H-2 Lebaran, 3.000 Pemulung di Bantargebang Bekasi Belum Terima Bansos

Jakarta, IDN Times - Ketua umum Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia Bagong Suyoto mengatakan, sekitar 2.500 hingga 3 ribu pemulung di tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) Bantargebang, belum mendapat bantuan sosial (bansos).
Berdasarkan data yang dihimpun asosiasi, jumlah pemulung yang bermukim di TPST Bantargebang dengan pemulung pendatang mencapai 6 ribu orang.
“Sekitar 2.500-3 ribu pemulung (belum mendapat bansos),” kata Bagong saat dihubungi IDN Times, Kamis (21/5).
1. Pembagian sembako dianggap tidak merata

Bagong mendapati kabar mereka yang belum menerima bansos akan mendapatkan pada kloter berikutnya. Meski begitu, dia mengingatkan agar mekanisme distribusi dan stok sembako yang disalurkan, harus sesuai data kebutuhan di lapangan.
“Pembagiannya harus merata. Kuantitasnya juga harus diperhatikan dan jenis barangnya tidak perlu banyak. Misalnya, bantuan beras 50 kg dan minyak 2-3 kg untuk saban bulan,” kata dia.
Permasalahan lain yang menyebabkan bantuan tidak merata, kata Bagong, adalah pendistribusian yang dilakukan secara serampangan. Oleh sebab itu, dia berharap bansos kloter berikutnya langsung diberikan dari satu gubuk ke gubuk lainnya.
“Pembagian tidak merata karena tempat pembagiannya di satu pos, dan di pinggiran jalan utama. Jadi pemulung yang tersebar di pinggiran TPST/TPA tidak dapat sembako,” kata dia.
2. Distribusi bansos juga dianggap tidak transparan

Bagong yang juga ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) mengumpulkan keluhan para pemulung di TPST Bantargebang. Salah satu keluhan yang perlu dikritisi adalah akuntabilitas pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pendistribusian bansos.
“Bansos diberikan secara sembunyi-sembunyi, bahkan ada yang memberikan pada orang tertentu dini hari, pukul 01.00 WIB. Bansos yang melalui RT/RW diutamakan sanak saudara, orang-orang dekat, dan tokoh pendukungnya, baru rakyat, itu pun yang dikenalnya,” ungkap dia.
Yang tidak kalah meresahkan, Bagong mendapati laporan soal nilai bansos yang dipotong oknum tertentu.
“Beberapa warga yang menerima beras 5 kg, beberapa bungkis mi instan dan sarden. Sedang yang lain mengatakan hanya memperoleh beras saja. Bansos lebih banyak bocor di tingkat ketua RT/RW. Yang lebih parah, ada tokoh kampung kaya yang mendapat paket sembako merah-putih (menandakan dari pemerintah), sedang warga yang miskin tidak dapat,” kata dia.
3. Menjadikan pandemik virus corona sebagai momen perbaikan data pemulung

Selama masa pandemik COVID-19, Bagong mengingatkan, pemulung merupakan kelompok rentan yang paling terpapar krisis ekonomi. Selama ini, apapun bentuk bantuan yang dialamatkan kepada mereka selalu salah sasaran, karena pemerintah tidak memiliki data yang valid dan aktual.
Oleh karena itu, Bagong berharap, momen pandemik virus corona ini harus dimanfaatkan pemerintah untuk memperbaiki data pemulung, sehingga tidak ada lagi bantuan yang salah sasaran.
“Kami meminta agar pemerintah pusat menyusun database yang akurat dan valid tentang profil pemulung di Indonesia. Terus, penyaluran bansos dilakukan langsung tanpa membedakan pemulung lokal maupun pendatang. Kami juga menuntut adanya sistem pengawasan dan penegakan hukum yang ketat dan serius terkait distribusi bansos,” kata Bagong.