Survei LSI: Prabowo Kandidat Capres Terkuat, Ganjar-Anies Seteru Ketat
Responden menilai Prabowo sosok tegas dan berwibawa
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 25 - 31 Januari 2021 menemukan Prabowo Subianto sebagai kandidat capres yang berpeluang paling banyak dipilih bila pilpres digelar saat ini. Dalam simulasi tertutup diketahui ada 26 persen responden yang memilih nama Ketua Umum Partai Gerindra itu sebagai capres.
Di bawah Prabowo, ada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Menparekraf Sandiaga Uno. Masing-masing memperoleh suara 15,4 persen, 13,3 persen dan 10,4 persen.
"Ini merupakan nama tokoh-tokoh yang kemungkinan akan ikut berkompetisi, tentu kita tidak tahu jadi berkompetisi atau tidak karena tergantung pada banyak faktor, terutama politik," ujar Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan yang dikutip dari akun media sosial LSI pada Selasa (23/2/2021).
Alasan responden memilih nama-nama tersebut yaitu pertama karena sosok tersebut dinilai tegas atau berwibawa (27,6 persen), sosok kandidat capres merakyat atau perhatian pada rakyat (22,5 persen) dan orangnya jujur atau bersih dari praktik KKN (9,6 persen).
Berdasarkan data dari LSI, diketahui pula demografi calon pemilih di DKI Jakarta justru tak semuanya mengerucut ke Anies. Tetapi, warga ibu kota juga memilih Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.
"Jadi, untuk sementara ini pemilih pertarungannya ada tiga di DKI. Masing-masing ada sekitar 22 persen suara (untuk tiga kandidat capres)," tutur dia.
Apakah parpol sudah harus bersiap-siap dari sekarang untuk menyiapkan mesin partai?
Baca Juga: Puan Masuk Bursa Capres 2024, PDIP: Biarkan Dinamika Politik Berjalan
Baca Juga: Istana Tegaskan Pemerintah Tak Ingin Revisi UU Pemilu dan Pilkada
1. Nama kandidat capres yang diusung partai menunggu revisi UU Pemilu
Menurut Djayadi, sebelum nama-nama kandidat capres resmi dimunculkan ke publik, maka parpol yang ada di DPR sebaiknya menentukan lebih dulu apakah UU Pemilu jadi direvisi atau tidak. UU Pemilu yang dimaksud yaitu ketentuan mengenai penyelenggaraan pilkada.
"Karena revisi UU Pemilu untuk menentukan arena pertarungan atau kompetisinya, apakah arenanya menjadi bulat atau kotak. Misalnya arena yang menentukan apakah ambang batas presiden akan diubah lagi, bila dinaikan, diturunkan atau dihilangkan. Itu akan berpengaruh ke konfigurasi calon-calon presiden yang disampaikan ke partai," ungkap Djayadi.
Bila ambang batas capres diturunkan, maka otomatis akan lebih banyak calon yang dapat diajukan. Dengan adanya banyak calon, maka parpol akan lebih banyak punya kebebasan untuk memilih.
"Parpol punya kebebasan untuk memilih siapa calon yang lebih dekat ke mereka dan membantu mengerek suara partai itu," tutur dia.
Sebaliknya, bila ambang batas capres dinaikan, otomatis jumlah capres yang bisa dipilih parpol semakin terbatas. "Partai-partai yang tidak bisa mengusung calon maka harus berkoalisi dengan partai lain dan bisa menyebabkan efek negatif ke mereka," katanya lagi.
Ia mencontohkan Partai Gerindra memperoleh banyak dapat suara karena mengusung Prabowo. PDI Perjuangan dapat suara banyak ketika Joko Widodo terpilih jadi presiden. PKS pun memperoleh suara karena ikut mengusung Prabowo.
"Partai lain gak dapat, malah ada yang impresi negatif," ujarnya.
Selama ini bila parpol ingin mengusung capres, maka parpol peserta pemilu harus memperoleh 20 persen dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25 persen suara sah secara nasional pada pemilihan anggota DPR periode sebelumnya.
Baca Juga: Survei Capres 2024: Prabowo-Ganjar Bersaing Ketat, Anies-Sandi Melorot