BUMN Dinilai Merugi akibat Wamen Rangkap Jabatan, UU Kementerian Digugat ke MK

- Pemohon beranggapan, akibat banyak jabatan penting BUMN diisi oleh wamen yang merangkap, beberapa BUMN tidak maksimal dan justru mengalami berbagai kerugian.
- Oleh sebab itu, Pemohon menilai, fenomena wamen rangkap jabatan ini menimbulkan kerugian konstitusional. Ia pun menyontohkan kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) 2018-2023 yang berdampak pada dioplosnya BBM.
Jakarta, IDN Times - Seorang advokat bernama Viktor Santoso Tandiasa mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia meminta agar pasal tersebut tidak hanya melarang menteri rangkap jabatan, melainkan juga mengatur larangan serupa kepada wakil menteri (wamen).
Pemohon secara khusus memberikan contoh banyaknya wamen yang merangkap jabatan Komisaris di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Padahal, Komisaris BUMN punya peran yang sangat penting dalam mengelola perusahaan pelat merah tersebut.
"Jadi pada intinya permohonan itu kita minta agar wakil menteri itu ditegaskan dalam amar putusan untuk dilarang sama seperti menteri tidak boleh merangkap jabatan, salah satunya sebagai Komisaris BUMN," kata dia usai mendaftarkan permohonan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (28/7/2025).
1. Akibat wamen rangkap jabatan, BUMN alami kerugian

Pemohon beranggapan, akibat banyak jabatan penting BUMN diisi oleh wamen yang merangkap, beberapa BUMN tidak maksimal dan justru mengalami berbagai kerugian. Ia menegaskan, Komisaris BUMN harusnya memberikan pertimbangan, nasehat, dan pengawasan.
"Kalau kita melihat perkembangan BUMN ini selalu kan laporannya merugi. Dan faktanya, sudah banyak dugaan-dugaan korupsi yang terungkap bahkan sampai ratusan miliar. Misalnya kayak di PT Pertamina, lalu kemudian di PT Pupuk, bahkan di PT Garuda itu pun terjadi praktik korupsi," tegas Viktor.
2. Alami keruguian konstitusional

Oleh sebab itu, Pemohon menilai, fenomena wamen rangkap jabatan ini menimbulkan kerugian konstitusional. Ia pun menyontohkan kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) 2018-2023 yang berdampak pada dioplosnya BBM.
"Sehingga itulah yang kemudian menjadi dasar kerugian konstitusional kita sebagai masyarakat, terutama saya. Ketika komisaris itu dirangkap oleh wakil menteri, maka tidak fokus dalam melakukan fungsinya. Baik itu memberikan nasihat, pertimbangan terhadap direksi dalam mengambil keputusan dalam pengelolaan BUMN dan juga tidak mengawasi secara maksimal. Contoh yang paling konkret, kita harus mengalami atau mendapatkan BBM oplosan misalnya," ungkap dia.
3. Gugatan serupa

Sebelumnya, permohonan serupa juga digugat ke MK. Pemohon dengan nomor perkara 118/PUU-XXIII/2025 itu melakukan uji materi terhadap Pasal 23 UU Kementerian Negara serta Pasal 27B dan 56B UU BUMN.
Kuasa Hukum Pemohon, Mohammad Qusyairi menilai, aturan tersebut membuat banyak fenomena wamen rangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN. Ia berharap gugatan yang diajukan bisa dikabulkan MK agar tak ada lagi wamen yang rangkap jabatan.
"Ya pertama, kami menggugat UU Kementerian Negara, kemudian yang kedua kami menggugat UU BUMN, tepatnya pada pasal 23 UU Kementerian Negara, dan pasal 27b, 56b UU BUMN. Yang isinya itu pada prinsipnya adalah melarang wamen rangkap jabatan," kata dia saat mengajukan permohonan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (15/7/2025).
Pemohon secara khusus menyoroti Putusan MK Nomor 80 Tahun 2019 yang tak dipatuhi pemerintah. Dalam pertimbangan putusan itu jelas tidak membolehkan seorang menteri dan wamen merangkap jabatan karena khawatir terjadi benturan kepentingan secara serius.
"Padahal putusan MK bersifat final and erga omnes yang harus dipatuhi dan dijalankan. Pada prinsipnya, dalam pertimbangan MK putusan 80/2019 melarang sebetulnya, menteri dan wamen harus diposisikan sama yaitu sebagai pejabat negara yang tidak boleh sama-sama merangkap, tetapi atas dasar putusan itu, pemerintah justru abai," kata Qusyairi.
Pertimbangan utama para Pemohon mengajukan gugatan ialah karena kondisi rakyat yang saat ini kesulitan mencari kerja dan banyak terjadi PHK. Menurutnya, fenomena ini menimbulkan konflik dan jurang ketimpangan karena masih banyak wamen yang merangkap jabatan.
"Sekarang begini, di tengah banyaknya PHK, di tengah rakyat sulit cari pekerjaan, nah ini ada pejabat negara masih menjabat sebagai komisaris dan lain sebaginya. Ini kan menimbulkan konflik yang bertolak belakang dengan kenyataan demokrasi di Indonesia. Makanya kami menggugat UU Kementerian Negara sekaligus UU BUMN, ya itu supaya membatasi abuse of power. Kewenangan, jabatan harus dibatasi," tegas Qusyairi.
"Sehingga kemudian banyak wamen yang rangkap jabatan kan sekarang ini dengan komisaris. Ada sekitar 30 lebih wamen itu rangkap jabatan, ini yang tidak boleh dibiarkan," sambung dia.
Adapun dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menyatakan frasa "Menteri" pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mereka meminta agar pasal itu diubah menjadi, "Menteri dan Wakil Menteri".
Sehingga selengkapnya berbunyi: "menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah".
Kemudian, MK juga diminta memutuskan Pasal 27B Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) bertentangan dengan UUD NRI 1945. Pemohon meminta agar pasal itu diubah menjadi "Dewan Komisaris dilarang merangkap jabatan sebagai: a. anggota Direksi, Dewan Komisaris, atau Dewan Pengawas pada BUMN lain, anak usaha BUMN dan turunannya, dan BUMD; b. jabatan struktural dan fungsional pada kementerian/lembaga Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah; c. pengurus partai politik, calon anggota legislatif, anggota legislatif, calon kepala daerah, calon wakil kepala daerah, kepala daerah, dan/ atau wakil kepala daerah; d. jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; dan/ atau e. jabatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
Selain itu, MK juga diminta menyatakan Pasal 56B UU BUMN bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai "Dewan Pengawas dilarang merangkap jabatan sebagai: anggota Direksi, Dewan Komisaris, atau Dewan Pengawas pada BUMN lain, Anak Usaha BUMN dan turunannya, Badan Usaha Milik Daerah, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; b. jabatan struktural dan fungsional pada kementerian/lembaga pemerintah pusat dan pemerintah daerah; c. pengurus partai politik, calon anggota legislatif, anggota legislatif, calon kepala daerah, calon wakil kepala daerah, kepala daerah, dan/ atau wakil kepala daerah; dan/ atau d. jabatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".