Bahaya Mengancam di Balik Simpang Siur Data Virus Corona
Yang dikubur dengan protap COVID-19 melonjak
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Dunia berubah sejak merebaknya pandemik virus corona. Begitu juga hidup Yayan Gustiawan. Lelaki berusia 34 tahun yang berprofesi sebagai penggali kuburan itu praktis bekerja lebih keras memakamkan jenazah pasien yang dikirimkan rumah sakit di kawasan Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya.
Antrean ambulans membawa jenazah yang harus dikuburkan dengan prosedur pemulasaraan COVID-19 adalah pemandangan sehari-hari di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tegal Alur, di kawasan Kalideres, Jakarta Barat.
Situasi seperti ini dimulai sejak pertengahan Maret 2020. Yayan adalah salah satu dari 40 petugas penggali kuburan yang bertugas di TPU Tegal Alur. Untuk menghindari paparan infeksi virus laknat yang menyebar bak kilat itu, Yayan dan teman-temannya menggunakan pakaian hazmat dan masker saat menguburkan jenazah.
Belakangan, karena antrean jenazah makin banyak, kerja menggali tanah kuburan pun dibantu ekskavator. Yayan dan teman-teman yang bertugas mengeluarkan peti jenazah dari ambulans, menurunkan ke lubang yang sudah disiapkan dan disemprot disinfektan, menutupinya dengan tanah lagi. Sesudah itu disemprot dengan disinfektan lagi.
Proses penguburan berlangsung cepat, sekitar 15-20 menitan. Keluarga pengantar yang jumlahnya dibatasi maksimal satu kendaraan, boleh mendekat untuk mendoakan dan menaburkan bunga. Sebelum mendekat ke kuburan, keluarga juga disemprot cairan disinfektan.
Yayan, bergegas menuju tempat cuci tangan, membilas tangan dan muka dengan sabun, lalu melepas baju hazmat yang nyaris basah karena peluh membanjiri tubuhnya. Apalagi kalau penguburan dilakukan di bawah terik matahari.
Baju hazmat warna putih dijemur di dekat tempat cuci tangan. Diangin-anginkan. Petugas kemudian beristirahat sejenak, sambil menunggu giliran berikutnya. Mereka menggunakan lagi baju hazmat yang dijemur itu.
Setelah 12 tahun bekerja sebagai penggali kubur, baru kali ini Yayan merasa gelisah berhadapan dengan ambulans yang tak kunjung henti membawa jenazah dengan balutan kain kafan dan plastik.
TPU Tegal Alur dan TPU Pondok Ranggon ditetapkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sebagai TPU khusus pemulasaraan jenazah yang terkonfirmasi COVID-19.
“Sebenarnya kami semua takut (terinfeksi Corona). Cuma ini tugas kami dan kami juga harus melakukan tanggung jawab ini,” kata Yayan ketika ditemui IDN Times di TPU Tegal Alur, Selasa (7/3).
Sebelum wabah COVID-19 melanda Ibu Kota, Yayan bekerja dari pagi, saat sang baskara muncul hingga senja menyapa. Kini, ia bersama rekan-rekannya dipaksa untuk menggali kubur sampai pukul 21.00 WIB. Bahkan pernah lebih larut malam.
“Hari ini saja sudah masuk 10 dan rencananya hari ini ada 10 jenazah (lagi),” ungkapnya.
Baca Juga: [FOTO] Sepinya Prosesi Pemakaman Jenazah COVID-19 di TPU Tegal Alur
Baca Juga: Plintat-Plintut Istana Perangi Virus Corona
Jenazah terinfeksi COVID-19 dimakamkan dengan protap khusus
Pemulasaraan atau pemeliharaan jenazah dengan protokoler tetap (Protap) COVID-19 mulai diberlakukan oleh Pemprov DKI Jakarta sejak 20 Maret 2020, seiring dikeluarkannya Surat Edaran (SE) Dinas Kesehatan Pemprov DKI Nomor 55 Tahun 2020.
Dalam aturan tersebut, pasien yang meninggal dunia akibat penyakit menular —berdasarkan surat keterangan rumah sakit—harus mendapat perlakuan khusus. Ketika hendak dikebumikan jenazah harus dibungkus plastik yang tidak tembus air, selain dibalut kain kafan. Peti jenazah tidak boleh dibuka dan bagian luarnya harus disemprot cairan disinfektan. Penguburan juga tidak boleh lebih dari empat jam setelah waktu kematian.
Aturan yang sama juga berlaku bagi penggali kubur dan keluarga. Mereka harus menggunakan alat pelindung diri (APD) berupa pakaian hazmat lengan panjang yang kedap air, sarung tangan, pelindung wajah dengan kacamata, celemek dan sarung tangan karet, serta sepatu tertutup yang tahan air.
Setelah menunaikan prosesi pemakaman, mereka tentunya harus membasuh wajah dan lengan sampai ke bahu, memanfaatkan air serta sabun yang telah disediakan. Aturan ini merupakan langkah untuk memutus rantai penyebaran virus corona dari orang tanpa gejala (OTG) yang sangat mungkin bersarang pada keluarga korban, tanpa mereka sadari.
“Kami justru khawatir ketularan virus dari pengantar. Soalnya kan kami gak tahu ya mereka itu positif atau gak, kan bisa tanpa gejala,” ungkap Yasan, kolega Yayan, yang ditemui IDN Times pada Senin (6/4) lalu.
Ungkapan Yasan menandakan petugas TPU telah diberi edukasi bahwa jenazah tidak serta-merta bisa menularkan virus bernama SARS-CoV-2 kepada mereka yang masih hidup.
Keputusan pemulasaraan jenazah dengan protap penyakit menular diambil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di tengah situasi pandemik COVID-19 yang semakin meresahkan. Keterlambatan penelusuran OTG dan proses uji swab yang memakan waktu lama menjadi akar masalah.
Apalagi di awal pandemik, pengujian spesimen cairan tenggorokan dari swab dipusatkan di Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Litbangkes). Alhasil, tidak sedikit jenazah yang terkonfirmasi corona setelah meninggal dunia.
Kematian pegawai Telkom di Cianjur seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah. Jenazah baru diketahui meninggal akibat corona setelah diumumkan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, pada 15 Maret 2020. Padahal, pegawai berusia 50 tahun itu meninggal pada 3 Maret 2020. Celakanya, kejadian serupa terulang pada kasus 285 di Makassar dan pasien berusia 65 tahun di Lampung.
Karena sebelumnya tidak dapat informasi positif, maka pasien masih bisa didekati keluarga, juga tenaga medis, yang kemudian terpapar juga.
Juru Bicara Pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, mengatakan bahwa mayat tidak bisa menularkan SARS-CoV-2 selama dibalut kain kafan dan plastik. Namun, jenazah masih bisa menjadi spreader atau penyebar, apabila dikerumuni keluarga sebelum dikafani. Peristiwa seperti itu sangat mungkin terjadi jika keluarga tidak mengetahui riwayat penyakit korban.
Kejadian serupa terjadi di Jakarta Timur baru-baru ini. Jenazah yang belum diketahui penyebab meninggalnya diminta oleh keluarga untuk dibawa ke rumah duka sebelum dikebumikan. Anggota keluarga berkumpul di sekitar jenazah dan menciuminya. Banyak juga yang melayat karena jenazah merupakan tokoh masyarakat. Keesokan harinya, baru diketahui bahwa yang bersangkutan meninggal akibat COVID-19.
Hal seperti itulah yang hendak dicegah Anies. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu tidak mau kelalaian pemerintah dan otoritas kesehatan --yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian COVID-19-- menjadi penyebab corona merenggut nyawa lebih banyak orang.
“Pemulasaraan dan pemakaman dengan protap COVID-19, artinya ini mungkin mereka-mereka yang belum sempat dites, karena itu tidak bisa disebut positif. Atau sudah dites tapi belum ada hasilnya kemudian wafat. Ini menggambarkan situasi di Jakarta terkait dengan COVID-19 amat mengkhawatirkan,” kata Anies saat memberikan keterangan pers di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (30/3) lalu.
Baca Juga: [WANSUS] Begini Kata Pejabat WHO Soal Penanganan COVID-19 di Indonesia
Baca Juga: Virus Corona: Robohnya Infrastruktur Kesehatan di Negeri Kita