Fenomena Sarjana Nganggur, Pihak Kampus Dorong Mahasiswa Ambil Peluang

- Mahasiswa harus memanfaatkan berbagai peluang yang telah kampus sediakan
- Rancangan kurikulum sudah mencermati kebutuhan industri
- Tersedianya program Magang Berdampak 2025 oleh Kemendiktisaintek
Jakarta, IDN Times - Fenomena sarjana nganggur belakangan membayangi Indonesia. Di kondisi saat ini, lumrah kita temukan lulusan sarjana yang beralih menjadi pengemudi ojek online, pekerja bangunan, bahkan petugas kebersihan untuk menyambung hidup.
Lantas, muncul pertanyaan, adakah korelasi antara naiknya angka pengangguran sarjana dan tidak relevannya antara pekerjaan dengan ilmu yang didapat di perguruan tinggi?
Kepala Pusat Studi Penelusuran dan Pengembangan Karir di Universitas Padjadjaran (2018-2024) Rosaria Mita Amalia, menegaskan pentingnya perubahan pola pikir para fresh graduate agar siap bersaing di dunia kerja.
Berdasarkan pengalaman dalam mengelola program karier mahasiswa dan alumni, ia melihat persiapan dunia kerja dari sudut pandang kampus tentu berbeda dengan sudut pandang mahasiswa. Dari sinilah kesulitan fresh graduate saat mencari kerja berasal.
"Kita di dunia kampus tuh banyak banget ya, a b c d e, rupa-rupa, itu adalah sebenarnya laboratorium kehidupan. Kita bisa belajar kerja team, kita bisa belajar untuk kepemimpinan, etika kerja, dan lain hal sebagainya, itu bisa di kampus," ujar Amel, begitu ia biasa disapa, kepada IDN Times, Selasa (15/7/2025).
Peningkatan jumlah fresh graduate yang menganggur, menurut dia, juga dipengaruhi oleh perbedaan generasi pemegang kuasa lapangan pekerjaan saat ini dengan pencari pekerjaan itu sendiri.
"Sekarang, yang di korporasi, sebagai CEO itu kan rata-rata tuh kan generasi saya, lebih tua, gitu ya. Kami berhadapan punya team yang generasinya adalah gen z, ya. Mungkin kalau Anda saling kerja sama dengan teman-teman sendiri itu nggak masalah. Tapi, begitu kerja sama dengan generasi yang lebih tua, atau kami generasi yang lebih tua kerja sama dengan yang leibih muda, itu yang kemudian menjadi problem. Sehingga kemudian, ada apa ya, ekspektasi lah ya," ujar Amel.
"Jadi, bukan selalu harus kita yang ikutin Gen Z. Nah, itulah yang namanya adaptasi," lanjutnya.
1. Mahasiswa harus memanfaatkan berbagai peluang yang telah kampus sediakan

Para fresh graduate yang sudah lulus dari program studinya tentu memiliki banyak alasan mengapa sejak awal memilih bidang tersebut.
Pihak kampus melihat, ketika lulus sulit mendapat pekerjaan, berarti mereka tidak memanfaatkan berbagai peluang yang telah kampus sediakan.
"Ketika dia memutuskan untuk kuliah di satu tempat, artinya dia sudah memulai perjalanan karier. Kan, ketika SMA kita memilih mau IPA, IPS, gitu yah atau Bahasa, itu kita sudah menentukan karier kita, gitu. Ada kemungkinan itu akan sejalan, karena itu yang kita planning. Jadi, kalau itu sudah disadari oleh teman-teman, maka mereka pada saat kuliah itu betul-betul akan memaksimalkan waktu menjadi mahasiswa," ujarnya.
Lebih lanjut, Amel mempertegas adanya hak istimewa yang sebuah individu miliki dengan mendapat titel mahasiswa.
"Jadi mahasiswa itu privilege, loh. Kamu bisa banyak apply apa pun dengan status mahasiswa, gitu, ya. Begitu mahasiswanya beres, mungkin akan ada privilege juga yang diambil, ya, dari kita sebagai untuk yang non mahasiswa, gitu. Jadi artinya ketika jadi mahasiswa, coba teman-teman betul-betul mendalami tentang diri sendiri, ya. Cari-cari informasi kira-kira gimana caranya kita menggali minat, nilai-nilai kepribadian kita, keunikan yang ada di dalam diri kita, dan juga jenis lingkungan di mana kita bertumbuh," kata Amel.
2. Rancangan kurikulum sudah mencermati kebutuhan industri

