Indonesia Diminta Perjelas Regulasi Aliran Data Lintas Batas!

Jakarta, IDN Times - Head of Economic Opportunities Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Trissia Wijaya mengatakan, Indonesia harus memperjelas regulasi terkait aliran data lintas batas atau cross border data flow. Hal ini bertujuan memaksimalkan manfaat ekonomi dari transformasi digital.
“Meskipun Kementerian Komunikasi dan Informatika telah berulang kali menyatakan komitmennya untuk memungkinkan aliran data lintas batas, sejauh mana upayanya masih belum jelas,” kata Trissia dalam keterangan tertulis, Sabtu (7/1/2023).
1. Indonesia sebagai negara dengan pendekatan terbatas pada cross border data flow

Kemudian, Trissia menyebut, United Nations Conference on Trade and Development mengidentifikasi bahwa Indonesia sebagai negara dengan pendekatan terbatas pada cross border data flow dalam laporan tahun 2021. Ia menilai, status ini tentu tidak bisa lepas dari undang-undang lokalisasi data di Indonesia.
"Alih-alih melakukan lokalisasi data, Indonesia dapat mengadopsi peraturan yang mengklasifikasikan dan memperlakukan data berdasarkan risiko," ujar dia.
Menurut Trissia, pendekatan semacam itu mampu membantu Indonesia dalam mengatasi masalah perlindungan dan keamanan data. Khususnya, data yang sangat sensitif atau dapat membawa risiko keamanan nasional, sambil tetap memungkinkan Indonesia memperoleh manfaat dari nilai ekonomi data.
2. Kebijakan lokalisasi tidak selamanya efektif

Trissia juga mengatakan, kebijakan lokalisasi data tidak selamanya efektif. Sebab, kebijakan tersebut membutuhkan sumber daya dan biaya yang cukup besar bagi perusahaan yang belum terlalu scale-up.
Sumber daya dan biaya tambahan ini, kata dia, tentu dapat memunculkan keengganan mereka untuk memasuki Indonesia.
"Meskipun Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang baru saja disahkan telah mengidentifikasi beberapa kategori data, seperti data pribadi dan data pribadi sensitif, undang-undang tersebut masih membutuhkan mekanisme yang lebih jelas, serta peraturan turunan, pada jenis data yang berbeda," ucap Trissia.
Selain itu, menurutnya turunan dari Undang-Undang (UU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) atau Omnibus Law Keuangan yang baru disahkan, juga harus mengklarifikasi persyaratan benchmark dan sertifikasi terkait petugas perlindungan data, serta lembaga perlindungan data.
3. Indonesia masih tertinggal dalam hal talenta digital

Bahkan, Trissia mengklaim Indonesia masih tertinggal dalam hal talenta digital, tenaga kerja terdidik, dan canggih secara digital.
Sebab, menurut laporan Boston Consulting Group, adopsi teknologi cloud publik akan menghasilkan 345 ribu pekerjaan baru dan negara membutuhkan setidaknya 600 ribu talenta digital setiap tahunnya di beberapa sektor termasuk 5G, big data dan soft skill.
"Namun, setengah dari total tenaga kerja Indonesia hanya memiliki keterampilan digital dasar sehingga kurang kompetitif dibandingkan dengan negara di Asia Pasifik," kata dia.
Dalam mengembangkan talenta digital sendiri, Kominfo telah mengembangkan beberapa inisiatif, seperti program Digital Talent Scholarship dan Digital Leadership Academy. Trissia mengatakan, efektivitas program ini harus terus ditingkatkan untuk menjangkau lebih banyak masyarakat Indonesia.
"Ditingkatkan dengan cara yang tidak hanya meningkatkan bakat di platform digital, tetapi juga mempersiapkan tenaga kerja dalam mengelola infrastruktur data," tutur Trissia.