Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Femisida, Kekerasan Gender Ekstrem yang Belum Banyak Dikenal

Dokter Forensik keluar dari tenda saat proses autopsi jenasah saat ekshumasi atau pembongkaran makam almarhum pelajar SMK berinisial GRO (17) di TPU Bangunrejo, Saradan, Karangmalang, Sragen, Jawa Tengah, Jumat (29/11/2024). (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Salampessy Latuconsina, mengatakan femisida atau pembunuhan terhadap perempuan karena ia perempuan, merupakan bentuk kekerasan berbasis gender paling ekstrem. Sayangnya, femisida belum cukup dikenali dan didokumentasikan masyarakat.

"Komnas Perempuan menyoroti pentingnya pendokumentasian yang tepat terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan yang berujung pada kematian, yang selama ini sering kali dianggap sebagai kasus kriminal atau pembunuhan biasa," ujar Olivia dalam diskusi daring, Selasa (3/12/2024).

1. Data tertinggi tercatat pada 2021

Ilustrasi Perlindungan Anak (IDN Times/Sukma Shakti)

Komnas Perempuan mencatat pentingnya pendokumentasian sejak 2002 melalui kajian peta kekerasan. Pada 2017, laporan bertajuk Labirin Kekerasan terhadap Perempuan mencatat lima kasus femisida yang hanya dikenakan pasal pembunuhan.

Data terbaru, menunjukkan lonjakan kasus yakni 95 kasus pada 2020, 237 kasus pada 2021, 307 kasus pada 2022, dan 159 kasus pada 2023.

2. Femisida tertinggi dilakukan pasangan

ilustrasi garis polisi. (IDN Times/Arief Rahmat)

Selain itu, mayoritas kasus merupakan femisida intim, yang dilakukan pasangan atau mantan pasangan korban. Olivia menyoroti perlunya pendekatan holistik dalam mengungkap pola, motif, dan dampak femisida terhadap keluarga korban.

Menurut Olivia, fenomena femisida yang terus meningkat menjadi alarm serius di Indonesia.

"Pantauan setiap tahunnya menetapkan femisida intim, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar, atau pun pasangan kohabitasi sebagai jenis femisida tertinggi," kata dia.

3. Femisida bukan sekadar pembunuhan

Pintu masuk bangsal IGD RSUP dr Kariadi Semarang. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Nurjanah, perwakilan Jaringan Masyarakat Sipil, juga mentayakan femisida memiliki dimensi agresi, opresi, dan dominasi yang membedakan dari pembunuhan biasa. Sayangnya, istilah femisida belum banyak dikenal di masyarakat Indonesia.

Menurut laporan UN Government 2022, data femisida sebagian besar berasal dari Afrika, namun Asia, termasuk Indonesia, memiliki fenomena serupa. Maka isu ini sangat kontekstual dan signifikan di Indonesia.

Nurjanah juga mengkritik bagainana media sering menyajikan femisida dengan narasi hiperbolik atau sebagai clickbait, sehingga substansi isu ini sering terabaikan. 

"Kita sering melihat bahwa perjambaran kita sendiri tentang femicida itu cenderung hiperbolik. Kadang-kadang di media, itu dilakukan atau diwujudkan dalam bentuk-bentuk atau kata-kata yang memancing keinginan untuk membaca, bagi membaca atau klik bait. Dengan narasi yang digunakan yang sangat memonjolkan korban atau pun pelaku perempuan," katanya.

4. Temuan dalam sejumlah kasus femisida di Indonesia

Gregorius Ronald Tannur saat dilimpahkan ke Rutan Kelas I Surabaya. Dok. Kemenkumham Jatim.

Sementara, Project Officer Jakarta Feminist, Nur Khofifah, mengungkapkan temuan terkait transfemisida dan femisida berbasis ableism di Indonesia. Mereka mencatat enam kasus transfemisida, seperti di Tapin, Kalimantan Selatan, di mana korban transpuan dianiaya hingga tewas.

Ada juga di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), korban dikeroyok setelah disangka perempuan. Selain itu, ada kasus melibatkan pelaku yang tidak ingin bertanggung jawab atas kehamilan, seperti di Tanah Datar, Sumatra Barat, di mana seorang siswi SMP dibunuh setelah pelaku takut ia hamil. 

Femisida berbasis ableism ditemukan dalam empat kasus. Ableism adalah saat memandang individu dengan disabilitas sebagai 'kurang' atau 'beban', sehingga kekerasan terhadap mereka sering dianggap lebih dapat diterima atau tidak dipertanyakan secara kritis.

Menurut Nur Khofifah, femisida berbasis ableism, termasuk pembakaran hidup-hidup perempuan dengan gangguan jiwa di Sorong, Papua Barat Daya, akibat tuduhan tidak berdasar sebagai penculik anak.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Lia Hutasoit
Rochmanudin Wijaya
Lia Hutasoit
EditorLia Hutasoit
Follow Us