Menurut Amel, sebuah kurikulum tentu lahir dari perdebatan, proses perancangan, serta prosedur yang tidak mudah.
"Jadi, pada dasarnya, ketika kurikulum satu prodi di perguruan tinggi itu dibuat itu melibatkan banyak stakeholder. Jadi, kita dosen itu atau civitas academica itu nggak memutuskan sendiri. Kita mengundang praktisi, kita mengundang alumni, kita mengundang pentahelix, ya, untuk mencermati gimana nih kurikulum dari satu prodi ini, kira-kira dia relate nggak dengan indsutri? Kita mengundang mitra. Jadi sebenarnya, secara SOP, secara prosdeur, itu sudah ditempuh," ujar Amel.
"Sebenarnya setiap mata kuliah, walaupun namanya Matematika gitu contohnya, atau Sastra Indonesia, gitu, atau Bahasa Indonesia. Di dalamnya itu selalu ada value-value yang dikembangkan dalam kurikulum itu. Jadi nanti akan sangat tergantung dari pengajar, dari dosen, dari tools, dari lingkungan, ya, bagaimana semuanya itu bisa di-deliver dengan baik," lanjutnya.
Lebih lanjut, Amel juga mengakui perbedaan kebijakan kampus di masanya dengan masa kini.
"Kalau dulu saya tuh lulus nggak ada yang ngurusin. Jadi perguruan tinggi tuh sudah selesai dengan saya ketika saya udah wisuda, ketika saya udah yudisium, udah beres. Kamu mau kariernya di mana, terserah, itu kan kehidupan yang selanjutnya. Tapi kalau sekarang, nggak bisa," ujarnya.
3. Tersedianya program Magang Berdampak 2025 oleh Kemendiktisaintek

Selain itu, kata Amel, terdapat program Magang Berdampak yang disediakan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) di setiap universitas sebagai solusi agar para alumninya dapat mendapat pekerjaan setelah lulus.
"Makanya kemudian sekarang di pemerintah, di kementerian, juga terus digalakkan, biar program-program yang terkait pengalaman praktis atau pengalaman terjun ke industri," ujar Amel.
"Kalau di kementerian yang sekarang sudah diluncurkan beberapa waktu yang lalu adalah Kampus Berdampak, ya. Nah salah satunya adalah mengenai Magang Berdampak. Diharapkan, program Magang Berdampak ini adalah bisa memberikan solusi terhadap kurangnya alumni-alumni, yah. Punya pengalaman praktis begitu ya pada saat dia menjadi mahasiswa."
Amel yang juga sebagai Ketua Indonesia Career Center Network (ICCN), menegaskan banyak mitra seperti industri dan kementerian yang sudah secara terbuka duduk di ruang yang sama dengan perguruan tinggi untuk membangun pelatihan tertentu.
"ICCN itu ditujukan untuk penguatan pengelola pusat karier atau orang-orang, unit-unit di perguruan tinggi, yang memang mengurus program hingga kemudian meningkatkan employability dari lulusannya. Bukan mahasiswa, tapi orang-orang di universitas yang ditugasi untuk merancang program bagaimana cara mahasiswa atau alumninya bisa memutuskan berkarier," ujarnya.
4. Sebanyak 553.926 pencari kerja tidak hanya didominasi Gen Z

Amel menyatakan, Pusat Pasar Kerja dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menaungi platform bernama Pasker ID.
"Tapi, angka yang disumbang dari lulusan perguruan tinggi ini juga cukup besar, ya. Kebetulan minggu kemarin itu, kami dari ICCN (Indonesia Career Center Network) itu ini baru mengadakan audiensi dengan kepala pusat pasar kerja dari Kemnaker, ya, pada saat itu juga mereka punya platform namanya Pasker ID, di situ juga ada data-data. Nah, ini sinergi dari yang tadi saya informasikan dari BPS," katanya.
Data dari Pasker ID menunjukkan, pencari kerja di Karirhub didominasi oleh kelompok usia Gen Z, lulusan SMK, fresh graduate, dan tidak memiliki pengalaman kerja.
Data statistik per Kamis (20/2/2025) pukul 09.30 WIB menunjukkan, lowongan kerja yang tersedia mencapai 64.413 pemberi kerja untuk mengisi 553.926 pencari kerja. Lowongan kerja paling banyak mensyaratkan tingkat pendidikan minimal SMK.
5. Kekhawatiran mahasiswa tingkat akhir menghadapi realita dunia kerja

Banyak mahasiswa tingkat akhir memiliki kekhawatiran dalam menghadapi dunia kerja, seperti sulit mendapat pekerjaan.
Melihat banyak fresh graduate yang terjebak di tengah standar ideal mereka dengan kenyataan di dunia kerja, tidak heran jumlah lulusan baru yang masih menganggur terus meningkat.
Berdasarkan pemaparan dari beberapa mahasiswa, tidak sedikit yang menganggap lumrah fenomena "banting setir" setelah lulus. Standar ideal mereka adalah mendapat pekerjaan sesuai dengan apa yang sudah mereka pelajari selama kuliah.
Salah satu mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaran (Unpad), Yesi Humairah Rahmani (20), mengungkapkan kekhawatirannya akan persaingan antara sumber daya manusia (SDM) yang tersedia dengan kebutuhan pasar saat ini.
"Sebenarnya mungkin banyak faktor juga, sih yang menjadikan itu sebagai alasan. Kadang mungkin juga dari syarat perusahaan-perusahaan yang mungkin sulit, ya, untuk diterima. Kayak harus ada pengalaman kerja, sedangkan mungkin sebagai lulusan baru, kita apa pengalaman kerjanya? Belum ada," ujar Yesi kepada IDN Times, Senin (14/7/2025).
Yesi mengatakan, peluang yang ada sering kali tidak sesuai dengan kualifikasi yang para fresh graduate miliki.
"Tapi, karena mungkin dilihat dari pendidikannya, itu bisa diutamain orang-orang yang mungkin udah lebih banyak belajar di bidang itu, jadi, itu bisa lebih sulit juga," lanjutnya.
"Atau, bisa juga kadang mungkin dari pribadinya yang belum bisa untuk bersaing lah dengan orang-orang lain yang juga ingin bekerja di bidang tersebut," ujar dia.
Persaingan yang begitu ketat di dunia kerja tentu berbanding terbalik dengan idealis yang dibangun di masa kuliah. Hal ini mengharuskan beberapa orang mau mempelajari disiplin ilmu lain di luar bidang studinya.
Jessaya Paullo (21), mahasiswa Arsitektur di Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), mengakui pentingnya keluar dari zona nyaman untuk beradaptasi dengan dunia nyata.
"Jadi, kalau menurut saya sih sebenarnya tidak apa-apa untuk lulus dengan certain degree, lalu kerja di bidang yang kita sendiri gak invest in," ujar Paullo.
"Kalau menurut saya, banyak senior kita yang udah kerja gitu pun sudah memiliki tempat yang lumayan comfortable. Bahkan mereka itu mengatakan sebenarnya gak apa-apa kalau nanti itu kerja beda jurusan karena ada guru saya yang lulusnya dari Teknik Perikanan, cuma tiba-tiba kerja jadi guru. Nah, pas kerja jadi guru, tiba-tiba jadi salah satu representatif Cambridge di Indonesia," lanjut dia.