Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi rumah ibadah umat Baha'i (Instagram/@bahai)

Jakarta, IDN Times - Kilas balik 2014 silam, masyarakat Indonesia sempat gaduh lantaran cuitan mantan Menteri Agama (Menag) Republik Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin, mengenai eksistensi agama Baha’i di Indonesia. Dia menegaskan, Baha’i merupakan agama yang berdiri sendiri dan bukan sempalan atau sekte dari Islam.
 
Melalui kultwit tertanggal 24 Juli 2014, Lukman meminta supaya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memberikan pelayanan administratif kepada penganut Baha’i selayaknya pelayanan kepada enam agama besar lainnya. Sebab, penganut Baha’i merupakan warga negara yang hak beragamanya dijamin oleh konstitusi.
 
“Berdasar UU 1/PNPS/1965 dinyatakan agama Baha'i merupakan agama di luar Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu yg mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Saya berpendapat umat Baha'i sebagai warga negara Indonesia berhak mendapat pelayanan kependudukan, hukum, dll dari Pemerintah,” katanya melalui akun @lukmansaifuddin.  

Sebaliknya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru menekan supaya Kemenag tidak mengakui Baha’i sebagai agama resmi di Indonesia. MUI menilai Baha’i sebagai ajaran sesat yang menyeleweng dari koridor Islam.
 
“Baha’i merupakan perpanjangan tangan dari sekte yang masih memiliki hubungan historis dengan Islam. Jadi, sangat tidak setuju jika Baha’i diakui sebagai agama baru oleh pemerintah. MUI mendesak Menag Lukman Hakim untuk bersikap bijak agar tidak terulang kembali Ahmadiyah jilid kedua,” kata Ketua Dewan Pimpinan MUI saat itu, Muhyidin Djunaidi, sebagaimana dikutip dari Republika.
 
Anggota humas dan Pemerintahan Baha’i Indonesia, Rina Tjua Leena, menyangkal bila ajaran yang dianutnya dianggap sebagai sempalan Islam. Menurutnya banyak orang salah paham karena tidak bisa membedakan budaya Arab dengan praktik keislaman.
 
“Memang Bahá'u'lláh (pembawa ajaran Baha’i) keluarganya berlatar belakang Islam. Jadi tidak heran secara kultur, cara berpakaiannya terlihat seperti Islam, tapi sebenarnya itu middle east culture yang tidak melekat pada agama tertentu. Yang perlu ditegaskan, Bahá'u'lláh itu membawa iman yang beda. Jadi kami sepenuhnya berbeda dengan Islam,” kata Rina kepada IDN Times.
 
Lantas apa sebenarnya agama Baha’i itu? Apa saja inti-inti ajarannya? Serta, ada berapa penganut Baha’i di Indonesia? Nah, untuk memahami Baha’i secara komprehensif, yuk simak fakta-fakta Baha’i di bawah ini.

1. Muncul di Iran pada abad 19

(Instagram/@bahai)

Pada 1844, ketika Iran dilanda dekadensi moral, Sayyid ‘Ali Muhammad, dikenal sebagai “Sang Bab”, hadir dengan pesan-pesan perdamaian. Pemuda asal Shiraz itu mengaku sebagai rasul yang membawa misi mempersiapkan jalan bagi kehadiran “Perwujudan Tuhan”. Sosok itulah yang nantinya membawa perdamaian dan menyerukan nilai-nilai keadilan universal.
 
Ajaran Sang Bab menuai kontroversi. Banyak masyarakat yang mengikuti Sang Bab karena ajarannya menyerukan penolakan terhadap diskriminasi. Tapi, pejabat dan pemuka agama Iran khawatir akan kehilangan kekuasaannya seiring meningkatnya pengikut Sang Bab. Alhasil, seruan Sang Bab dianggap sebagai ajaran sesat.
 
Resistensi dari elite Iran menyeret Sang Bab ke sejumlah pengasingan di pegunungan Azerbaijan. Namun, semangat Sang Bab untuk membumikan ajarannya tidak pupus. Alih-alih menyerah di tengah tekanan, kehadiran Sang Bab justru disambut ramah oleh para tahanan. Mereka malah menjadi pengikut Sang Bab.
 
Salah satu sosok yang menjawab seruan Sang Bab adalah Mírzá Husayn 'Alí yang bermukim di Tehran. Mírzá merupakan keturunan raja dengan kemampuan intelektual dan jiwa empati yang luar biasa. Bukannya hidup dalam gelimangan harta, Mírzá justru mendarmakan hartanya untuk orang-orang yang tidak mampu. Karena itulah dia dijuluki sebagai “ayah dari pada fakir miskin”.

2. Mirza adalah sosok Baha'u'llah yang dinantikan

Editorial Team

Tonton lebih seru di