Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-10-20 at 15.46.59 (1).jpeg
Presiden Prabowo Subianto memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (20/10/2025). (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Jakarta, IDN Times - Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, tergila-gila dengan konsep kapitalisme terpimpin ala China.

"Sejak lama sebenarnya Pak Prabowo cukup tergila-gila dengan konsep yang namanya state capitalism, kapitalis negara atau kapitalisme terpimpin," kata dia saat menyampaikan paparan di saluran YouTube Dirty Vote dikutip Kamis (23/10/2025).

1. Ketertarikan Prabowo dengan kapitalisme terpimpin ala China dimuat dalam bukunya

Ketibaan Presiden Prabowo Subianto di Pangkal TNI AU Halim Perdanakusuma Jakarta. (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Hal tersebut terlihat dalam pandangan Prabowo yang disampaikan dalam bukunya berjudul "Paradoks Indonesia dan Solusinya". Khususnya di halaman 28 dan 29 buku itu, Prabowo menyampaikan ketertarikan dengan konsep kapitalisme yang dianut Tiongkok.

"Coba kita cek di halaman 28 misalnya, itu ada satu kutipan yang menarik bahwa cabang produksi penting itu yang menguasai hidup orang banyak dan seluruh sumber daya alam itu dikuasai oleh negara. Dan dia mengutip, ini dilakukan China, yang sebenarnya luput dilakukan atau dikerjakan serius oleh Indonesia," kata Bhima.

Bahkan di halaman 29, Prabowo secara spesifik menyebut China lebih berhasil mengimplementasikan konsep yang ada di Pasal 33 UUD 1945. Sementara, Indonesia menyerahkan pengelolaan ekonomi ke mekanisme pasar.

Adapun, pasal ini mengatur dasar perekonomian nasional yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong royong, dengan bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Pasal ini terdiri dari beberapa ayat yang menjelaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama, cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara, dan sumber daya alam dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat.

"Kalau kita lihat juga diharapkan berikutnya, halaman 29 ada kutipan juga yang menarik di paradoks Indonesia dengan kata lain, kita tidak secara sungguh-sungguh menjalankan Pasal 33 UUD 1945. Sementara, China menjalankannya. Jadi dia mau ngomong, harus ada konsistensi kalau kita mau jadi kayak China, berarti harus punya kontrol terhadap berbagai sumber daya, dengan dalihnya pasal 33," tutur dia.

2. Prabowo dinilai kagum dengan pencapaian China

Presiden China Xi Jinping (tengah) didamping oleh para pemimpin asing, termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin dan Pemimpin Korut Kim Jong Un menjelang parade militer di Lapangan Tiananmen, Beijing, pada 3 September 2025. (x.com/SpoxCHN_MaoNing)

Bhima menilai, Prabowo begitu tertarik dengan China karena keberhasilannya dalam mendulang pertumbuhan ekonomi. Prabowo juga disebut kagum dengan reformis China, Den Xiaoping, karena bisa mereformasi ekonomi dengan memicu lahirnya industri baru.

"Inilah yang membuat kita melihat ada kekaguman dari pak Prabowo, secara pribadi, dengan China. Karena dia menganggap yang dilakukan oleh China itu selaras, misalnya dengan Pasal 33 dan punya model kapitalisme negara. Jangan lupa juga, China itu pertumbuhan ekonominya pernah dua digit, lebih dari 10 persen. Satu lagi adalah kekaguman dengan reformis China yang namanya Den Xiaoping, karena bisa mereformasi dengan banyak sekali industri baru bermunculan," kata Bhima.

3. Kondisi pemerintahan Indonesia semakin mirip dengan China

Presiden Prabowo Subianto usai memimpin upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta Timur, Rabu (1/10/2025) menyapa sejumlah siswa sekolah (Youtube.com/Sekretariat Presiden)

Lebih lanjut, Bhima juga membeberkan kondisi pemerintahan Prabowo saat ini yang seperti mengikuti kebijakan China. Hal ini dinilai perlu dilakukan agar Indonesia bisa meniru pencapaian China.

Pertama, upaya Prabowo membentuk koalisi gemuk, dengan tidak ada partai yang bertindak sebagai oposisi. Sistem ini dianut untuk menjaga kondusivitas. Namun yang perlu jadi catatan, China merupakan negara yang menganut partai tunggal.

"Tapi pertanyaannya, untuk menjadi seperti China, Prabowo punya beberapa syarat yang ingin dicapai. Yang pertama adalah koalisi partai besar, kita lihat sekarang konsolidasi politik terjadi. Bahkan, konsolidasi ini artinya tidak ada oposisi, tapi kan China partai tunggal. Sementara, kita multipartai," ujar Bhima.

Kedua, membutuhkan tentara yang kuat dan membuka ruang militer untuk masuk ke ranah sipil. Sistem di China ini diistilahkan dengan strategi military-civil fusion yakni penggabungan antara fungsi militer ke dalam sipil. Di Indonesia, isu militer ikut campur ranah sipil mencuat seiring Revisi UU TNI disahkan oleh pemerintah.

Ketiga, adanya badan yang dibentuk pemerintah untuk mengelola dana investasi strategis dan mengelola aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Lembaga negara semacam ini juga ada di China.

"Kemudian ada lagi pengkonsolidasian kapital ini mereka juga punya semacam Danantara. Jadi Danantara itu Indonesia dengan China itu punya kemiripan. Mengkonsolidasikan aset-aset dari BUMN," jelas Bhima.

Kemudian keempat adanya resentralisasi kekuasaan. Bhima menjelaskan, sentralisasi kekuasaan ini bukan hanya pada bidang keamanan dan ideologi, tapi juga merambah ke sektor ekonomi, dengan seluruh pengusaha konglomerat tidak boleh membangkang dengan negara. Di China, kasus ini sudah pernah terjadi, saat Pendiri Alibaba Group Holding, Jack Ma, dianggap tidak patuh dengan negara.

"Tentu, kita ingat pada kejadian menarik konglomerat China, Jack Ma, itu saking besar konglomerasinya tapi dianggap tidak patuh terhadap alat dari politbiro atau kuasa politbiro. Sehingga, yang terjadi dia disingkirkan oleh kekuasaan politbiro di China. Itu artinya konglomerat tidak boleh durhaka terhadap pemerintahan yang berkuasa," kata Bhima.

Bhima lantas mempertanyakan apakah upaya Prabowo meniru kebijakan China ini juga akan membawa keberhasilan sesuai yang diharapkannya. Mengingat arah pemerintahan yang dilakukan belakangan mengorbankan banyak unsur, mulai dari kerusakan lingkungan, kebebasan sipil, hingga menguatnya militerisme di ranah sipil.

"Pertanyaannya ini hasilnya akan seperti China atau Singapura, atau hasilnya akan beda?," ujar dia.

Editorial Team