Melongok Korut Zaman Now, Negeri yang Dipimpin Kim Jong Un
Jelang pertemuan puncak Kim dan Trump
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times – Kurang dari 12 jam menjelang pertemuan puncak dengan Presiden AS Donald J. Trump, Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un melakukan sesuatu yang tidak biasa. Secara mendadak, Kim Jong Un meninggalkan hotelnya, St. Regis, untuk jalan-jalan menikmati gemerlap kota Singapura yang menjadi tuan rumah pertemuan bersejarah yang akan digelar Selasa, 12 Juni 2018.
Pemimpin Korut dikenal sangat jarang meninggalkan negerinya. Masalah keamanan adalah salah satunya. Singapura dipilih karena negeri itu berpengalaman menjadi tuan rumah pertemuan kelas dunia dan memiliki keamanan yang ketat.
Dari video yang beredar di media, Kim Jong Un yang ditemani oleh Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan nampak menikmati kawasan resor hotel mewah Marina Bay Sands. Puluhan pengawal memagari tur malam hari itu.
Sejak tiba di Singapura, media massa merekam wajah Kim Jong Un yang nampak ceria. Termasuk saat jalan-jalan malam itu. Kim seolah tak mau kehilangan kesempatan piknik.
Bagaimana sih sebenarnya situasi di negerinya?
Penulis pernah mengunjungi Pyongyang, Korut, pada Maret 2002, meliput kunjungan Presiden Megawati Soekarnoputri. Saat itu jalanan di Pyongyang yang lebar, gelap gulita di malam hari. Rakyat Korut harus berjalan kaki berkilometer jaraknya pulang ke rumah dari tempat bekerja dalam kepungan cuaca dingin yang menusuk pori-pori. Nyaris membuat beku badan.
Yang pangkatnya agak tinggi, naik bus atau sepeda.
Di hotel tempat delegasi Indonesia menginap, nasi disajikan dengan lauk sayur caisim dan sekerat telur ayam rebus. Itu hotel yang disediakan untuk delegasi tamu negara. Televisi memutar pidato ayah Kim Jong Un, yaitu Kim Jong Il, pemimpin Korut saat itu.
Program pidato diseling sinetron yang juga menampikan Kim Jong Il sebagai sosok “bapak bijak”. Di satu sinetron, Kim muncul bak pemuka agama, menasihati pasangan suami istri yang berantem. Di sinetron lain, Kim muncul bagaikan seorang motivator.
IDN Times mendapatkan informasi terkini tentang kota Pyongyang dari Teguh Santosa, wartawan senior yang juga Sekretaris Jenderal Persahabatan Indonesia Korea Utara. Begini cerita Teguh yang juga mengajar mata kuliah politik Asia Timur di jurusan Hubungan Internasional Universitas Islam Nasional di Jakarta.
Baca juga : Lima jam setelah kedatangan Kim Jong Un, Trump tiba di Singapura
Baca juga : Singapura siapkan medali emas untuk Trump dan Kim Jong Un
1. Pyongyang tak sekumuh yang digambarkan di media massa dan media sosial
Saya mengunjungi Pyongyang pertama kali pada April 2003. Itu saat-saat yang sulit bagi Pyongyang. Krisis energi memaksa Korea Utara melakukan penghematan besar-besaran. Sebagai gambaran, lampu lalu lintas di persimpangan jalan dimatikan. Seorang petugas berdiri di tengah persimpangan mengatur arus lalu lintas.
Lampu di koridor Hotel Haebangsan yang saya tempati juga dihemat sebisa mungkin. Yang menyala hanya lampu koridor di depan kamar yang berpenghuni. Itu pun temaram. Begitu juga dengan air panas yang tersedia di kamar mandi hotel, jam “ngucur” nya dibatasi.
Di luar hotel pada malam hari, saya lihat warga Pyongyang berbaris rapi, antre menunggu bus yang akan membawa mereka pulang setelah seharian bekerja. Lampu jalan kebanyakan dipadamkan.
Di sisi lain, saat itu Korea Utara juga tengah fokus memperkuat kuda-kuda menghadapi kemungkinan serangan dari lawan. Bukankah tiga bulan sebelumnya Presiden AS Geroge W. Bush di depan Kongres AS menyatakan tekadnya menghancurkan Poros Setan, Irak, Iran dan Korea Utara. Realisasi dari tekad itu adalah serangan AS ke Irak sepanjang Maret Irak.
Pekan pertama April 2003, patung Saddam Hussein di Taman Firdaus Baghdad ditumbangkan, menandai berakhirnya kekuasaan rezim Saddam Hussein. Jadi wajar, bila di masa-masa itu Korea Utara memberikan perhatian ekstra pada penguatan militer, lewat kebijkan songun yang dimulai sejak Kim Jon Il berkuasa di tahun 1994.
Namun begitu pun, suasana di tengah masyarakat Pyongyang jauh dari suasana perang. Tidak ada kekhawatiran yang berlebihan. Mereka tahu, negara mereka terancam, tetapi kehidupan berjalan seperti biasanya.