TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jaleswari KSP: Teroris Tidak Pernah Mati, Hanya Tidur Cari Momentum 

Sejak tahun 2000, sudah ada 553 aksi terorisme di Indonesia

Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardhani (IDN Times/Teatrika Handiko Putri)

Jakarta, IDN Times - Dalam waktu yang hampir bersamaan, teroris menyerang gereja dan Markas Besar Polri baru-baru ini. Hanya selang 2 hari setelah serangan bom bunuh diri di Makassar pada Minggu 28 Maret, serangan teror kembali terjadi di Jakarta pada Rabu (31/3/2021), dan menargetkan Mabes Polri.

Melihat perkembangan aksi terorisme setiap tahunnya, Deputi V bidang Politik, Hukum, Keamanan, Pertahanan, dan Hak Asasi Manusia Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani menjelaskan, bahwa sel-sel terorisme masih ada di Indonesia dan terus berkembang.

Dalam wawancara khusus bersama IDN Times, Senin (29/3/2021), wanita yang akrab disapa Dani itu pun mengatakan, aksi teror di Indonesia memang nyata. Bahkan, serangan teror di Indonesia sudah mencapai 553 sejak 2000 hingga 2021.

"Sebagian besar berhasil dibongkar oleh kepolisian antara lain juga melalui mekanisme pengadilan yang terbuka," kata Dani. 

Lalu, bagaimana perkembangan sel-sel terorisme di Indonesia hingga kini?

Baca Juga: BIN: Millennial Jadi Target Utama Jaringan Teroris, Orang Tua Waspada 

1. Sikap intoleransi menjadi benih awal munculnya radikalisme

Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardhani (IDN Times/Teatrika Handiko Putri)

Dani mengatakan, terorisme merupakan kejahatan yang dibentuk melalui sebuah proses. Aksi bom bunuh diri dan aksi terorisme lainnya dilakukan dalam proses ideologisasi yang bertahap, sehingga pelaku yakin dan percaya untuk melakukan aksi terorisme tersebut.

Dani melanjutkan, sikap intoleransi menjadi benih-benih awal yang membawa kecenderungan pada lahirnya radikalisme, ekstremisme kekerasan, dan terkadang mengarah pada aksi terorisme. Hal tersebut, katanya, dikuatkan juga dengan beberapa kajian panjang dan penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian terkemuka seperti LIPI, perguruan tinggi, maupun yang dilakukan oleh organisasi masyarakat.

"Menunjukkan bahwa sikap intoleransi dan radikalisme terlihat menguat di sebagian kelompok masyarakat dan instansi pemerintah. Bahkan, hasil survei Alvara Research Center tahun 2017 menyebutkan, terdapat 19,4 persen aparatur sipil negara (ASN) yang tidak setuju dengan ideologi Pancasila," tambah Dani.

Ya, memang sikap intoleran saat ini menjadi salah satu problem di Indonesia. Hal itu juga disetujui oleh Dani yang menyebutkan bahwa sikap intoleran dan radikalisme di kalangan generasi muda, termasuk siswa sekolah menengah atas (SMA) memprihatinkan.

Mantan Peneliti LIPI ini memaparkan, berbagai survei sejak 2011 menemukan potensi intoleransi dan radikalisme yang semakin meningkat di kalangan remaja dan siswa SMA. Di antaranya, survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP, 2011), Setara Institute (2015), Kemendiknas (2016), Paramadina (2017), Alvara Research Center (2017), PPIM UIN Syarif Hidayatullah (2018), dan Lembaga Survei Indonesia (LSI, 2018), yang menunjukkan semakin meningkatnya potensi radikalisme di kalangan generasi muda.

"Indonesia tidak sendiri. Ini fenomena global yang perlu terus menerus kita antisipasi bersama. Pemerintah gak bisa sendirian," katanya lagi.

2. Paham radikalisme bisa dijadikan alat politik untuk menyerang pemerintah

Ilustrasi ISIS, Teroris (IDN Times/Arief Rahmat)

Beberapa pihak juga menyebut bahwa paham radikalisme yang berkembang di Indonesia bisa menjadi alat politik untuk menyerang pemerintah. Bagaimana pendapat Dani mengenai hal ini?

Ia menjawab, paham radikalisme memang kerap kali bisa dijadikan alat politik untuk menyerang pemerintah. Khususnya, alat politik yang berkedok agama tertentu dan lainnya.

"Soal radikalisme segala macam itu, ini memang betul. Dijadikan salah satu (alat politik serang pemerintah) iya. Untuk menyerang pemerintah soal kekerasan-kekerasan yang kerap dilakukan dengan mengatasnamakan agama tertentu dan segala macamnya," ucap Dani.

Wanita berusia 56 tahun ini mengatakan, radikalisme dijadikan alat politik untuk menciptakan konflik. Kendati begitu, pihak pemerintah berharap masyarakat bisa bersatu untuk melawan terorisme.

"Sekarang ini kan alasan atau bukti untuk menciptakan konflik kan macem-macem. Bisa sumbernya dari sosial ekonomi, kemiskinan, bisa soal radikalisme. Tapi memang tentang salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah saat ini adalah ya soal kebinekaan kita itu. Kebinekaan itu bisa menguatkan kita, bisa menjadi berkah tapi juga musibah kalau kita gak bisa mengelolanya," tutur Dani.

3. Sel-sel terorisme tidak pernah mati, hanya tidur dan mencari momentum

Personel kepolisian dengan rompi anti peluru dan senjata laras panjang berjaga di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (31/3/2021). (ANTARA FOTO/M Adimaja)

Lantas, bagaimana dengan pola aksi teror yang selalu ada setiap tahunnya di Indonesia? Dani menjelaskan, melihat aksi-aksi kekerasan yang terjadi dalam 20 tahun terakhir ini, memang sel-sel teroris tidak mati. Menurut dia, sel-sel teroris itu tidur dan hanya menunggu momentum kapan aksi kekerasan dilakukan.

Dalam lima tahun terakhir, kata Dani, aksi terorisme berselang tidak lebih dari dua tahun setelah aksi bom bunuh diri di Surabaya pada 2018 lalu dan aksi di Pol Polrestabes Medan November 2019 lalu. Terkait hal itu, ujar Dani, perlu analisis mendalam.

"Ini kan baru fenomena-fenomena yang kita perlu uji lebih dalam lagi, yang penting kita tarik benang merahnya dari rentetan peristiwa ini. Kita bisa melihat bagaimana pergeseran simbol-simbol yang menjadi target aksi teror selama 20 tahun terakhir, atau 10 dan 5 tahun terakhir," jelas Dani.

Dani menuturkan, semua kejadian terorisme ini sangat dekat dengan kita semua. Oleh karena itu, penting untuk menjaga rumah kita, tetangga kita, komunitas kita, agar saling menguatkan dari ancaman pengaruh atau penyusupan ideologi terorisme.

"Itulah yang saya maksud bahwa pemerintah tidak bisa sendiri. Karena teroris mengetuk pintu rumah kita, unit terkecil yaitu keluarga," ucapnya.

4. Media sosial bisa menjadi wadah berkembangnya sel-sel terorisme

Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardhani (IDN Times/Teatrika Handiko Putri)

Di era digital ini, Dani mengungkapkan, tidak menutup kemungkinan bahwa sel-sel teroris berkembang dari media sosial. Dia menilai, dari beberapa trending topik di media sosial justru dikuasai oleh akun-akun yang bergerak serentak untuk menajamkan perbedaan di antara masyarakat dan memunculkan konflik.

"Mereka sangat menguasai dan memanfaatkan jalur medsos ini, dari mulai Twitter, Facebook, Line, Instagram, dan sebagainya. Buzzer-buzzer mereka rapi, masif, terstruktur, dalam komando yang sangat disiplin," tutur Dani.

Hal ini, tambahnya, memang jarang diungkap. Padahal ini lebih berbahaya dibandingkan polemik buzzer pemerintah, NGP, ataupun buzzer-buzzer partai politik. Tanpa disadari, masyarakat sudah masuk dalam konflik yang mereka inginkan melalui metode di media sosial.

"Dan menjadi tujuan mereka agar pembelahan sosial terjadi masif," terangnya.

Baca Juga: Grafolog Bongkar Motif Aksi Terorisme ZA Melalui Tulisan Wasiat

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya