Pembahasan RKUHP Disebut Buru-Buru, Menkum HAM: Where Have You Been?

Jakarta, IDN Times - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna Laoly menepis anggapan pembahasan RKUHP dilakukan secara tertutup dan terburu-buru. Ia menyebut proses pembahasan itu sudah dilakukan sejak empat tahun lalu. Sehingga, di matanya aneh apabila publik baru memprotesnya sekarang.
"Bahkan, pembahasan untuk merevisi ini sudah dibahas oleh 7 presiden. Makanya, ketika pembahasan di tingkat pertama selesai, Pak Muladi (ahli hukum) mengeluarkan air mata. Dia mengatakan; 'kami sudah membayar utang-utang kami ke guru-guru kami sebelumnya," ujar Yasonna ketika berbicara di program Indonesia's Lawyer Club yang tayang di tvOne pada Selasa malam (24/9).
Bahkan, ia menyebut dengan adanya RKUHP yang segera disahkan bisa menuntaskan pula utangnya kepada anak bangsa, lantaran aturan itu sudah ada sejak zaman kolonial.
"Jangan pula dikatakan UU ini dibahas ujuk-ujuk tanpa proses. Kami sudah pergi ke kampus dan ke beberapa tempat (untuk mendengarkan masukan publik) dan tiap panja (panitia kerja) rapat, terbuka untuk umum," tutur pria yang sebentar lagi akan beralih menjadi anggota DPR per 1 Oktober mendatang itu.
Lalu, pasal-pasal apa saja yang dipermasalahkan oleh publik dan apa penjelasan dari Menkum HAM mengenai hal tersebut?
1. Menkum HAM menyebut pasal yang diributkan oleh publik sudah ada di KUHP lama, tapi di RKUHP justru diperbaiki

Hal lain yang tidak masuk ke dalam logika berpikir Yasonna yakni poin-poin keberatan di dalam di RKUHP justru sudah ada di KUHP periode sebelumnya. Dua poin yang ia garis bawahi yakni aturan mengenai individu yang membiarkan unggasnya berjalan di pekarangan orang lain maka bisa dipidana penjara. Kedua, mengenai gelandangan yang bisa dibui. Justru, di revisi KUHP, aturan di dua poin itu diperbaiki.
"Kalau di KUHP, menjadi gelandangan itu dihukum pakai pidana penjara. Di revisi, kami ubah aturannya menjadi denda. Apabila tidak sanggup membayar denda, maka kita lihat di KUHP buku pertama. Bisa dimungkinkan dia kerja sosial, dididik. What's wrong with that?," kata Yasonna.
Ia pun mengaku bingung mengapa upaya perbaikan yang coba dilakukan oleh pemerintah malah diprotes oleh publik. "Where have you been all this years?," tanya dia lagi.
Ia tutur mempertanyakan mengapa publik tidak menggugat ke Mahkamah Konstitusi KUHP yang sudah dilahirkan sejak era kolonial tersebut.
2. Menkum HAM geram karena penyampaian ke publik mengenai pasal-pasal di dalam RKUHP tidak benar dan viral

Di dalam program tersebut, Yasonna begitu emosi memberikan penjelasan ke publik lantaran semua narasi menyudutkan pemerintah dan DPR. Padahal, menurut dia, mereka tengah berupaya memperbaiki aturan hukum tersebut.
Penyampaian narasi pasal-pasal yang dimasalahkan dilakukan secara kurang akurat hingga muncul lah persepsi yang keliru. Ujung-ujungnya kata Yasonna, publik akhirnya turun ke jalan dan memprotes.
Ia pun membantah apabila dikatakan tak menampung aspirasi publik, lantaran sudah sempat beraudiensi dengan banyak pihak, mulai dari KPK, BNN, Komnas HAM, Jaksa Agung hingga ke pihak kepolisian.
"Ada pula narasi yang menyebut apabila perempuan berjalan seorang diri tengah malam, lalu bisa ditangkap. This is out of the blue, it's not even here. So, you better check that," kata Yasonna kepada mahasiswa yang pada Selasa kemarin menyemuti DPR untuk memprotes hal tersebut.
IDN Times mengecek pasal tersebut dan memang tidak ada yang menyebut secara spesifik ketentuan itu di draf RKUHP. Yang tertera adalah pasal yang mengatur orang bergelandangan di pasal 431. "Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang menganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana paling banyak kategori I." Kategori I yakni denda maksimal Rp1 juta.
3. Menkum HAM Yasonna mulai mengajukan untuk merevisi RKUHP sejak 2015 lalu

Yasonna kembali menjelaskan perjalanan untuk melakukan revisi KUHP bukan baru di era Presiden Jokowi saja. Tetapi, sudah sejak almarhum Presiden Soeharto. Bahkan, ketika Presiden dijabat SBY, usulan serupa juga diajukan ke DPR. Namun, belum terealisasi.
Ketika ia menjabat sebagai Menkum HAM, maka pada tahun 2015, Yasonna coba wujudkan pekerjaan rumah berat itu. Selama empat tahun, kata dia, proses pembahasan dilakukan.
"Kami membahas lebih dari 2.300 DIM (Daftar Inventaris Masalah). It's not easy dan itu tidak pernah kami tutup kesempatan bagi siapa pun, whoever they are untuk membahas ini.
Namun, karena Jokowi meminta agar pengesahannya ditunda, Yasonna memilih mengalah. Justru yang menjadi tanda tanyanya, informasi soal penundaan pengesahan itu sudah tercium sejak lima hari lalu. Namun, toh mahasiswa memutuskan tetap turun ke jalan dan berdemonstrasi.
"Nah, ini ada apa? Atau apa ada? Who design this kind of things?," tanya dia lagi.