Pengamat: Ada 3 Kelompok Besar di Balik Ricuhnya Demo UU Cipta Kerja

Tak benar jika hanya ada satu aktor kerusuhan demo

Jakarta, IDN Times - Pengamat intelijen dan keamanan dari Universitas Indonesia Stanislaus Riyanta mengatakan, ada tiga kelompok besar di balik demonstrasi besar-besar menolak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

Dia bahkan tidak setuju dengan pendapat hanya ada satu aktor utama yang menggerakkan massa tersebut, untuk turun ke jalan menyuarakan penolakannya UU Ciptaker.

“Kalau saya melihat dari apa yang terjadi saat ini, tidak ada aktor tunggal yang menjadi penyebab unjuk rasa, terutama yang melalukan kekerasan dan serangan kepada aparat, itu bukan aktor tunggal,” kata Stanislaus saat dihubungi IDN Times, Rabu (14/10/2020).

Baca Juga: Gatot Sebut Penangkapan Tokoh KAMI Mengandung Tujuan Politis

1. Kelompok ketiga disebut sebagai penumpang gelap aksi demonstrasi

Pengamat: Ada 3 Kelompok Besar di Balik Ricuhnya Demo UU Cipta KerjaDemo tolak Omnibus Law di kawasan Harmoni pada Kamis (8/10/2020). (IDN Times/Ilyas Mujib)

Stanislaus menjelaskan, kelompok pertama adalah mahasiswa dan buruh yang murni menyuarakan penolakan UU Ciptaker. Sedangkan, kelompok kedua adalah para pelajar dan masyarakat yang ikut-ikutan, karena terpropaganda oleh media sosial.

“Kelompok ketiga inilah penumpang gelapnya. Ciri-cirinya mudah kalau kita mau mengetahuinya. Kita lihat dari narasi yang dia suarakan. Ketika buruh dan mahasiswa menyuarakan penolakan UU Cipta Kerja, tapi dia menyuarakan lengserkan presiden, anti-investasi dari etnis tertentu. Nah, dia itu penumpang gelapnya. Ini memang harus diwaspadai,” ujar dia.

2. Kelompok ketiga antara lain adalah Anarko dan KAMI

Pengamat: Ada 3 Kelompok Besar di Balik Ricuhnya Demo UU Cipta KerjaDemo menuntut UU Cipta Kerja (Omnibus Law) di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat memanas pada Kamis (8/10/2020) memanas (Dok. IDN Times/Istimewa)

Stanislaus menjelaskan, penumpang gelap yang masuk dalam kelompok ketiga itu antara lain adalah kelompok Anarko dan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang beberapa anggotanya sudah diamankan pihak kepolisian.

Kelompok Anarko dinilai menjadi yang paling dominan sebagai pelaku kerusuhan. Ciri kelompok ini adalah menyerang polisi dan membakar fasilitas umum. 

"Anarko kan orang-orang anarkis yang tidak mengakui adanya pemerintah. Cara dia tak mengakuinya dengan melakukan vandalisme atau perusakan. Kelompok ketiga ini cenderung politis," tutur dia.

“Yang paling penting bagi polisi adalah ketika menemukan bukti adanya pelanggaran hukum terkait kelompok ketiga ini, langsung tangkap aja terus diproses, yang penting ada bukti. Jadi polisi bekerja berdasarkan bukti kan bukan asumsi,” kata dia, menambahkan.

3. Polisi diminta memberikan perlakuan hukum yang berbeda kepada masing-masing kelompok

Pengamat: Ada 3 Kelompok Besar di Balik Ricuhnya Demo UU Cipta KerjaPolisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa yang menolah pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja di kawasan Harmoni, Jakarta, Kamis (8/10/2020). Demonstrasi tersebut berakhir ricuh (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Stanislaus mengimbau kepada kepolisian agar memberikan perlakuan hukum yang berbeda terhadap masing-masing kelompok tersebut. Sebab, ada pihak-pihak yang melakukan unjuk rasa lantaran terpapar kabar bohong di media sosial.

“Kelompok pertama sebaiknya dikawal. Jadi supaya kelompok pertama demo dengan baik agar tidak disusupi, ya dikawal saja kan. Kelompok kedua ini saya lihat mereka adalah korban. Pelajar itu kan terprovokasi, dipanas-panasi, ya dia ikut. Nah, seharusnya ketika ada penangkapan di kelompok kedua, ya sudahlah dibina saja, karena mereka masih muda belum tahu apa-apa. Kecuali kalau dia sudah melanggar hukum, baru proses,” kata dia.

4. Penangkapan tokoh KAMI dianggap mengandung tujuan politis

Pengamat: Ada 3 Kelompok Besar di Balik Ricuhnya Demo UU Cipta KerjaIDN Times/Fitria Madia

Sementara, Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Gatot Nurmantyo sebelumnya mengatakan, penangkapan beberapa tokoh KAMI mengandung tujuan politis, dengan menggunakan instrumen hukum.

“Penangkapan Syahganda Nainggolan, jika dilihat dari dimensi waktu, dasar Laporan Polisi tanggal 12 Oktober 2020 dan keluarnya sprindik tanggal 13 Oktober 2020 dan penangkapan dilakukan beberapa jam kemudian, pada hari yang sama tanggal 13 Oktober, jelas aneh atau tidak lazim dan menyalahi prosedur,” ujar Gatot lewat keterangan tertulisnya, Rabu (14/10/2020).

Gatot menjelaskan, jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dan Putusan MK Nomor 21/PUI-XII /2014, tentang perlu adanya minimal dua barang bukti, dan UU ITE Pasal 45 terkait frasa ‘dapat menimbulkan’ maka penangkapan para Tokoh KAMI, patut diyakini mengandung tujuan politis.

“KAMI menyesalkan dan memprotes penangkapan tersebut sebagai tindakan represif dan tidak mencerminkan fungsi Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat,” kata dia.

Selain itu, Gatot juga menilai pengumuman pers Mabes Polri Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono tentang penangkapan tersebut mengandung nuansa pembentukan opini (framing).

Ia mengatakan pengumuman itu menggeneralisasi dengan penisbatan kelembagaan yang bersifat tendensius, bersifat prematur yaitu mengungkapkan kesimpulan dari proses
pemeriksaan yang masih berlangsung.

“Semua hal di atas, termasuk membuka nama dan identitas seseorang yang ditangkap, menunjukkan bahwa Polri tidak menegakkan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), yang seyogya harus diindahkan oleh Lembaga Penegak Hukum/Polri,” ujarnya.

Gatot juga mengatakan ada indikasi kuat ponsel beberapa tokoh KAMI dalam hari-hari terakhir ini diretas dan dikendalikan oleh pihak tertentu sehingga besar kemungkinan disadap atau ‘digandakan’.

“Hal demikian sering dialami oleh para aktivis yang kritis terhadap kekuasaan negara, termasuk oleh beberapa Tokoh KAMI. Sebagai akibatnya, ‘bukti percakapan’ yang ada sering bersifat artifisial dan absurd," ujarnya.

5. Polisi menangkap delapan anggota dan petinggi KAMI

Pengamat: Ada 3 Kelompok Besar di Balik Ricuhnya Demo UU Cipta KerjaIlustrasi (IDN Times/Rochmanudin)

Polisi telah menangkap delapan anggota dan petinggi KAMI. Empat dari Jakarta yakni Deklarator KAMI, Anton Permana, anggota Komite Eksekutif Syahganda Nainggolan, Deklarator yang juga Komite Eksekutif Jumhur Hidayat dan Kingkin Anida. Lalu dari Medan yakni Juliana, Devi, Khairi Amri, dan Wahyu Rasari Putri.

Namun, anggota KAMI di Medan belum meminta pendampingan hukum.

“Ini kasus berbeda. Kasus yang di Medan itu (perihal cuitan) aksi, beda dengan Syahganda soal Twitter, malah kasus Jumhur kami tak tahu sama sekali," kata Ketua Komite Eksekutif KAMI Ahmad Yani.

Walau ada sejumlah petinggi KAMI, polisi tidak melihat jabatan mereka dan dipersangkakan dengan Pasal 45 a ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dan/atau Pasal 160 KUHP tentang penghasutan.

“Ancaman pidana untuk UU ITE adalah 6 tahun pidana penjara atau denda Rp1 miliar dan untuk Pasal 160 KUHP ancaman 6 tahun penjara, untuk lebih lengkapnya kami masih menunggu keterangan dari tim siber,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Awi dalam konferensi pers di Mabes Polri, Selasa (13/10/2020).

Baca Juga: Demo Tolak UU Ciptaker Ricuh Lagi, 500 Orang Ditangkap Polisi

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya