Ulil Abshar: Millennial Harus Punya Panutan dalam Beragama
Kata Ulil “millennial harus menjadi ‘FPI’ bagi diri sendiri"
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times- Cendikiawan muslim, Ulil Abshar Abdalla, berpesan kepada seluruh millennial agar memiliki panutan dalam beragama. Hal ini penting mengingat kemajuan teknologi memberikan banyak tantangan kepada para pemuda.
“Saya menganjurkan kepada seluruh teman-teman millennial, carilah kiblat beragama yang tepat,” kata Ulil kepada IDN Times, Senin (4/5).
Dia juga menambahkan, “sekarang ini kita berhadapan dengan suatu peradaban, terutama generasi millennial, yang menghadapi banyak sekali perubahan dan tantangan. Di satu sisi ada kubu ekstrem radikal konservatif, di sisi lain ada kubu yang menganggap agama sudah non-sense, sains telah mengalahkan Tuhan.”
Baca Juga: Gus Mus: Dakwah Sunan Kudus, Bukan Orang Islam Saja yang Ayem
1. Mencari panutan yang bisa menyeimbangkan antara spiritualitas dengan rasionalitas
Menurut Ulil, panutan yang dia maksud tidak berarti guru, dosen, atau profesor. Setiap millennial harus memiliki teladan yang bisa mengajarkan bersikap dengan Tuhannya dan bersikap dengan sesama manusia.
“Bisa saja orang yang menjadi teman untuk menjalani hidup dengan tepat. Saya tidak bisa mengatakan siapa yang tepat, anda punya indikatornya masing-masing. Anda harus memilih. Yang jelas clue-nya adalah orang-orang yang bisa menyeimbangkan kesalehan individual dan sosial,” paparnya.
Adapun kesalehan individual yang dimaksud adalah kepatuhan dalam menjalankan perintah beragama, seperti salat lima waktu, membaca Alquran, dan berpuasa. Sedangkan, kesalehan sosial adalah sikap toleransi sesama manusia tanpa melihat perbedaan agama atau ras. Menurutnya, dua hal itu bisa hadir dalam setiap orang, termasuk millennial, jika nilai-nilai spiritualitas dan rasionalitas diamalkan secara bersama.
“Rasionalilsme saja gak cukup. Rasionalisme tanpa spiritualisme itu kering. Tapi spiritualisme tanpa rasionalisme itu gak kokoh. Seperti Al-Ghazali, tidak tertutup pada perkembangan sains, tidak menolak perbedaan, tapi juga tidak mengabaikan agama,” sambungnya.
Editor’s picks
Baca Juga: Ulil Abshar: Pesantren, Lembaga Pendidikan Khas Indonesia