Perpres Jokowi yang Naikan Iuran BPJS Digugat Lagi ke Mahkamah Agung
Kenaikan iuran BPJS di saat pandemik dinilai tidak berempati
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Peraturan Presiden mengenai aturan penyesuaian iuran BPJS Kesehatan kembali digugat ke Mahkamah Agung. Perpres nomor 64 tahun 2020 itu digugat oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).
Dalam keterangan tertulisnya, KPCDI menggugat perpres itu usai melakukan kontemplasi untuk menemukan pencerahan bagi para pasien yang membutuhkan pelayanan cuci darah. Menurut kuasa hukum KPCDI, Rusdianto Matulatuwa, kenaikan iuran BPJS jilid II ini tidak memiliki empati di saat situasi tengah dilanda pandemik COVID-19. Masyarakat saat ini banyak yang tidak mampu secara finansial sebagai dampak dilanda pandemik.
"Jelas ini merupakan suatu ketidak-adilan dan kenaikan itu tidak sesuai dengan apa yang dimaknai di dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang BPJS," ungkap Rusdianto melalui keterangan tertulis pada Rabu (20/5).
Menurutnya, menggugat perpres itu menjadi hal yang wajib dilakukan sebagai bentuk perlawanan hukum. Selain itu, melalui gugatannya, KPCDI akan menguji apakah kenaikan iuran BPJS Kesehatan sudah sesuai dengan tingkat perekonomian masyarakat di tengah pandemik virus corona.
"Saat ini kan terjadi gelombang PHK besar-besaran, tingkat pengangguran naik, daya beli masyarakat juga turun. Harusnya pemerintah mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi warganya, bukan malah menaikan iuran secara ugal-ugalan," tutur dia lagi.
Langkah KPCDI pun sesuai dengan pernyataan Istana yang mempersilakan bila ada warga negara yang ingin menggugat Perpres itu ke MA. Lalu, apa saja poin-poin di dalam gugatan yang didaftarkan hari ini?
Baca Juga: KPK: Menaikan Iuran Bukan Solusi Tutupi Defisit Keuangan BPJS
1. KPCDI mengingatkan akar utama permasalahan di BPJS Kesehatan adalah tata kelola keuangan yang buruk
Menurut Rusdianto, menaikan iuran BPJS Kesehatan tidak akan menyelesaikan permasalahan. Sebab, akar utama permasalahannya adalah manajemen dan tata kelola BPJS Kesehatan yang diabaikan. Poin itu, kata Rusdianto, sudah disampaikan oleh hakim agung dalam putusan gugatan Perpres nomor 75 tahun 2019.
"Padahal BPJS sudah berulang kali disuntikkan dana, tapi tetap defisit. Untuk itu perbaiki dulu internal manajemen mereka, kualitas layanan, barulah kita berbicara angka iuran. Karena meski iuran naik tiap tahun, kami pastikan akan tetap defisit selama tidak memperbaiki tata kelola menajemen," kata Rusdianto melalui keterangan tertulis.
Adanya defisit keuangan di dalam tubuh BPJS Kesehatan juga diamini oleh staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo. Dalam cuitannya pada pekan lalu di media sosial, Yustinus menyebut defisit keuangan BPJS Kesehatan mencapai Rp27,4 triliun. Hal itu disebabkan adanya ketidakpatuhan pembayaran iuran dari peserta kelas I dan II.
Baca Juga: Menkeu Soal Kenaikan Iuran BPJS: Kalau Gak Kuat Turun Saja ke Kelas 3