UU Cipta Kerja Memungkinkan Pekerja Dikontrak Selamanya
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pemerintah bersama DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) menjadi Undang-undang, setelah disepakati dalam pengambilan keputusan tingkat II dalam rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020).
Sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja banyak diprotes oleh kaum buruh karena dinilai dapat merugikan mereka. Misalnya terkait karyawan outsourcing atau alih daya.
1. Jika ada perselisihan pekerja dengan perusahaan, maka menjadi tanggung jawab perusahaan outsourcing
Dalam UU Cipta Kerja, karyawan outsourcing diatur dalam Pasal 66 yang membuat empat poin di dalamnya. Pertama, hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja atau buruh yang dipekerjakannya berdasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis baik perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Sedangkan di poin kedua memuat perlindungan buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab di perusahaan outsourcing.
Baca Juga: RUU Cipta Kerja Segera Disahkan, Buruh Masih Tolak Keras 7 Hal Ini
2. Dalam UU Ketenagakerjaan, pekerja outsourcing tidak boleh dipekerjakan untuk kegiatan produksi
Jika dibandingkan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, maka hal tersebut sangat lah jauh berbeda. Dalam UU Ketenagakerjaan, pekerja outsourcing secara tegas tidak boleh dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi.
"Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi," tulis pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003.
Editor’s picks
3. KSPI pertanyakan JKP pekerja yang putus kontrak jika bekerja di bawah satu tahun dalam UU Ciptaker
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengkritik terkait tidak adanya batasan pekerja outsourcing. Padahal sebelumnya, outsourcing dibatasi hanya untuk lima jenis pekerjaan. Buruh, kata dia, menolak outsourcing seumur hidup.
Dia mempertanyakan, siapa yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing. Iqbal mengatakan, tidak mungkin buruh membayar kompensasi untuk dirinya sendiri dengan membayar iuran JKP.
Dalam UU Cipta Kerja disebutkan, buruh kontrak yang mendapat kompensasi adalah yang memiliki masa kerja minimal satu tahun. Dia pun mempertanyakan, jika ada pengusaha hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun. Itu artinya buruh kontrak tidak akan mendapatkan kompensasi apapun ketika masa kerjanya sudah habis.
"Belum lagi, siapa yang membayar upah sisa kontrak dari karyawan kontrak dan pekerja outsourcing kalau kontraknya diputus di tengah jalan sebelum habis masa kontrak yang diperjanjikan pengusaha? Apakah pengusaha atau agen outsourcing mau membayar?” ujarnya melalui keterangan tertulis, Senin (5/10/2020).
4. UU Ciptaker membuat tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia
Ia pun menegaskan, dengan disahkannya UU Cipta Kerja, artinya tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia. Iqbal menilai negara telah abai karena tidak melindungi rakyat yang masuk dalam pasar kerja tanpa kepastian masa depan dengan dikontrak dan outsourcing seumur hidup.
“Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70 persen sampai 80 persen dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya omnibus law, apakah mau dibikin 5 persen hingga 15 persen saja jumlah karyawan tetap? No job security untuk buruh Indonesia, apa ini tujuan investasi?” kata Said Iqbal.
Baca Juga: RUU Ciptaker Disebut 'Karpet Merah' Pengusaha, Pekerja Jadi Korbannya