POM TNI AD Nilai Mayor Dedi Hasibuan Tidak Lakukan Tindak Pidana
Masyarakat sipil nilai aksi ini bakal suburkan impunitas
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - POM TNI Angkatan Darat (AD) menyatakan anggota Kodam I Bukit Barisan, Sumatera Utara, Mayor Dedi Hasibuan tidak melakukan tindak pidana dalam peristiwa penggerudukan Mapolrestabes Medan. Maka, ia dikembalikan ke satuannya untuk diproses dugaan melakukan tindak disiplin.
Keputusan itu ditetapkan usai POM TNI AD mengklarifikasi Dedi yang menuntut agar keponakannya, ARH, ditangguhkan penahanannya. ARH dijadikan tersangka karena diduga terlibat mafia tanah.
"Setelah melalui pendalaman di Puspom TNI dan Puspom AD, tidak ditemukan unsur pelanggaran pidananya sehingga diserahkan lagi ke Kodam I/BB," ungkap Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigjen Hamim Tohari kepada IDN Times melalui pesan pendek pada Senin malam (14/8/2023).
Ketika IDN Times mengecek ke Kodam I/BB, Dedi bakal diperiksa di Pomdam. "Rencananya yang bersangkutan akan diperiksa di Pomdam. Sementara, terkait waktu pemeriksaan belum ada informasi," ujar Kepala Dinas Penerangan Kodam Bukit Barisan, Letkol (Inf) Rico Julyanto melalui pesan pendek pada hari ini.
Namun, keputusan POM AD yang menyatakan tidak ada tindak pidana dalam aksi penggerudukan Mapolrestabes Medan diprotes oleh kelompok masyarakat sipil. Mereka menilai peristiwa ini menjadi preseden buruk dan impunitas tindak kejahatan dilakukan oleh prajurit TNI.
Baca Juga: Puspom TNI Periksa Mayor Dedi Hasibuan karena Geruduk Polres Medan
Baca Juga: Sambangi Polres Medan, Mayor Dedi Hasibuan Langgar Aturan Disiplin TNI
1. PBHI nilai dikembalikannya Mayor Dedi Hasibuan ke satuan adalah gambaran impunitas
Sementara, menurut Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, keputusan POM AD menandakan impunitas di tubuh TNI. Peristiwa tersebut sekaligus menjadi gambaran dan alasan peradilan militer tak pernah direformasi.
"TNI tetap mengacu kepada UU pada tahun 1997. Sarang impunitasnya di situ. Gambaran itu semakin nyata ketika mereka tidak mau mengubah skema peradilan militer, di mana penyidiknya ankum militer, oditurat (jaksa) berasal dari kalangan militer dan hakim-hakimnya pun militer" ungkap Julius kepada IDN Times melalui telepon pada Senin malam kemarin.
"Ini menggambarkan absolutisme, kultur buruk yang tidak ada check and balance sehingga sudah pasti menimbulkan esprit de corps yang berujung sesalah apapun anggotanya pasti akan dibela atau bahkan ditutup-tutupi sehingga muncul impunitas," lanjutnya.
Ia menggarisbawahi Mayor Dedi jelas melakukan tindak pidana sebab ia menuntut agar penahanan keponakannya ditangguhkan. Padahal, hal tersebut tidak masuk ke dalam tupoksi TNI.
"Kan dia kemarin memakai seragam, membawa pasukan dan ada unsur komando di situ, lalu mengintervensi proses hukum di wilayah peradilan sipil. Peradilan sipilnya pun tidak menggunakan koneksitas, sehingga tak ada unsur militer sama sekali," katanya.
Tak lama setelah Mayor Dedi menggeruduk Polrestabes Medan, tiba-tiba penyidik mengabulkan permohonan penangguhan penahanan ARH. Hal itu, kata Julius, mempengaruhi banyak hal termasuk para korban yang termasuk di dalam rangkaian dugaan tindak pidana terhadap tersangka.
"Kan kalau tersangka tidak ditahan tak ada tenggat waktu kapan disidangkan. Ini yang disebut obstruction of justice karena intervensi proses hukum tak melalui prosedur yang sah," ujarnya lagi.
Editor’s picks
Baca Juga: Puspom TNI: Mayor Dedi Pamer Kekuatan saat Mendatangi Polres Medan