Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Paripurna di DPR (DN Times/Fitang Budhi Adhitia)
Ilustrasi Paripurna di DPR (DN Times/Fitang Budhi Adhitia)

Jakarta, IDN Times - Sidang paripurna penetapan Rancangan Undang-Undang Perkoperasian (RUU Perkoperasian), di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (26/9) diwarnai interupsi soal RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di antaranya, Fraksi PKS (F-PKS) yang ingin RUU KUHP disahkan anggota DPR periode sekarang. Namun, PKS mengusulkan agar menghapus pasal penghinaan pada presiden dan wakil presiden.

“Pasal penghinaan presiden itu kita cabut, dan kedua RUU KUHP yang sudah dibahas dengan DPR dan pemerintah seluruh fraksi, kita sahkan periode ini, sebagai bagian dari suksesnya reformasi hukum,” kata anggota DPR Fraksi PKS Al Muzammil Yusuf saat paripurna.

1. PKS ingin Indonesia memiliki UU KUHP karya anak bangsa

ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

PKS memandang, Indonesia saat ini berada pada momentum sejarah untuk mengakhiri 101 tahun berlakunya KUHP warisan kolonial Belanda. Karena itu, seharusnya Indonesia sekarang memiliki KUHP karya anak bangsa yang sesuai moralitas bangsa, norma Pancasila dan konstitusi negara kita.

“Kita mengakhiri penjajahan asing dalam bentuk perundang-undangan lebih dari satu abad. Allahuakbar, merdeka! Wassalam,” ujar Muzammil.

2. Sebelum disahkan, PKS minta pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dihapus

IDN Times/Teatrika Handiko Putri

Ada tiga pasal yang harus dihapuskan sebelum disahkan. Fraksi PKS mengusulkan pasal yang yang dihapus dalam RUU KUHP yaitu Pasal 218, 219, dan 220 terkait penyerangan terhadap kehormatan dan martabat presiden dan wakil presiden. Menurut Muzammil, karena pasal tersebut dinilai tidak memiliki kepastian hukum dan rentan multitafsir.

Fraksi PKS, kata dia, akan mengusulkan Pasal 218, 219, dan 220 dalam RUU KUHP, perihal penyerangan kehormatan dan hak martabat presiden dan wakil presiden, dicabut dengan beberapa alasan.

"Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13 Tahun 2006, Nomor 6 Tahun 2007 yang mencabut Pasal 134, 136, 137, dan Pasal 154, 155 KUHP terkait dengan penghinaan presiden. Dengan pertimbangan MK, yaitu menimbulkan ketidak pastian hukum, karena sangat rentan pada tafsir, apakah suatu protes pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden," kata Muzammil.

3. PKS sebut pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden mengganggu kebebasan pers

ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT

Selain itu, Muzammil menyebut, pasal tersebut dapat mengancam kebebasan pers dalam mengkritisi kebijakan presiden. Menurut dia, perlu ada kontrol atas kebijakan presiden, agar tidak menimbulkan kekuasaan otoriter.

"Kedua pasal penghinaan tersebut dalam rancangan KUHP mengancam sangat serius pada kebebasan pers media massa pilar keempat demokrasi, ketika mereka mengkritisi kebijakan presiden atau wapres, yang dinilai merugikan hak-hak warga sipil. Padahal presiden-wakil presiden telah mendapatkan hak prerogatifnya yang luas sebagai pemerintah, maka harusnya siap dikoreksi oleh warganya. Jika tidak, akan berpotensi kekuasaan yang otoriter," tutur dia.

4. Fraksi PDIP mendesak RUU KUHP ditunda

ANTARA FOTO/R. Rekotomo

Sementara, anggota DPR RI Fraksi PDIP dapil Papua Barat Jimmy Demianus Ijie mengusulkan pengesahan RUU KUHP perlu ditunda, karena perlu adanya pembahasan lebih dalam.

"Menanggapi apa yang tadi diusulkan teman kita dari PKS, soal RUU KUHP, menurut hemat kami, semestinya ini ditunda dulu, agar dibicarakan lebih baik, lebih teliti lebih hati-hati. Karena ini urusan kita berbangsa, bernegara. Oleh karena itu kita tunda dulu," kata Jimmy.

5. Presiden Jokowi minta pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dihapuskan di RUU KUHP

IDN Times/Teatrika Handiko Putri

Pimpinan dan anggota DPR RI telah bertemu Presiden Joko "Jokowi" Widodo, di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (23/9). Pertemuan Jokowi dengan para pimpinan serta anggota DPR tersebut untuk membahas mengenai RUU KUHP.

Dalam pertemuan itu, Jokowi menyampaikan kepada DPR bahwa ia tak mempermasalahkan tentang pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Bahkan, ia meminta DPR menghapuskan pasal tersebut dari RUU KUHP.

Hal itu dibenarkan Ketua Fraksi NasDem di DPR RI Johnny G Plate usai bertemu Presiden Jokowi.

"Terhadap dirinya sendiri, Pak Jokowi tidak keberatan penghapusan pasal tersebut, namun bagaimana terhadap Presiden berikutnya," kata Johnny saat dihubungi IDN Times, Selasa (24/9).

Menurut Johnny, meski Jokowi tak keberatan, tetapi harus tetap melihat untuk Presiden dan Wakil Presiden berikutnya.

"Terhadap Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara tentu juga perlu memperhatikan etika dan budaya Indonesia yang umum diterima, yakni saling hormat menghormati, bukan saling mencerca dan saling menghina," kata dia.

Sementara, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Erma Surya Ranik menuturkan, DPR membuat pasal tersebut di RKUHP bukan hanya untuk Presiden Jokowi, melainkan kepada pemimpin-pemimpin Indonesia ke depan.

"Kita ini bikin KUHP bukan untuk Pak Jokowi. Kita bikin KUHP ini untuk Republik Indonesia, bukan untuk Pak Jokowi, bukan untuk anggota DPR RI, tapi untuk negara ini," ucap Erma di Gedung DPR RI, Selasa (24/9).

Erma menjelaskan, pasal penghinaan pada presiden dan wakil presiden jangan dilihat bahwa DPR membuatnya untuk Jokowi. DPR ingin masyarakat melihat pasal tersebut untuk ke depan juga.

"Setelah itu Presiden baru dong. Berpikirnya harus beda, gak boleh berpikirnya hanya karena Pak Jokowi. Itu delik aduan. Itu kita buat karena kita resah," kata dia.

Editorial Team