid19)

Dalam diskusi tersebut, Abetnego sempat menyinggung mengenai angka kematian akibat COVID-19 yang masih tinggi sekarang ini. Tren sejak Juli lalu, angka kematian konsisten lebih dari 1.000 jiwa per hari.

Bila merujuk ke situs pencatat pandemik COVID-19 World O Meter, angka kematian harian di Indonesia selalu berada di peringkat teratas di dunia. Akumulasi angka kematian akibat virus corona di Tanah Air sudah mencapai 121.141. 

Menurut Abetnego, kasus kematian tetap tinggi meski angka kasus harian mulai melandai, disebabkan keengganan warga dipindahkan ke fasilitas isolasi mandiri terpusat.

"Mereka gak mau keluar dari rumah, maunya (mereka) isoman (isolasi mandiri) terus," kata dia. 

Itu sebabnya, tutur Abetnego, pemerintah kemudian membuat program pengiriman obat bagi pasien gejala ringan dan tanpa gejala yang menjalani isoman di rumah. Ketika diajak berpndah ke fasilitas isolasi mandiri terpusat, warga justru menolak. 

"Akhirnya sebagian harus dipaksa oleh Satpol PP, personel TNI dan Polri karena meski sudah (kondisinya) kritis, mereka masih tetap di situ (di rumah)," ujarnya. 

Abetnego mengaku sempat berbicara dengan beberapa pihak dan keluarga pasien COVID-19. Menurut dia, warga tetap lebih memilih berada di rumah karena bila berada di fasilitas isolasi mandiri terpusat, seolah tengah di penjara karena pergerakan mereka dibatasi. 

"Warga yang seperti ini jumlahnya banyak. Makanya, kami sedang mencari pendekatan apa yang efektif untuk bisa menuntaskan masalah ini," tutur dia. 

2. LaporCovid19 menilai warga banyak yang meninggal di rumah karena nakes mulai terbatas

Ilustrasi pemakaman jenazah pasien COVID-19. (ANTARA FOTO/FB Anggoro)

Sementara, berdasarkan penelusuran LaporCovid19, akumulasi warga yang meninggal di luar rumah sakit sudah mencapai 3.007 orang. Data itu diperoleh dari 108 kota atau kabupaten yang berada di 18 provinsi. 

Relawan LaporCovid19, Firdaus Ferdiansyah, mengatakan salah satu penyebab tingginya angka kematian di rumah lantaran keterbatasan jumlah tenaga kesehatan atau nakes. Hal itu secara otomatis berdampak pada lambatnya respons dan penanganan terhadap pasien COVID-19. 

"Ini seharusnya juga menjadi perhatian pemerintah, misalnya, dengan memperbarui metode pelayanan, misalnya (nakes) bisa dihubungi melalui pesan pendek atau sumber daya tenaga kesehatannya ditambah," ujar Firdaus, ketika menjawab pertanyaan IDN Times hari ini. 

Selain itu, Firdaus juga mendorong agar insentif bagi nakes yang masih menunggak, agar segera dibayarkan. Dengan begitu, pelayanan nakes kepada pasien yang terpaksa isoman di rumah bisa lebih baik. 

Baca Juga: Jubir Luhut: Jika Ingin Relaksasi, Indikator COVID-19 Harus Diperbaiki

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya