Dihantam PMK, Sapi Perah Indonesia Merosot Rata-Rata Rugi Rp22 Juta

- Sebagian besar sektor sapi perah nasional masih digerakkan rumah tangga peternak skala kecil. Jumlah RTUP sapi perah menurun 16 persen dalam sepuluh tahun terakhir.
- Permasalahan tak bisa dilihat hanya dari sisi permodalan atau produksi. Diperlukan pendekatan menyeluruh yang mencakup pelatihan, pendampingan, akses pakan, pemasaran, hingga distribusi hasil.
- Strategi potensial untuk membangkitkan sektor sapi perah adalah penguatan koperasi dan kemitraan wakaf produktif. Koperasi bisa menjadi motor.
Bogor, IDN Times – Sektor peternakan sapi perah Indonesia tengah mengalami masa sulit. Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang mewabah sejak 2022 memengaruhi peternak dengan skala kecil.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University, Profesor Alla Asmara, menyebut krisis ini tak bisa diselesaikan secara parsial, melainkan harus dilihat dari hulu ke hilir.
PMK memberikan dampak telak pada produksi susu nasional. Penurunan populasi sapi laktasi menyebabkan produksi menurun drastis. Menurut riset IPB di Jawa Barat, lebih dari 40 persen peternak skala kecil atau 1-5 ekor sapi mengalami kerugian hingga Rp22 juta akibat ternak mati.
Sementara, peternak skala besar atau lebih dari lima ekor mengalami kerugian lebih dari Rp40 juta, karena terpaksa menjual sapi dengan harga murah atau melakukan pemotongan paksa.
“Kalau modal ditambah belum tentu pasarnya ada. Peternak kecil kadang ragu untuk ekspansi karena pakan dan pasar belum tentu,” kata Profesor Alla dalam praorasi bersama media via Zoom, Kamis (10/7/2025).
1. Peternak skala kecil masih mendominasi, tapi rentan

Sebagian besar sektor sapi perah nasional masih digerakkan rumah tangga peternak skala kecil. Sayangnya, kata Profesor Alla, dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah Rumah Tangga Usaha Peternakan (RTUP) sapi perah menurun 16 persen.
Hal ini menandakan sektor ini belum berkembang sesuai harapan, terutama karena keterbatasan modal, akses pasar, dan kurangnya pelatihan teknis.
2. Perlu pendekatan dari hulu ke hilir

Profesor Alla menekankan permasalahan tak bisa dilihat hanya dari sisi permodalan atau produksi. Diperlukan pendekatan menyeluruh yang mencakup pelatihan, pendampingan, akses pakan, pemasaran, hingga distribusi hasil.
Tanpa sinergi dari semua pemangku kepentingan, kata Alla, peningkatan produksi saja tidak akan efektif.
“Peternakan sapi perah punya peran penting dalam penyediaan pangan bergizi dan penggerak ekonomi desa. Tapi kalau hanya fokus di satu titik, ya akan timpang,” ujarnya.
3. Solusi koperasi dan wakaf produktif

Profesor Alla menyebut strategi yang dianggap potensial untuk membangkitkan sektor sapi perah adalah penguatan koperasi dan kemitraan wakaf produktif. Koperasi bisa menjadi motor peningkatan kapasitas SDM peternak lewat pelatihan dan pendampingan.
Sementara, Alla menjelaskan, wakaf produktif dapat menjawab masalah akses permodalan, serta membantu regenerasi peternak melalui skema beasiswa pendidikan dan redistribusi manfaat ekonomi.
“Kemitraan ini bisa menciptakan model usaha ternak berkelanjutan sekaligus mendukung SDM unggul dalam Visi Indonesia Emas 2025,” kata Profesor Alla.