Skenario Besar di Balik Pemecatan 56 Pegawai KPK dan Isyarat Jokowi

Benarkah kisruh TWK sudah dirancang sistematis jauh hari?

Jakarta, IDN Times - Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, "Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?" 

Petuah bijak Pram--sapaan Pramoedya, sastrawan legendaris Indonesia-- ini seakan mewakili perjuangan Novel Baswedan dan 55 pegawai nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bersiap angkat kaki dari Gedung Merah Putih pada 30 September mendatang.

Menariknya, quote Pram ini ternyata juga pernah dikutip oleh Presiden Joko 'Jokowi' Widodo pada 2015 lalu. Jokowi mengutip perkataan Pram tersebut ketika menanggapi proses pergantian kepemimpinan di institusi Polri yang menimbulkan dilema besar. Saat itu Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan yang diajukannya menjadi calon tunggal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), malah dijadikan tersangka dalam kasus rekening gendut oleh KPK.

Setelah memutuskan menyampaikan sikap atas permasalahan menyangkut pengajuan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, Rabu, 14 Januari 2015, Presiden Jokowi menuliskan pesan yang cukup tegas dalam Fan Page Facebook-nya.

"Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?" tulis Jokowi.

Namun, kini keadaan berbalik. Setelah KPK secara resmi menyatakan memberhentikan 56 dari 75 pegawainya yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam proses alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN), Jokowi mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Ia seolah lepas tangan dan tidak ingin segala persoalan selalu dilimpahkan atau ditarik-tarik ke dirinya.

"Jangan apa-apa ditarik ke Presiden. Ini adalah sopan-santun ketatanegaraan. Saya harus hormati proses hukum yang sedang berjalan," kata Jokowi di hadapan sejumlah pemimpin redaksi media di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu 15 September 2021.

Pernyataan Jokowi yang tidak ingin dilibatkan ke polemik TWK KPK cenderung berbeda dari sikapnya terdahulu. Sikap presiden terkait TWK pertama kali disampaikan ke publik pada 17 Mei 2021, tepatnya 10 hari setelah Ketua KPK Firli Bahuri menerbitkan surat keputusan (SK) Nomor 652 Tahun 2021 tentang pembebastugasan 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK.

Saat itu, Jokowi menyatakan bahwa TWK tidak bisa serta merta jadi dasar pemberhentian pegawai KPK yang tak lolos. Hasil TWK, menurut dia, seharusnya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK ke depan, baik terhadap individu maupun institusi. "Dan tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes," ujar Jokowi dalam tayangan YouTube Sekretariat Presiden.

Meski Presiden Jokowi mengisyaratkan 'buang badan', rupanya tak menyurutkan perjuangan 56 pegawai nonaktif KPK yang waktunya tinggal menghitung hari. Seorang Novel Baswedan pun masih optimistis Presiden Jokowi tidak akan lepas tangan.

"Saya tidak terlalu yakin pak Presiden akan lepas tangan kasus ini, tapi saya kalau bertemu pak Presiden saya ingin katakan, ‘Pak presiden, memberantas korupsi itu hal yang sangat mendasar, tidak mungkin ada kebijakan presiden bisa berjalan efektif kalau korupsi terjadi di mana-mana’," tuturnya kepada IDN Times dalam sebuah wawancara khusus beberapa waktu lalu.

1. Terjebak dalam skenario tes wawasan kebangsaan

Skenario Besar di Balik Pemecatan 56 Pegawai KPK dan Isyarat JokowiPegawai nonaktif KPK lakukan aksi protes di depan Gedung KPK pada Rabu (15//9/2021). (IDN Times/Aryodamar)

Perjalanan panjang polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) memang disadari para pegawai KPK yang dipecat, tidak muncul secara tiba-tiba. Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo bahkan menyebutnya sebagai sebuah skenario jebakan memberangus orang-orang yang berada di garda terdepan pemberantasan korupsi.

"Jadi ya, memang kami seperti terjebak dalam suatu skenario. Walaupun waktu kita mau kita juga sudah paham, ini sudah pasti ada mereka tidak terbuka, tidak berani bermain terbuka, tidak transparan tentu, tapi ini juga tidak membuat kami berhenti," tegas Yudi melalui live Instagram Ngobrol Seru by IDN Times bertajuk "30S Akhir Perjalanan 56 Pegawai KPK?" pada Selasa, 21 September 2021.

Sesungguhnya Yudi dan penyidik KPK lainnya mulai menyadari ada sebuah skenario besar ketika revisi UU KPK disahkan dan memasukkan aturan kontroversi berupa alih status kepegawaian menjadi Aparatur Sipil Negara. Kala itu Komisioner KPK mengesahkan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 yang memasukkan asesmen tes wawasan kebangsaan.

"Jadi memang ketika TWK ini ada, kita sempat sudah punya suatu feeling yang kemudian kami, dari wadah pegawai, konsolidasi pada pimpinan yang sampai saat ini tidak pernah terbalas begitu ya. Bahwa ini berbahaya, TWK ini bisa menyingkirkan, tetapi narasi-narasi sosialisasi dan sebagainya itu mengarahkan "sudah ikuti saja ini dan sebagainya" tentu saja kami sebagai pegawai ketika ada suatu aturan ya kami mengikuti, karena kami lihat bahwa kayaknya memang ini tidak ada pemberhentian," ungkapnya.

 

Skenario Besar di Balik Pemecatan 56 Pegawai KPK dan Isyarat JokowiInfografis Pemecatan 56 Pegawai KPK (IDN Times/Aditya Pratama)

Baca Juga: [WANSUS] Novel Baswedan: Saya Telah Berjuang, Koruptor Lebih Berkuasa

2. Plintat-plintut pimpinan KPK soal TWK dipertanyakan

Skenario Besar di Balik Pemecatan 56 Pegawai KPK dan Isyarat JokowiPimpinan KPK memberikan keterangan pers di Gedung Merah Putih KPK pada Rabu (15/9/2021). (IDN Times/Aryodamar)

Pembicaraan mengenai TWK rupanya sudah jauh-jauh hari dikomunikasikan oleh Novel kepada Ketua KPK Firli Bahuri, baik di dalam forum maupun pembicaraan pribadi. Bahkan dalam sebuah percakapan melalui pesan singkat WhatsApp, Firli pernah menjanjikan bahwa TWK tidak akan membahayakan nasib pegawai KPK.

Dalam percakapan tersebut, Firli menegaskan proses TWK hanya untuk memastikan pegawai KPK tidak ada yang terlibat dengan organisasi-organisasi terlarang, radikalisme dan anti Pancasila.

"Dan dia bilang ‘saya pastikan dan saya sangat yakin pegawai KPK tidak ada yang seperti itu’ tapi kemudian itu menjadi lucu, dia bilang itu sekitar bulan Maret atau Februari akhir, ternyata di bulan Januari akhir dia mengatakan di forum pembahasan bahwa ‘di KPK banyak radikalisme’. Kan munafik luar biasa," kata Novel.

Pada kesempatan berbeda, Yudi Purnomo menegaskan bahwa tidak benar pimpinan KPK tidak satu suara soal TWK. 

"Yang jelas bagi saya ketika ada sebuah keputusan berarti pimpinan KPK satu suara. Jangan bawa, "saya dulu gak bersuara, saya suaranya ini", enggak, mereka sudah sepakat Karena jika mereka beda suara tentu mereka akan mengundurkan diri dari KPK, kenapa? Karena mereka gak berhasil memperjuangkan pegawai yang mereka anggap adalah pegawai-pegawainya," ujarnya.

Ia bahkan menilai pernyataan beda suara soal TWK di tengah pimpinan KPK hanyalah sebuah klaim. 

"Jadi ketika "Kami sudah memperjuangkan kemudian kami beda suara", nah itu saya pikir itu hanya gimmick saja, yang jelas mereka berlima ya memberhentikan kami. Kalau misalnya mereka pecah suara tentu mereka pasti akan, "Saya tidak setuju apalagi ini membantah perintah presiden, saya mundur dari KPK", ini gak begitu, jangan-jangan mereka senang kami berhenti," ungkap penyidik nonaktif KPK tersebut.

Pernyataan Yudi ini pun diamini oleh Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati. Dia pun menilai pimpinan KPK satu suara dalam pelaksanaan TWK yang membuat para garda terdepan pemberantasan korupsi 'dipreteli' satu persatu.

"Saya setuju sekali (pimpinan KPK satu suara), karena misalnya Nurul Ghufron (Wakil Ketua KPK) itu justru melakukan penyesatan publik kepada putusan Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung itu untuk uji suatu undang-undang, kenapa kemudian dia mengatakan bahwa putusan MA, itu artinya tes wawasan kebangsaan kawan-kawan itu sudah sah, kan gak ada hubungannya karena yang diadili itu bukan yang peristiwa atau kawan-kawan ini. Tapi dasar hukumnya betul sah, tapi apakah perbuatan tes itu sendiri itu melanggar hukum, lain lagi kan, jadi justru dia ikut serta dalam menyukseskan penyingkiran kawan-kawan ini," kata Asfinawati kepada IDN Times.

Asfina juga menyebut Wakil Ketua KPK Alexander Marwarta yang mengatakan bahwa putusan MA dan putusan MK itu membuat sah pelaksanaan TWK.

"Itu berarti pemecatan, pemberhentian teman-teman ini, ya semuanya itu satu suara sebetulnya, cuma mungkin dia untuk memperbaiki citranya itu dia bilang tidak setuju," ucapnya.

3. Skenario sistematis yang dirancang penguasa untuk memberangus pemberantasan korupsi

Skenario Besar di Balik Pemecatan 56 Pegawai KPK dan Isyarat JokowiNgobrol Seru 30S akhir perjalanan 56 pegawai KPK bersama Asfinawati Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) dan Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo. (IDN Times/Lia Hutasoit)

Sebagai salah satu kuasa hukum para pegawai KPK yang dipecat, YLBHI menilai ada skenario besar dan sistematis di balik TWK.

"Ini penting sekali ya, dan kita mengingat kembali di dalam laporan Komnas HAM, ada perencanaan yang sistematis untuk kawan-kawan ini. Mereka ini kan sebetulnya kenal litsus (penelitian khusus). Dalam orde baru namanya litsus, orang tiba-tiba dengan mudah dicap PKI atau ekstrem kanan, itu yang terjadi tanpa adanya proses pengadilan dan tanpa tolok ukur yang memadai," tegas Asfinawati.

Ia pun menyebut 30 September sengaja dipilih sebagai tanggal pemberhentian 56 pegawai KPK untuk melahirkan sebuah stigma. 

"Pada Hari Pancasila juga digunakan jadi gimmick-gimmick, 1 Juni itu digunakan untuk melantik pegawai KPK jadi ASN. Sekarang 30 September yang seolah-olah mau menempatkan kawan-kawan ini dengan stigmatisasi 30 September. Jadi menurut saya itu bagian dari perencanaan mereka juga yang untuk menggenapkan teori mereka, bahwa mereka ini (56 pegawai KPK) musuh negara, karena itu mereka dibilang Taliban-lah dan lain-lain," katanya.

Asfina pun menilai ada skenario besar sekaligus serangan balik koruptor di balik kisruh TWK ini. Dia pun tak segan-segan menyebut nama Ketua KPK Firli Bahuri sebagai salah satu 'operator lapangan' yang bertugas untuk menyingkirkan orang-orang terbaik KPK yang berkomitmen memberantas korupsi.

"Kalau kita lihat kenapa bisa ada pemberhentian sekarang seperti ini, itu karena TWK dibuat di dalam peraturan komisi, yang membuat siapa? Firli Bahuri. Bagaimana Firli Bahuri bisa masuk ke KPK melalui pasal? Yang bermasalah dan waktu itu masyarakat sudah mengkritik banyak sekali, kemudian kenapa bisa ada banyak sekali status ASN meski tidak disebut TWK, itu karena ada revisi undang-undang KPK," terangnya.

Ia pun mengungkap kembali jejak digital yang menunjukkan beberapa politisi Senayan sangat berambisi menghabisi komisi antirasuah. Salah satu nama yang disebut Asfina adalah Masinton Pasaribu, politikus PDI Perjuangan yang pernah menjadi anggota Pansus Hak Angket KPK. 

"Salah satunya Masinton dari PDIP mengatakan ini yang harus dibersihkan dulu KPK," katanya.

Sehingga, lanjut dia, polemik TWK yang terjadi saat ini, rencananya sudah terancang dari mulut ke mulut sejak 2019. "Dan salah satunya adalah dari partai penguasa PDIP yang juga menjadi leading sektor untuk merevisi undang-undang KPK dan saya gak tahu kebetulan atau enggak ternyata yang gak bisa ditangkap-tangkap itu, apa namanya buron, itu salah satunya Harun Masiku mantan caleg PDIP," ungkap Asfina.

"Jadi kita susah untuk mengatakan tidak adanya skenario besar dengan PDIP sebagai partai saja, tetapi sebagai partai yang sedang berkuasa dan di mana-mana partai yang sedang berkuasa memiliki otoritas yang lebih besar dong untuk menggerakkan birokrasi," sambungnya.

 

Baca Juga: [Wansus] Jejak Penyidik KPK Yudi Purnomo, Dipecat karena TWK

4. Terus mengawal agar presiden menjalankan langkah hukum yang sedang ditempuh Ombudsman

Skenario Besar di Balik Pemecatan 56 Pegawai KPK dan Isyarat JokowiPegawai nonaktif KPK memasukkan surat untuk presiden saat mengikuti aksi antikorupsi di Jakarta, Selasa (21/9/2021) (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Asfina mengungkapkan sejumlah langkah yang akan diambil untuk melanjutkan perjuangan ke-56 pegawai KPK yang dipecat. 

Yang pertama, dia menjelaskan bahwa putusan MK soal TWK beberapa waktu lalu terkait dengan undang-undang yang hanya menjelaskan bahwa dasar hukum TWK itu sah. Kemudian keputusan MA, menurut dia, hanya mengatakan bahwa Perkom itu boleh digunakan untuk melakukan tes wawasan kebangsaan.

"Tapi dua keputusan itu tidak bicara apakah tes yang dilakukan itu adalah sesuai dengan hukum atau tidak atau apakah sewenang-wenang atau tidak. Itu tidak masuk dalam lingkup uji materil di MK dan judicial review MA, hanya sebatas itu kemudian untuk menilai apakah yang terjadi itu sah atau tidak, melanggar hukum atau tidak," paparnya.

Untuk saat ini pihak kuasa hukum masih menanti jawaban presiden atas rekomendasi soal pelanggaran TWK yang dikirimkan Ombudsman RI. YLBHI, kata dia, terus mengawal agar presiden menjalankan langkah hukum yang sedang ditempuh Ombudsman.

"Karena itu, sekarang kami sedang memantau dan mendorong agar presiden menjalankan rekomendasi itu yaitu memberikan sanksi kepada pimpinan KPK yang tidak mau mengindahkan korektif dari Ombudsman," ucapnya. 

"Jangan sampai KPK menjadi lembaga antikorupsi yang sekian kalinya yang mati di Indonesia. Mari kita sama-sama mengawal ini dan mendesak kepada Presiden sebagai pemegang kunci tadi, buka pintu dan kembalikan mereka ke dalam KPK agar pemberantasan korupsi tetap berjalan dengan baik," lanjut Asfina.

5. Perlawanan dan pelemahan KPK, dari kasus 'Cicak vs Buaya' hingga isu radikalisme

Skenario Besar di Balik Pemecatan 56 Pegawai KPK dan Isyarat JokowiPenyidik KPK Novel Baswedan (IDN Times/Irfan Fathutohman)

Sejak resmi bergabung di KPK pada 2 Januari 2007, Novel Baswedan yang semula merupakan anggota Polri aktif, menyadari betul perjalanannya sebagai penyidik komisi antirasuah tidak akan mulus.

Perjalanan dari itu menurut Novel bermula pada tahun 2009, ketika ramai 'Cicak vs Buaya'. KPK kala itu menangani kasus yang melibatkan oknum penegak hukum. Pada Cicak vs Buaya jilid I, terjadi gesekan antara KPK dengan Polri ketika komisi antirasuah menyadap Kabareskrim Polri saat itu, Komjen Pol Susno Duadji. Muncul dugaan ada keterlibatan Susno dalam kasus Bank Century yang diusut KPK.

"Ada resistensi dan perlawanan, begitu juga di tahun 2012 ada lagi dan kebetulan 2012 saya mulai terlibat di sana karena kasusnya saya yang menangani dan saya koordinator penanganan kasusnya," ujar Novel.

Novel mengungkapnya, perlawanan itu berlanjut hingga saat ini. Semakin lama, ia menyadari perlawanan kepada KPK semakin kuat dan yang paling terasa setelah 2014, karena di tahun itu KPK sudah mencanangkan fokus area di masalah korupsi bidang sumber daya alam. 

"Korupsi SDA itu yang terbesar sebenarnya dan memang SDA ini praktik korupsi banyak digunakan dan diduga dimanfaatkan oleh kebijakan politik, yang memerlukan pembiayaan dan lain-lain. Dan kemudian menjadi ruang untuk mencari uang besar-besaran sehingga perlawanannya juga semakin keras," ungkapnya.

Ia melanjutkan, pada 2015-2016, upaya penyerangan terhadap KPK terlihat semakin rapi, terstruktur, dan terencana. "Bahkan bisa dikatakan sejak 2016-2017 itu sudah dibuat suatu framing atau persepsi palsu seolah di KPK ada radikalisme, nah itulah yang membuat persepsi atau dukungan publik menjadi terbelah," ucapnya.

Asal mula isu radikalisme di tubuh KPK itu disebutkan Novel tiba-tiba muncul tanpa alasan jelas. Hal inilah yang dinilai Novel berhasil memecah persepsi publik dan membuat serangan itu semakin efektif.

"Yang hebatnya memang koruptor ini bisa terencana dan bekerja dengan sabar, yang kemudian ketika mereka semakin lama semakin kuat, maka di 2019 revisi undang-undang dilakukan dan banyak hal-hal yang membuat KPK semakin lemah," kata dia.

"Hingga kemudian peralihan menjadi ASN, saya yakin di Desember 2020 ketika kawan-kawan di KPK berhasil masih bisa kerja mengungkap dua kasus OTT yang melibatkan menteri aktif dan kasus mafia pajak itu, tentunya mengejutkan bagi orang-orang yang sudah membuat skenario pelemahan KPK," sambungnya.

Skenario pelemahan ini dinilai Novel sebagai penyelundupan norma, yang kemudian menjadi pembenaran untuk dilakukan proses TWK. Dia pun menegaskan bahwa keputusan uji materi yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) soal TWK telah melawan hukum.

"Kita jangan lupa bahwa MK memutuskan tanpa sidang, artinya fakta yang kami dapatkan dan kami sampaikan kepada Ombudsman dan Komnas HAM tidak menjadi bagian untuk diperiksa. Kan bisa saja dalam permohonan itu disampaikan fakta-fakta tadi bukti-bukti, perlu diingat di MK yang bikin permohonan bukan kami, sehingga pastilah orang yang mengajukan permohonan itu tidak memasukkan poin tadi," ungkap dia.

"Sehingga saya bisa katakan, sekalipun konstitusional tapi fakta-fakta objektif tidak diperiksa karena memang tidak masuk di hal-hal yang sifatnya pembuktian real," lanjut Novel.

Baca Juga: [Wansus] Cerita YLBHI Dampingi 56 Pegawai KPK yang Dipecat karena TWK

6. Haru biru dukungan terus mengalir deras dari rekan seperjuangan dan juga keluarga

Skenario Besar di Balik Pemecatan 56 Pegawai KPK dan Isyarat JokowiKetua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo (IDN Times/Aryodamar)

Tak bisa dipungkiri, suasana KPK kini tengah mengharu biru. Setelah surat pemecatan yang ditandatangani Ketua KPK resmi dikeluarkan, 56 pegawai tersebut langsung mengemas barang-barang pribadi dari kantornya di Gedung Merah Putih KPK.

Jika dahulu para penyidik dengan gagahnya membawa kardus barang bukti penggeledahan ke KPK, namun kini mereka harus keluar Gedung KPK membawa kardus berisi barang-barang pribadi usai pengumuman pemberhentian. 

Kondisi ini turut dirasakan oleh Staf Humas nonaktif KPK, Tata Khoiriyah. Ia pun tak mampu mengatasi momen-momen emosional di akhir masa tugasnya.

"Teman-teman (pegawai KPK) juga sangat terpukul dan membuat surat terbuka dukungan untuk kami, teman-teman masih berupaya juga untuk mempertahankan kami. Ada suatu momen membuat sedih juga, karena teman-teman meminta jangan beres-beres meja. 'Kamu jangan beres-beres sekarang', di meja juga banyak tulisan dilarang beres-beres. Itu dukungan dari teman-teman yang membuat saya emosional banget," ucapnya lirih saat berbincang dengan IDN Times.

Tata mengakui perasaannya campur aduk harus meninggalkan rekan-rekan satu perjuangannya yang masih menetap di KPK. "Apalagi saya merasa di lingkaran yang berbeda, jadi takut dan tidak enak. Tetapi saya berharap situasi bisa berhubungan baik sih saling silaturahmi. Situasi tersebut itu yang membuat sedih dan puncaknya saat menerima surat pemberhentian pemecatan itu," ungkapnya.

Di sisi lain, Yudi Purnomo yakin pemecatan terhadap dirinya dan 55 orang lainnya bukan suatu kekalahan, melainkan suatu pertanda bahwa mereka harus bangkit. Ia mengatakan, dengan segala yang terjadi saat ini keluarga menjadi pendukung pertamanya untuk terus berjuang.

"Keluarga mendukung, bahwa ya ini memang sebuah risiko dari perjuangan ketika sudah 23 tahun reformasi kita malah kembali (ke era sebelum reformasi), bahkan anak saya yang masih SD kelas 3, pernah bertanya kepada saya "Ayah memang KPK itu miliknya siapa sih?" Kemudian saya bilang milik rakyat. Dia bilang, "kalau milik rakyat kenapa pimpinan KPK berhentikan Ayah, itu kan bukan rakyat", jadi kayak gitu yang bikin terharu," tuturnya.

Senada dengan Yudi, dukungan besar juga diperoleh Novel Baswedan dari keluarganya. Ia tak menyangka ungkapan bijaksana bisa keluar dari anaknya yang masih berusia 17 tahun.

"Jangankan istri atau ibu saya, yang memberikan support. Anak saya pun bisa bicara ‘abi, terhadap kejahatan jangan mundur. Lawan dan berdiri tegak, apa pun risikonya tidak masalah’. Anak saya pun bisa bicara seperti itu," ucap Novel.

Novel mengambil hikmah yang sangat besar dari apa yang terjadi pada dirinya saat ini, bahwa untuk memperjuangkan kebenaran, membela kepentingan negara, risikonya begitu banyak. Tapi jika berkomitmen melakukannya maka tidak akan mendapatkan kerugian atas itu. 

Sejauh ini, Novel mengungkapkan ingin terus aktif dalam kegiatan yang berkontribusi untuk kepentingan masyarakat. Terutama upaya pemberantasan korupsi. "Selebihnya, tentu saya akan mencari pekerjaan sebagai kepala keluarga untuk memberikan nafkah terhadap keluarga saya."

Tim Penulis: Irfan Fathurohman, Lia Hutasoit, Dini Suciatiningrum, Aryodamar

Baca Juga: [WANSUS] Nyeseknya Pegawai KPK Dipecat Melihat Perubahan

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya