Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Kuasa hukum para pemohon, Reza, menuturkan, ketiadaan pengakuan eksplisit ini menghambat sosialisasi dan advokasi hak-hak bagi orang dengan penyakit kronis.
“Ketika melakukan sosialisasi mengenai layanan publik, para Pemohon harus menjelaskan kondisi mereka secara rinci. Jika penyakit kronis diakui sebagai ragam disabilitas, proses ini akan lebih mudah dipahami pemangku kebijakan dan memastikan hak mereka terpenuhi,” ujar Reza di hadapan panel hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat, didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Enny Nurbaningsih.
Para pemohon menegaskan, kerugian yang mereka alami bersifat nyata dan faktual, khususnya dalam mengakses layanan publik yang menjadi hak istimewa penyandang disabilitas. Mereka meminta MK untuk memasukkan penyakit kronis sebagai salah satu ragam penyandang disabilitas dalam UU Penyandang Disabilitas.
Reza menambahkan, ketiadaan pengaturan tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena membatasi kesempatan para pemohon untuk mengembangkan diri, berpartisipasi dalam masyarakat, dan mendapatkan layanan yang menjadi hak penyandang disabilitas.
“Pengakuan eksplisit akan mempermudah sosialisasi, memperkuat advokasi, dan menjamin hak orang dengan penyakit kronis terpenuhi secara setara,” imbuh dia.
Menurut para pemohon, tidak dicantumkannya penyakit kronis sebagai salah satu ragam penyandang disabilitas dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Penyandang Disabilitas maupun dalam penjelasannya, serta tidak diatur secara tegas dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, telah mengakibatkan kerugian terhadap hak konstitusional para Pemohon. Hal ini karena para Pemohon mengalami kesulitan dalam mengakses layanan yang seharusnya merupakan hak istimewa bagi penyandang disabilitas.