Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Jakarta, IDN Times - Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memberikan hak pilih bagi penyandang disabilitas ganguan mental (gangguan kejiwaan) masih dianggap banyak pihak sebagai keputusan kontroversial. Tapi, KPU tak bergeming karena mereka meyakini hanya menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Seperti diketahui, berdasarkan putusan MK Nomor 135/PUU-XIII/2015, orang yang mengalami gangguan mental atau ingatan tetap harus didata oleh KPU dan dimasukan ke dalam daftar pemilih.
Karena itu, Ketua KPU Arief Budiman yang ditemui di kantornya, Jumat (30/11), mengakui hanya menjalankan amanah dari putusan MK tersebut.
Baca Juga: KPU Akan Bersurat ke Presiden soal Suket Pemilih Pemula
1. UU Nomor 8 Tahun 2015 tak mengakomodir hak pilih bagi penyandang disabilitas mental
IDN Times/Ilyas Listianto Mujib Namun, pemberian hak pilih pada penyandang gangguan mental nyatanya justru masih menimbulkan polemik. Pasalnya, tiga tahun silam, DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada).
Isi dalam Pasal 57 Ayat 73 butir a menyatakan, orang yang sedang terganggu mentalnya (jiwa) tak memiliki hak suara.
DPR kemudian membuat UU No.10 Tahun 2016 untuk merevisi UU yang lama. Tujuannya untuk mengakomodir penyandang disabilitas mental memiliki hak yang sama. Hasilnya, hal itu sudah terimpelementasikan dalam Pilkada 2016.
2. Putusan KPU (PKPU) lahirkan masalah baru
IDN Times/Ilyas Listianto Mujib Selain itu, kebijaknnya ini juga dikuatkan dengan keputusan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, yang memberikan pernyataan sama dan berpegang pada Undang-Undang Pemilu. Bunyinya, setiap warga negara yang usianya sudah 17 tahun (tak dicabut hak politiknya) wajib masuk dalam Daftar Pemilih tetap.
Akan tetapi, KPU justru membuat peraturan yang membuat masalah baru. Mereka membuat PKPU No. 11 Pasal 4 Ayat 2 butir b bahwa pemilih harus memenuhi syarat tak sedang terganggu jiwa atau ingatannya.
Keputusan itulah yang menjadi dasar sebagian pihak harus mengikuti PKPU yang telah dilakukan. Mereka meyakini jika orang dengan kriteria tersebut tak usah didata KPU untuk masuk ke dalam DPT Pemilu 2019.
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
3. KPU tak merasa melanggar putusan MK
IDN Times/Ilyas Listianto Mujib Arif menyanggah bahwa KPU justru melanggar aturan yang ia buat. Kata Arief, pihaknya justru sudah mengikuti putusan MK dan PKPU yang telah dibuat.
"KPU sudah menjelaskan berkali-kali soal ini, jadi semua warga yang memenuhi syarat sebagai pemilih, wajib didata dalam DPT, prosedurnya sudah jelas dan hanya masalah mampu atau tidaknya nanti mereka menggunakan hak pilihnya," ujar Arief di kantornya, Jakarta, Jumat (30/11).
4. Tidak semua penyandang disabilitas mental punya hak pilih
ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga Hanya saja, tak semua penyandang disabilitas mental mampu menggunakan hak suaranya. Jadi untuk dinyatakan mampu dan bisa memilih, harus menyertakan surat keterangan dokter yang menerangkan orang tersebut mampu menggunakan haknya. Begitu juga dengan yang tidak mampu.
"Siapa yang tak mampu menggunakan hak pilihnya pada saat hari pemungutan suara harus ada keterangan yang cukup akan itu, maka dia tidak akan menggunakan hak pilihnya. Jadi nanti harus ada pernyataan dokter," tukas Arief.
Baca Juga: Bisakah E-voting Diterapkan di Pemilu Indonesia? Ini Kata KPU