Miris, KPI Catat Ada 134 Pernikahan Anak di Bawah Umur

50 persen pernikahan anak di bawah umur dilakukan siri.

Jakarta, IDN Times - Kekerasan pada anak masih masih marak terjadi. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), tercatat 3.265 kasus kekerasan anak pada Januari-Juli 2018. Sebelumnya, pada 2015 tercatat 1.975 kasus dan 2016 tercatat 6.820 kasus.

"Paling banyak kekerasan seksual dari orang dewasa di sekitarnya," ujar Sekjen KPI Dian Kartikasari dalam diskusi Hari Anak Nasional di Jakarta, Minggu (22/7).

Dian menyebut, kekerasan anak dipicu oleh banyak faktor, seperti tingkat pendidikan rendah, kemiskinan, dan perkawinan usia anak. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), jumlah sekolah tingkat Sekolah Dasar (SD) di Indonesia pada 2017 sebanyak 147.000 dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) hanya 36.000.

"Artinya, pada 2017 ada 945 ribu anak gak bisa meneruskan sekolah. Ini bisa berpengaruh ke aspek lainnya, seperti perkawinan usia anak yang masih membudaya di banyak daerah," tutur Dian.

1. Faktor ekonomi kerap dijadikan alasan

Miris, KPI Catat Ada 134 Pernikahan Anak di Bawah UmurIDN Times/Sukma Shakti

Menurut Dian, anak yang berpendidikan rendah berpotensi dinikahkan oleh keluarganya. Faktor ekonomi kerap dijadikan alasan, padahal itu tak lantas menyelesaikan masalah.

"Justru menimbulkan masalah baru. Orangtua merasa dengan mengawinkan anaknya lantas terbebas dari kemiskinan, padahal sebaliknya. Konflik rumah tangga bermunculan karena secara fisik dan psikologis belum siap," ujarnya.

Baca juga: Bongkar JPO di Bundaran HI, Anies: Biar Patung Selamat Datang Terlihat

2. Sebanyak 50 persen anak melakukan nikah siri

Miris, KPI Catat Ada 134 Pernikahan Anak di Bawah UmurIDN Times/Sukma Shakti

Data KPI menyebut, 50 persen anak-anak melakukan nikah siri atas keputusan utama dari orangtua. Cara tersebut ditempuh karena usia masih di bawah umur. Dari 134 perkawinan anak, 30 di antaranya perkawinan anak laki-laki. Sementara, selisih usia terjauh antara pasangan adalah 25 tahun.

"Usia termuda perkawinan anak adalah 12 tahun. Sebanyak 56 persen anak perempuan menikah di usia 15-17 tahun," tuturnya.

Pernikahan usia anak tersebut, lanjut dia, berdampak pada gangguan mental anak. Kekerasan rumah tangga pun tak terelakkan lantaran batasan usia cukup jauh dan emosi yang tak stabil. 

Baca juga: Penumpang KRL Kesal, Antrean Tiket di Stasiun Mengular Panjang

3. Minimnya pengetahuan berimbas pada gizi buruk

Miris, KPI Catat Ada 134 Pernikahan Anak di Bawah Umur

Rendahnya tingkat pendidikan berbanding lurus dengan pengetahuan yang minim. Kendati telah mampu bereproduksi, anak cenderung kurang paham dengan kesehatan dan gizi. Akibatnya, banyak bayi lahir dengan status stunting (tubuh kerdil).

Status gizi anak di 514 kabupaten/kota, tercatat 3,8 persen balita mengalami gizi buruk, 29,6 persen stunting, dan 9,5 persen wasting (kurus). Pada anak usia 5-12 tahun, tercatat 27,7 persen gizi buruk dan 10,9 persen wasting. Pada anak usia 12-18 tahun, tercatat 35,5 persen gizi buruk dan 4,7 persen wasting.

Enam kabupaten/kota menduduki tingkat gizi terendah, yaitu Kota Tomohon, Kota Denpasar dan Klungkung (Bali), Kota Palembang, Muaro Jambi (Jambi) dan Tanah Bumbu.

"Oleh sebab itu, kami mengimbau orangtua untuk memenuhi hak pangan dan pendidikan anak, meningkatkan pengetahuan, dan prioritaskan anggaran rumah tangga untuk pemenuhan gizi dan pendidikan anak. Hentikan praktik perkawinan pada anak," tuturnya.

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya