Virus Corona: Robohnya Infrastruktur Kesehatan di Negeri Kita
Rakyat dan tenaga kesehatan jadi korban
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Gejala batuk, pilek, sesak napas, dan sakit tenggorokan mengantarkan Fachri Muchtar ke instalasi gawat darurat (IGD) di rumah sakit yang berada di bilangan Pasar Minggu. Karena kondisi kesehatan yang tak kunjung membaik, ia khawatir rasa sakit itu merupakan gejala virus Corona atau COVID-19.
Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, dari cek darah sampai rontgen paru-paru, Fachri diminta menunggu di ruangan dekontaminasi. Benak Fachri dipenuhi kalut selama berada di ruangan seluas 2x3 meter itu.
“Satu ruangan bisa 4-5 orang. Di ruangan itu ada 3 pasien tidur di ranjang dan 2 orang duduk di kursi roda karena gak muat. Itu isinya orang batuk semua. Pokoknya batuk, mau dia terindikasi Corona atau gak digabung di situ,” tulisnya dalam utas melalui akun Twitter @fmuchtar_ pada 16 Maret 2020.
Padahal, penyebaran virus berlangsung cepat dan masif. Fachri heran bagaimana bisa mereka yang belum dipastikan terinfeksi virus corona (disebut juga Pasien Dalam Pengawasan atau PDP) ditempatkan dalam satu ruangan. Bagaimana jika yang positif corona hanya satu orang, kemudian dialah yang justru menyebarkan virus kepada empat orang lainnya.
Dua jam berselang, hasil pemeriksaan awal Fachri akhirnya keluar. Berdasarkan gejala penyakit dan riwayat perjalanannya, Fachri dinyatakan sebagai suspek COVID-19.
“Akhirnya gue dipindahkan ke ruang khusus isolasi pasien COVID-19. Ruangan isolasi ini diisi 6 orang pasien dengan kriteria sakit beda-beda. Mulai dari yang kelihatan sehat sampe yang batuknya sering tuh ada, dicampur di ruang itu,” kata dia.
Fachri melanjutkan, “dari 6 orang, 2 di antaranya langsung dirujuk ke RS rujukan yang lain. Sedangkan sisanya menunggu di kamar isolasi rawat inap kosong atau ada RS rujukan lain yang mau nerima, sedangkan kondisinya semua RS rujukan tuh penuh. Gue dan 3 orang lainnya cuma bisa ngobrol aja sambil nunggu kepastian tes swab.”
Tes swab adalah proses mengambil spesimen lendir di saluran pernapasan untuk diproses dengan metode polymerase chain reaction (PCR) guna mendeteksi adanya virus SARS-CoV-2.
Melalui pengalaman tersebut, Fachri mendapatkan kenyataan apabila infrastruktur kesehatan di Indonesia begitu rapuh. Seharusnya, sebagaimana dijanjikan pihak RS, hasil tes swab keluar tiga hari kemudian. Namun, hingga hari ini, dia tak kunjung menerima hasil uji laboratorium.
“Belum (nerima). Sudah dua minggu gak ada kabar,” kata Fachri saat dihubungi IDN Times, Rabu (1/4).
Kekhawatiran Fachri diakui oleh dokter yang ia temui selama berada di rumah sakit. Fachri bercerita, dokter tersebut mengatakan kalau Indonesia tidak siap untuk menghadapi pandemik COVID-19.
Padahal, pemerintah sempat membangun opini bahwa infeksi COVID-19 adalah penyakit yang mudah ditangani. Tapi, kebijakan konkret menghadapi virus ini lambat dieksekusi.
Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemerintah Indonesia sudah mempersiapkan fasilitas kesehatan untuk merawat pasien positif virus corona. "Sejak awal, pemerintah benar-benar mempersiapkan. Rumah sakit lebih dari 100 dengan ruang isolasi yang baik," ujar Presiden di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/3/2020).
Jokowi mengklaim, peralatan medis untuk merawat pasien virus corona pun sudah memenuhi standar internasional. "Kita juga memiliki reagen (cairan kimia pendeteksi virus) yang cukup," ujar Presiden Jokowi saat itu, bersamaan dengan pengumuman dua pasien pertama yang hasil tesnya positif COVID-19.
“Indonesia tuh gak siap ngadapin Corona. Sangat gagap bahkan dalam pelayanan medis. Dengan metode tes swab yang kayak sekarang, gak heran kalau banyak yang underdiagnosed. Kenapa? Fasilitas kita sangat terbatas, bahkan petugas medis yang nanganin pasien aja gak bisa tes swab,” keluh Fachri setelah berbicara dengan dokter.
Banyak yang mengalami nasib seperti Fachri. Tidak diberi kepastian apakah hasil tes swab negatif atau positif corona. Bahkan, sejumlah keluarga suspek corona baru memperolah hasil tes positif setelah jenazahnya disemayamkan.
Baca Juga: Sempat Disebut Negatif, Warga Cianjur Ternyata Meninggal karena Corona
Tenaga medis juga mengeluh soal keterbatasan sarana dan pra-sarana kesehatan
Bukan hanya Fachri yang mengeluh soal infrastruktur kesehatan di Indonesia. Para tenaga medis juga merintih resah perihal sarana dan pra-sarana kesehatan ketika memerangi penyakit yang sudah melanda 190-an negara ini.
Berdasarkan catatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), 10 dokter telah kehilangan nyawa karena berurusan dengan pasien COVID-19. Selain itu, berdasarkan hasil rekapitulasi Pemprov DKI Jakarta, sekurangnya 81 tenaga medis kesehatan terpapar virus corona.
Salah satu permasalahan seputar sarana dan pra-sarana kesehatan adalah kelangkaan alat pelindung diri (APD). Banyak rumah sakit yang tidak bisa memenuhi kebutuhan APD para dokter, mulai dari masker medis hingga baju hazmat. Alhasil, merawat pasien virus corona sama saja dengan misi bunuh diri.
Lebih buruk lagi, alih-alih menyembuhkan pasien, para dokter justru berpotensi menjadi inang bagi SARS-CoV-2 untuk disebarkan kepada orang lain.
“Jadi gak cuma dikatakan bunuh diri buat si dokter. Ini dokter bisa jadi carrier, pembawa, karena bisa jadi dia gak ada keluhan. Dia bisa malah bisa menularkan penyakitnya,” kata Wakil Ketua Umum IDI, Adib Khumaidi, saat dihubungi IDN Times, Senin (30/3).
Untuk meminimalisir hal itu, para tenaga medis dituntut untuk menggunakan APD seadanya, termasuk mengganti baju hazmat dengan jas hujan. Menurut Adib, prinsipnya adalah memberikan proteksi seoptimal mungkin kepada petugas medis.
Di tengah situasi yang tidak menguntungkan, Adib bersyukur karena beberapa usaha kecil dan menengah (UKM) dan rumah sakit dalam negeri mampu memproduksi baju hazmat secara mandiri.
“Hari ini kan semua negara membutuhkan APD, jadi impor bukan solusi. Mau tidak mau akhirnya kami sampaikan (kepada produsen) kalau baju hazmat ini lho spesifikasinya, bahannya. APD ini hanya satu dari sekian masalah,” ujar Adib.
Kehilangan dokter dan tenaga kesehatan, satu demi satu, tentu memberikan dampak signifikan di tengah situasi pandemik seperti ini. Minimal moral para benteng terakhir perang melawan COVID-19 harus didukung semua pihak.
Catatan terbaru IDI, dokter di Indonesia berjumlah 185 ribu, sekitar 141 ribu di antaranya adalah dokter umum. Berdasarkan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), rasio perbandingan yang ideal antara dokter dengan jumlah penduduk di suatu daerah adalah 1:2.500. Secara kuantitas, dengan jumlah penduduk sekitar 265 juta jiwa, rasio dokter di Indonesia sudah memenuhi standar WHO, yaitu 1:1.900.
“Yang jadi permasalahan bukan jumlahnya, tapi sebarannya. Istilahnya ada maldistribusi penyebaran dokter. Karena pembangunan infrastruktur kesehatan terus terjadi di kota besar, akhirnya permintaan dokter di sana-sana aja,” ungkap Adib.
Catatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2019, hanya 9 provinsi yang kebutuhan dokternya sudah terpenuhi. Artinya, setiap 2.500 penduduk, sekurangnya ada 1 dokter, bahkan bisa lebih. Daftar provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Bali, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Utara, Aceh, Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Banten. Untuk Ibu Kota, rasio perbandingan dokternya bahkan mencapai 1:800.
Sampai 31 Maret 2020, peta sebaran COVID-19 di Indonesia menunjukkan virus laknat ini sudah merebak ke 31 provinsi.
Hal yang meresahkan adalah virus ini sudah mewabah ke sejumlah daerah yang tergolong sebagai daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar), di antaranya Papua, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Barat. Sebagai gambaran, rasio perbandingan dokter dengan penduduk di Sulawesi Barat mencapai 1:10.000.
Kemenkes telah mendata 143 kabupaten/kota di 27 provinsi yang tergolong sebagai daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) dengan permasalahan kekurangan tenaga medis. Rasio perbandingan dokter (termasuk dokter umum, spesialis, dan gigi) di daerah 3T dengan jumlah dokter nasional mencapai 1:11. Artinya, hanya ada 1 dari 11 dokter yang mengabdikan diri di daerah 3T.
Sementara, rasio perbandingan tenaga medis lainnya (perawat dan bidan) dengan jumlah nasionalnya adalah 1:6.
Maldistribusi dokter mengharuskan penyebaran rantai virus Corona diputus secepat mungkin, sebelum angka kasus positif di daerah 3T semakin banyak.
“Jadi memang imbauan untuk tidak boleh mudik diperlukan agar virus yang dibawa dari kota tidak menyebar ke daerah yang infrastruktur kesehatannya kurang memadai,” kata mantan Wakil Menteri Keuangan, Chatib Basri, kepada IDN Times, Rabu 25 Maret 2020 lalu.
Baca Juga: Ilmuwan UI: COVID-19 Mereda Paling Cepat Mei, Tergantung Pemerintah
Keterbatasan infrastruktur kesehatan memaksa banyak Puskesmas untuk alih fungsi menjadi tempat isolasi pasien virus corona. Padahal, Puskesmas di Indonesia tidak dipersiapkan untuk perawatan atau isolasi.
“Puskesmas bukan untuk itu. Yang ideal adalah dibentuk semacam ruang karantina wilayah, Puskesmas yang menjadi pengawasnya. Misalnya kepala daerah yang menjadikan rumah dinasnya sebagai tempat isolasi, itu bagus. Nanti Puskesmas juga yang menentukan apakah suatu pasien akan dirujuk ke RS daerah atau tidak. Ini tentu bisa dilaksanakan kalau sistem kesehatannya bagus,” papar Diah.
Adib juga mengusulkan agar setiap daerah memiliki pusat kesehatan yang dikhususkan untuk menangani pasien dengan gejala COVID-19. Sebab, Adib khawatir pandemik ini akan mengganggu pelayanan kesehatan lainnya.
“Harus dibuat pelayanan terstruktur. Ditunjuk satu tempat, sehingga pasien terarah. Jadi kalau pasien merasa sakit tapi bukan gejala corona, dia bisa ke faskes yang lain. Jadi intinya ada faskes yang dibuat berjenjang, biar di RS rujukan juga gak menumpuk. Terus, ini juga meminimalisir kontak. Kalau seandainya yang terpapar corona tapi gak ada gejala merawat diri ke berbagai faskes, dia akan jadi carrier,” ucap Adib.
Situasi hari ini, pemerintah didesak untuk segera melakukan karantina wilayah atau lockdown. Imbauan physical distancing yang diserukan oleh pemerintah nyatanya belum bisa memutus rantai penyebaran Corona. Untuk menghadapi skenario terburuk, pemerintah bahkan mempersiapkan skema darurat sipil.
Menanggapi wacana tersebut, Diah mengingatkan bila karantina wilayah bukan satu-satunya jalan keluar. Karantina wilayah tanpa pemeriksaan secara masif dan perawatan yang benar akan berakhir sia-sia.
“Lockdown is not everything. Percuma karantina wilayah kalau tidak massive test, massive contact tracing, dan tidak dirawat. Lockdown ini kan tujuannya mengkarantina virus, tapi karena virusnya ada di manusia, maka berdampak terhadap kebebasan manusianya,” kata Diah.
Terkait skema karantina wilayah dalam kerangka Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sedang disiapkan pemerintah, Juru Bicara Pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, memastikan anjuran WHO dalam menangani virus ini tetap berjalan.
“Tidak berarti dengan PSBB kita tidak melakukan tracing dan testing. Kan jadinya percuma kalau sudah dites, di-trace, tapi tidak dibatasi mobilitasnya. Tidak terputus nanti rantai penyebarannya,” kata Yuri kepada IDN Times, Rabu (1/4).
Perempuan asal Indonesia pertama yang menempati posisi penasihat WHO menegaskan, tidak ada indikator pasti dalam penerapan karantina wilayah. Seberapa efektif lockdown bisa menurunkan kurva COVID-19 akan tergantung kebijakan pemerintah.
“Lockdown beda-beda di berbagai negara. Di Tiongkok, mungkin efektif karena negaranya bukan demokrasi, jadi masyarkat takut. Di Italia tidak efektif karena sudah kelamaan dan health system-nya hampir collapse. Artinya ada faktor lain di sana. WHO gak pernah bilang harus lockdown.”
Diah menganalogikan karantina wilayah seperti petinju yang sedang beristirahat.
“Lockdown itu memberikan kesempatan untuk health system ‘napas’ dulu. Okeh, saya butuh APD, saya butuh obat ini, orangnya harus istirahat dulu. Kalau petinju terus dipukulin akan K.O dia, makanya dia harus istirahat 3 menit untuk treatment.”
Alumni Seattle University ini juga berharap, pandemik yang sampai 31 Maret 2020 menewaskan lebih dari 43 ribu orang di seluruh dunia itu menjadi momentum untuk membenahi sistem kesehatan di Indonesia.
“Dalam kondisi seperti ini, perubahan (APBN) itu harus ya. Tapi nanti harus dihitung dulu berapa kebutuhannya, kemudian bisa mengajukan anggaran lebih. Ini sangat disayangkan sudah ratusan orang yang meninggal, tapi sebaiknya hal ini segera dicegah, jangan sampai kita seperti Italia atau Iran,” ujar Diah.
Mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla mengakui, infrastruktur kesehatan kita lemah.
“Tentunya kita menyadari persis bahwa tidak siap tentu, sama dengan negara lain memang justru hal-hal prinsip yang artinya fundamental yang kita tidak siap. Apakah itu APD alat perlindung diri, masker itu termasuk, semua obat -obatan. Iya ruang isolasi terbatas, vetilator terbatas, kita tidak siap,” ujar JK, yang kini menghabiskan waktu sebagai Ketua Umum Palang Merah Indonesia.
Saat diwawancarai IDN Times, Senin (30/3/2020) JK menyarankan pemerintah konsentrasi menyelamatkan orang. “Nah, ongkosnya berapa, Jangan berpikir ongkos. Tapi berpikirnya, apapun caranya udah laksanakan. Kita bisa defisitnya (anggaran) dinaikkan, artinya bisa utang. Apa boleh buat? Karena apabila tidak dilakukan, makin besar ini. Makin tinggi nanti bebannya di belakang hari kerugian negara,” ujar JK.
Para pemimpin dunia tengah memimpin perang melawan pandemik COVID-19 dengan caranya masing-masing. Ada yang bergegas, ada yang dihujat warganya karena dianggap terlambat. Mahal harganya, korban tumbang kehilangan nyawa.
Presiden Ghana Nana Akufo-Addo mencuri perhatian publik dunia. Saat pidato kepada rakyatnya soal penanganan COVID-19, 18 Maret 2020, dia menegaskan, “Kami tahu cara menghidupkan kembali ekonomi. Yang kami tidak tahu adalah cara menghidupkan kembali manusia.”
Baca Juga: [LINIMASA] Perkembangan Terkini Wabah Virus Corona di Indonesia