[WANSUS] Pakar Epidemiologi: Temuan Vaksin Tak Membuat COVID-19 Hilang

Masyarakat bersiap untuk new normal

Jakarta, IDN Times - Berawal dari pasar hewan di Wuhan, Tiongkok, kini virus COVID-19 terus menginfeksi hampir 5,1 juta penduduk dunia termasuk Indonesia.

Selang dua bulan tepatnya 3 Maret 2020 lalu Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan dua kasus pertama COVID-19 di Indonesia dan hingga Sabtu (23/5) angka terkonfirmasi positif mencapai 21.745 jiwa dengan kasus kematian 1.351 orang.

Pemerintah pun berupaya menekan angka kasus salah satunya dengan karantina wilayah atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Di Jakarta sudah mulai diberlakukan pada 10 April lalu, setiap perusahaan dan perkantoran di Ibu Kota wajib menerapkan WFH.

Namun sayang jelang lebaran masyarakat berbondong-bondong menyerbu mal dan pusat perbelanjaan lain. Tanpa menghiraukan protokol kesehatan mereka abai dengan bahaya mengincar di tengah kerumunan saat wabah seperti ini.

Pemerintah bahkan sudah merencanakan beragam skenario new normal di berbagai sektor di saat angka positif terus meningkat.

Bagaimana pakar epidemiologi melihat kondisi saat ini berdasarkan kacamata epidemiologi?

Berikut wawancara khusus IDN Times dengan Ahli Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) dr Pandu Riono, Sabtu (23/5).

Pandemik belum berakhir, angka positif terus naik namun pemerintah mulai merencanakan relaksasi PSBB apakah sudah tepat? Bagaimana Anda melihat fenomena masyarakat yang menyerbu pusat perbelanjaan jelang lebaran?

[WANSUS] Pakar Epidemiologi: Temuan Vaksin Tak Membuat COVID-19 HilangWarga berbelanja pakaian yang dijual pedagang kaki lima di Jalan Jati Baru II, Tanah Abang, Jakarta, Senin (18/5). (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Pemerintah baru membicarakan (relaksasi PSBB) tapi seharusnya tidak dikomunikasikan ke publik dulu, sebab hal itu menimbulkan dugaan relaksasi akan dilakukan dalam waktu dekat akibatnya ya seperti itu.

Kalau mal penuh itu karena masyarakat sendiri dan pelaku bisnisnya tidak mengerti dan antisipasi dadakan seperti itu. Jika bisnisnya jalan maka mereka harus mempraktikkan protokol kesehatan jika masih diizinkan dibuka.

Pelaku bisnis harus ikut membantu agar tujuan pembatasan sosial ini bisa tercapai kalau mau dikurangi pembatasannya. Ini seakan akan urusan kesehatan sendiri, bisnis sendiri ya tidak boleh egois kayak gitu, karena tujuan kita mengatasi pandemi ini, kita ingin meredakan secepatnya.

Baca Juga: Erick Thohir Prediksi Vaksin COVID-19 Buatan Bio Farma Rilis pada 2021

Kriteria-kriteria apa saja yang harus dipenuhi pemerintah agar memasuki tahap relaksasi atau pengurangan PSBB?

Jadi kalau pemerintah daerah ingin meredakan atau mengurangi PSBB maka ada tiga kriteria yang harus dipenuhi yakni kriteria epidemiologi di mana kasus PDP dan sebagainya sudah menurun, kemudian layanan testing terus meningkat, kontak tracing terus dilakukan dan penduduk yang memakai masker meningkat, dan yang paling penting adalah kesiapsiagaan daripada pelayanan.

Jadi benar-benar harus dipastikan semua lini layanan baik puskesmas, rumah sakit swasta, dan pemerintah, ICU berfungsi, jalan, ventilator, APD tersedia, dokternya siap

Sebab saat pelonggaran PSBB kemungkinan ada peningkatan kasus sehingga pasien yang masuk rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain bisa dilayani dengan baik sehingga bisa menekan angka kematian kalau bisa zero.

Baca Juga: [LINIMASA-2] Perkembangan Terkini Wabah Virus Corona di Indonesia

Kapan pandemik COVID-19 ini diprediksi akan berakhir? Jika pandemik berakhir apakah bisa hidup normal kembali seperti sebelumnya?

Susah diprediksinya, kita akan menghadapi pandemik ini lama daripada yang kita harapkan, yang bisa dilakukan saat ini adalah meredakan supaya kita secara bertahap bisa kembali normal.

Kita tidak mungkin normal seperti sebelum pandemik, kita harus punya normal baru. Yang dimaksud normal baru adalah minimal mengurangi risiko penularan, ini yang harus kita terapkan, testing terus meningkat dan kalau ada yang positif bisa langsung isolasi.

Jadi kegiatan itu akan terus berjalan selama tahunan sampai kita bisa mengatasi benar karena itu membutuhkan persiapan jangka panjang. Namun kebanyakan persepsi masyarakat kalau kita ngomong seakan-akan besok dilakukan.

Pemerintah meminta agar masyarakat berdamai dengan COVID-19, apakah kita bisa hidup berdampingan dengan COVID-19?

Jadi istilahnya bukan damai namun kita harus meningkatkan kewaspadaan jadi pelonggaran pembatasan diikuti dengan peningkatan kewaspadaan. Ini yang harus kita persiapkan karena semua arahnya tidak lagi top-down tapi sudah mulai bottom up. Jadi masyarakat sendiri yang sekarang memegang kendali untuk melindungi mereka dan anggota masyarakat.

Di beberapa daerah yang tidak melaksanakan PSBB ternyata lebih berhasil dalam pengertian kasus konfirmasi positif tidak banyak, karena sifat pembatas berbasis masyarakat.

Di sejumlah daerah ada kelompok masyarakat, ada punya lumbung desa, punya kegiatan Kampung Siaga yang semua tidak minta izin ke Menteri Kesehatan untuk laksanakan PSBB karena kendalinya di masyarakat.

Masyarakat di Bali itu sistem Banjar mereka masih bagus, jadi mereka kalau pas hari raya Nyepi bukan urusan pemerintah tapi masyarakat jadi masyarakat patuh gak keluyuran pada penjaga, masyarakat yang melanggar langsung terkena pinalti adat.

Tapi kalau regulasi dan sebagainya masyarakat tidak patuh, tapi kalau adat atau ke tokoh masyarakat mereka lebih patuh.

Menurut Anda apakah saat ini kasus COVID-19 di Indonesia sudah mencapai puncak?

[WANSUS] Pakar Epidemiologi: Temuan Vaksin Tak Membuat COVID-19 HilangIlustrasi tes swab. IDN Times/Mia Amalia

Belum.Tetapi khusus DKI Jakarta sebenarnya sudah turun namun tertahan oleh masyarakat yang melakukan kegiatan di luar rumah. Saat Ramadan mereka malah ke luar mencari takjil dan sebagainya, ini yang membuat kurva penurunan berhenti.

Kalau saja masyarakat mau sedikit bersabar sekarang habis lebaran malah kita masuk tahapan pengurangan pembatasan.

Jadi kita minta Pemda turun tangan menertibkan pelaku bisnis yang bisa diatur, kalau mau berbisnis syaratnya cuma satu yakni menerapkan protokol kesehatan.

Jadi diatur saja mungkin tidak semua toko dibuka namun separuh-separuh atau secara bergantian, masyarakat juga harus dibatasi, atau sebaiknya toko membuka layanan online sehingga barang diantar ke rumah saja. Jadi lebaran lah dengan dengan suasana prihatin, mau di rumah saja pakai baju baru ya nggak tidak apa-apa lah

Baca Juga: Pedoman New Normal dari WHO Saat Pandemik COVID-19, Begini Isinya

Jika masyarakat tidak disiplin, abai terhadap protokol kesehatan apakah mungkin bisa mengalami lonjakan kasus?

[WANSUS] Pakar Epidemiologi: Temuan Vaksin Tak Membuat COVID-19 HilangIlustrasi Masker (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Bisa, prinsipnya pelonggaran itu tidak mungkin dilakukan 100 persen jadi ada tahapannya mungkin seperempat dulu jadi bertahap. Tetapi jika ada pelonggaran namun ada peningkatan kasus tidak diberi pelonggaran lagi kembali ke pembatasan lagi, jadi kita tarik ulur saja sampai kasus benar-benar turun setiap harinya konsisten minimal dua minggu, namun testing meningkat.

Relaksasi PSBB apakah bisa menimbulkan gelombang dua?

Kalau masyarakatnya tidak mengikuti protokol kesehatan bisa saja. Mal, pasar bisa dibuka lagi jika pemerintah sudah menetapkan protokol kesehatannya dengan standar baru, jika tidak memenuhi ditutup paksa.

Jadi pemerintah harus tegas agar tidak ada lonjakan-lonjakan baru.

Jika vaksin COVID-19 sudah ditemukan apa itu artinya pandemik COVID-19 berakhir?

[WANSUS] Pakar Epidemiologi: Temuan Vaksin Tak Membuat COVID-19 HilangIlustrasi (IDN Times/Debbie Sutrisno)

Susah diprediksi, jika ditemukan vaksin belum tentu akan cepat sebab vaksinasi harus dilakukan sebagian besar penduduk Indonesia atau di atas 70 persen untuk membuat imunitas. Tapi orang yang pesimis karena ini virusnya selalu bermutasi kalau ada mutasi baru vaksinnya harus ganti, kayak flu aja tiap tahun jadi sewaktu ini diganti karena virusnya juga berubah. Ini terus menerus dalam jangka waktu panjang tidak bisa selesai dalam waktu dekat. COVID-19 ini tidak bisa hilang akan ada sepanjang masa.

Yang bisa dilakukan saat ini meredam lonjakan kasus COVID-19 serta berupaya mencari vaksin yang benar-benar bagus, aman dan efektif.

Masyarakat harus terbiasa dengan COVID-19 dengan meningkatkan kewaspadaan, jika keluar pakai masker, fasilitas publik memperbanyak tempat cuci tangan, kantor sediakan hand sanitizer.

Apakah pemerintah sudah tepat jika saat ini mulai merumuskan new normal di saat kasus positif COVID-19 naik?

Kita memang harus persiapkan waktunya, harus merumuskan new normal itu mulai kantor, transporsi dan sekolah. Misal di sekolah jadi kita ubah suasana belajar mengajar apakah dibatasi hanya 20 orang dan sebagainya jadi kita pikir ulang.

Baca Juga: Ahli Epidemiologi: Indonesia Belum Siap untuk Skenario New Normal

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya