Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Gelar pahlawan nasional
Aliansi Jogja Memanggil menolak keras pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto oleh Presiden Prabowo Subianto, Senin (10/11/2025). (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Intinya sih...

  • Ada dua kemungkinan pencabutan gelar pahlawan Soeharto, yaitu melalui Keputusan Presiden atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

  • Pemberian gelar pahlawan nasional Soeharto sudah direncanakan sejak lama dan memiliki makna terkait tata kelola Orde Baru.

  • Keluarga Soeharto merespons santai pro kontra pemberian gelar pahlawan nasional dengan mengajak semua pihak untuk melihat kembali prestasi Soeharto selama berkuasa.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Presiden Prabowo Subianto telah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto pada Senin, 10 November 2025. Gelar pahlawan nasional itu diterima langsung oleh ahli waris Soeharto yakni Siti Hardijanti Rukmana dan Bambang Trihatmojo di Istana Kepresidenan.

Namun, pemberian gelar pahlawan nasional tersebut menuai protes dari publik, lantaran Soeharto dianggap tidak layak mendapat gelar tersebut. Selain itu, Soeharto terpaksa mundur pada 1998 setelah desakan publik. Ia dianggap tak lagi mampu mengelola negara usai Indonesia dihantam krisis ekonomi hebat pada 1997.

Kini muncul desakan agar Prabowo mencabut kembali gelar pahlawan nasional yang sudah dianugerahkan pada 10 November 2025. Salah satu desakan datang dari aliansi BEM se-Universitas Indonesia (UI).

Apakah gelar pahlawan nasional memungkinkan dicabut setelah diberikan negara?

1. Ada dua kemungkinan pencabutan gelar pahlawan Soeharto

Pengadilan Tata Usaha Negara (IDN Times/Aryodamar)

Menurut dosen hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang penganugerahan pahlawan nasional berpeluang dicabut. Ia mengatakan ada dua cara untuk menganulir pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto.

Pertama, keputusan pemberian gelar pahlawan nasional dicabut presiden selaku pembuat keputusan, meskipun Herdiansyah pesimistis Prabowo akan menempuh kebijakan tersebut. Mengingat Soeharto merupakan mantan mertuanya.

"Apakah mungkin presiden akan mengoreksi itu? Saya kira tidak. Bagaimana pun usulan Soeharto dijadikan pahlawan nasional memang sudah menjadi rencana presiden atau menteri-menterinya. Jadi, agak sulit memenuhi itu," kata dia ketika dihubungi hari ini.

Cara kedua, kata Herdiansyah, yakni dengan mengajukan pembatalan Keppres tersebut lewat mekanisme Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Presiden, katanya, merupakan pejabat tata usaha negara, sehingga Keppres dapat dibatalkan lewat PTUN.

Pernyataan senada juga disampaikan akademisi dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari. Ia mengatakan kebijakan pemerintah atau badan tata usaha negara bisa dibatalkan atau dianggap tidak sah sepanjang ditemukan masalah dalam penyusunannya.

"Baik dianggap tidak sesuai dengan Pasal 17, 18, 19, 20 di Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 mengenai administrasi pemerintahan. Basisnya bila sebuah tindakan dan kebijakan administrasi terbukti melampaui kewenangannya, mencampur adukan kewenangan dan sewenang-sewenang," kata Feri kepada IDN Times melalui telepon, Senin (17/11/2025).

"Jadi, kebijakan pemerintah bila memenuhi tiga kriteria tadi, maka bisa dinyatakan tidak sah," sambungnya.

Feri mengatakan lantaran penetapan pemberian gelar pahlawan nasional dalam bentuk Keppres, maka bisa dicabut dengan diterbitkan Keppres baru. Dia juga sejalan dengan Herdiansyah, seandainya presiden tak mau mengeluarkan Keppres pencabutan pemberian gelar pahlawan, maka jalan lain yang bisa ditempuh yakni melalui PTUN.

"Di PTUN tinggal dibuktikan saja, apakah tindakan pemberian gelar pahlawan itu melanggar undang-undang atau tidak," tutur dia.

2. Pemberian gelar pahlawan nasional Soeharto sudah direncanakan

Infografis wacana pemberian gelar pahlawan nasional Soeharto (IDN Times/Sukma Shakti)

Lebih lanjut, Feri mengatakan, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sudah direncanakan sejak lama. Langkah itu diawali dari kebijakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 2024 yang mencabut nama Soeharto dari TAP Nomor 11 Tahun 1998, mengenai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Penyebutan nama Soeharto tertera di Pasal 4 TAP MPR tersebut.

"Apalagi simpul-simpul kekuasaan mendukung untuk dikembalikannya era Orde Baru. Jadi, bisa saja rezim ini menyimbolkan dirinya terkait tata kelola Orde Baru dengan menasbihkan Soeharto sebagai pahlawan," kata pria yang juga pemeran utama di film dokumenter Dirty Vote itu.

Feri menyebut dengan adanya pemberian gelar pahlawan nasional pada Soeharto, memiliki makna bahwa kebijakan kali punya pola pikir ala Orde Baru dan ingin mengembalikan Orba.

"Jadi, disimbolkan dulu dengan pemberian gelar (pahlawan nasional) tersebut," tutur dia.

Feri pun sepakat dengan persepsi yang terbentuk bahwa protes yang disampaikan di ruang publik soal pemberian gelar pahlawan nasional pada Soeharto, tidak ditanggapi pemerintah. Sebab, ini merupakan konflik di antara dua kutub yang bertentangan.

"Satu kutub reformasi, satu lagi kutub yang dilawan oleh para reformer ini yaitu Orde Baru, keluarga dan antek-anteknya," imbuhnya.

3. Keluarga tanggapi santai pro kontra pemberian gelar pahlawan nasional Soeharto

Bambang Trihatmodjo dan Siti Hardijanti Hastuti Rukmana (Tutut Soeharto). (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Sementara, putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut tak mempermasalahkan adanya protes yang muncul dari masyarakat terkait pemberian gelar pahlawan nasional pada mendiang ayahnya.

"Masyarakat Indonesia itu kan macam-macam ya, ada yang pro ada yang kontra, itu wajar-wajar saja," ujar Tutut di Istana Kepresidenan, Senin, 10 November 2025.

Alih-alih memprotes, Tutut mengajak semua pihak untuk melihat kembali apa yang sudah dikerjakan Soeharto selama 32 tahun berkuasa. Ia menyebut saat menjabat sebagai Presiden kedua RI, Soeharto sudah berjuang banyak demi negara dan masyarakat Indonesia.

"Jadi boleh-boleh saja kontra, tapi juga jangan ekstrem. Yang penting kita jaga persatuan dan kesatuan," tutur dia.

Editorial Team