Dukung RUU Perampasan Aset, KPK: Bisa Memberikan Efek Jera  

RUU Perampasan Aset bisa membantu memulihkan kerugian negara

Jakarta, IDN Times - Plt Jubir Bidang Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan pihaknya menyambut baik usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana untuk segera menjadi RUU Prioritas tahun 2021 di DPR.

"Dengan menjadi UU, maka akan memberikan efek dan manfaat positif bagi dilakukannya aset recovery dari hasil tipikor maupun TPPU," ujar Ali saat dikonfirmasi, Selasa (16/2/2021).

1. Perampasan aset bisa memberi efek jera para koruptor

Dukung RUU Perampasan Aset, KPK: Bisa Memberikan Efek Jera  Ilustrasi gedung KPK (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Menurut Ali, perampasan aset dari para pelaku berbagai tindak pidana korupsi dan TPPU dapat memberikan pemasukan bagi kas negara. Nantinya kas negara bisa dipergunakan untuk pembangunan dan kemakmuran rakyat.

"Bagi KPK, penegakan hukum tipikor tidak hanya terbatas pada penerapan sanksi pidana berupa pidana penjara saja. Namun, akan lebih memberikan efek jera bagi para pelaku tipikor maupun TPPU apabila juga dilakukan perampasan aset hasil tipikor yang dinikmati oleh para koruptor," katanya.

Baca Juga: KPK Minta Polri Bijak Tangani Cuitan Novel Baswedan soal Ustaz Maaher

2. ICW ragu pemerintah bakal membahas RUU Perampasan Aset

Dukung RUU Perampasan Aset, KPK: Bisa Memberikan Efek Jera  Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana (ANTARA News/Fathur Rochman)

Dikonfirmasi terpisah, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, pihaknya ragu pemerintah bakal membahas RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Sebab, selama ini arah politik hukum era Presiden Joko Widodo memang terfokus hanya untuk melemahkan institusi pemberantasan korupsi, salah satu wujud konkretnya adalah merevisi Undang-Undang KPK," kata Kurnia.

Menurut Kurnia, regulasi-regulasi itu bisa menjadi suplemen bagi pemberantasan korupsi. Dia mencontohkan, jika ada RUU Perampasan Aset, penegak hukum tidak perlu khawatir jika ada pelaku korupsi yang melarikan diri.

"Sebab, yang akan menjadi objek dari penanganan perkara adalah aset milik pelaku tersebut. Selain itu, sistem pembuktian di persidangan pun akan berbeda, karena mengakomodir sistem pembalikan beban pembuktian," ucapnya.

Selain itu, lanjut Kurnia, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal juga harus dibahas. Hal ini penting untuk meminimalisir terjadinya tindak pidana suap dengan cara transaksi tunai.

"Sebab, pola transaksi tunai tersebut menghambat penegak hukum untuk mendeteksi kejahatan itu. Terakhir, merevisi UU tipikor dengan menaikkan ancaman hukuman, baik fisik maupun denda," katanya.

Kurnia menambahkan, berdasarkan data ICW pada semester pertama 2020, total kerugian negara yang diakibatkan praktik korupsi mencapai Rp39 triliun. Sedangkan vonis pengenaan uang pengganti, hanya Rp2,3 triliun.

"Data ini seharusnya semakin menggambarkan betapa pentingnya mempercepat pengesahan dan pengundangan RUU Perampasan Aset. Jadi ke depan, fokus utama bukan hanya sekadar memenjarakan, akan tetapi juga memulihkan kerugian keuangan negara," tutur dia.

3. Kepala PPATK minta Menkumham dorong penetapan RUU Perampasan Aset

Dukung RUU Perampasan Aset, KPK: Bisa Memberikan Efek Jera  Ketua PPATK Dian Ediana Rae (Dok.Instagram.com/PPATK_Indonesia)

Sebelumnya, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, mendorong ditetapkannya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.

"Sehubungan dengan tidak adanya lagi 'pending' isu, PPATK meminta kesediaan Kemenkumham sebagai wakil pemerintah untuk mendorong ditetapkannya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sebagai RUU Prioritas tahun 2021 atau setidaknya RUU Prioritas 2022. Hal ini sejalan dengan kerangka regulasi RPJMN tahun 2021 yang dibahas dan disepakati di Bappenas," kata Dian Senin (15/2/2021) seperti dikutip dari ANTARA.

Dian menuturkan, saat ini regulasi Indonesia memiliki keterbatasan dalam menyelamatkan aset yang merupakan hasil tindak pidana. Berdasarkan hasil pemantauan PPATK, upaya penyelamatan aset atas hasil tindak pidana di Indonesia belum optimal.

"Khususnya perampasan terhadap hasil tindak pidana yang tidak dapat atau sulit dibuktikan tindak pidananya, termasuk di antaranya hasil tindak pidana yang dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia," tuturnya.

Baca Juga: Kawal Rencana Vaksin Mandiri, Ketua KPK: Setiap Rupiah Untuk Rakyat

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya