Catatan Demokrat soal UU Cipta Kerja Sejak Dibahas Hingga Diputuskan

Fraksi Demokrat kadang tidak bersuara karena minoritas

Jakarta, IDN Times - Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) sudah sampai di tangan Presiden Joko "Jokowi" Widodo, namun Fraksi Demokrat belum bisa berlapang dada pasca-kejadian walk out saat rapat paripurna DPR RI, mengesahkan undang-undang tersebut pada 5 Oktober 2020.

Sikap menolak itu tidak hanya terjadi saat rapat paripurna, Demokrat secara tegas telah menyampaikan sikap penolakan UU Ciptaker dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I pada Sabtu, 3 Oktober 2020. Saat itu, Demokrat menyampaikan pandangan mini fraksinya menolak UU Ciptaker.

Demokrat sejak Februari 2020 memang sudah menyarankan supaya pembahasan UU Ciptaker ditunda, supaya pemerintah dan DPR lebih fokus menangani COVID-19. Lagi pula RUU ini juga mendapat penolakan dari masyarakat.

Hinca Panjaitan, mewakili Fraksi Demokrat, mengatakan pembahasan RUU Ciptaker cenderung memicu kontroversi di tengah pandemik COVID-19. Menurutnya, pemerintah bersama DPR harusnya fokus pada penanganan kesehatan selama pandemik, malah fokus memperjuangkan regulasi yang mendorong investasi.

Fraksi yang dipimpin Edhie Baskoro Yudhoyono tersebut menolak RUU Ciptaker karena dinilai merugikan kelompok lemah dan kaum buruh. Kala itu, Hinca berharap RUU Ciptaker bisa dibahas di lain waktu yang lebih kondusif.

“Fraksi Demokrat mempertimbangkan kembali untuk masuk pada proses pembahasan agar dapat memperjuangkan kepentingan rakyat. RUU Cipta Kerja juga tidak memiliki nilai urgensi (di tengah pandemik COVID-19),” kata Hinca sebagaimana disiarkan melalui akun YouTube Parlemen Channel.

Lalu, apakah sikap menolak Demokrat hanya untuk cari perhatian pada akhir perjuangan?

Baca Juga: Syarief Hasan: Demokrat Bukan Dalang Rusuh Demo UU Ciptaker

1. Sejak awal suara Demokrat tak didengar

Catatan Demokrat soal UU Cipta Kerja Sejak Dibahas Hingga DiputuskanFraksi Demokrat, Benny K Harman menyatakan Demokrat walkout dari Rapat Paripurna DPR RI (Youtube.com/DPR RI)

Fraksi Demokrat hanya memiliki tiga anggota di Badan Legislasi DPR, yakni Hinca Pandjaitan, Benny K Harman, dan Bambang Purwanto.

Demokrat memang tergabung dalam Panitia Kerja UU Cipta Kerja dan sempat ikut pembahasan sejak Februari 2020. Sejak awal, partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono itu menyuarakan supaya pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja ini ditunda pembahasannya, dengan alasan agar DPR dan pemerintah fokus menangani COVID-19.

Namun, suara Demokrat tak dihiraukan oleh tujuh fraksi lainnya. Pembahasan RUU Ciptaker terus berjalan hingga akhirnya Fraksi Demokrat meminta mencabut klaster ketenagakerjaan dari pembahasan. Lagi-lagi tak dihiraukan.

“Waktu itu kami meminta klaster Ketenagakerjaan untuk di-drop dari Ciptaker, tapi fraksi lain tidak sepakat dan tetap berlanjut. Sehingga pada 22 April, kami menarik diri dari Panja, terus setelah new normal pembahasan terus berlanjut,” kata Bambang Purwanto kepada IDN Times, Kamis, 15 Oktober 2020.

2. Demokrat absen empat bulan dari Panja RUU Cipta Kerja

Catatan Demokrat soal UU Cipta Kerja Sejak Dibahas Hingga DiputuskanFraksi Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin hadir dalam Rapat Paripurna DPR RI (Youtube.com/DPR RI)

Empat bulan Fraksi Demokrat absen untuk berjuang menyuarakan suara rakyat di Baleg DPR yang terus kebut pembahasan RUU Ciptaker. Hingga akhirnya, dengan berbagai pertimbangan Demokrat kembali masuk dalam Panja pada 25 Agustus 2020.

“Pertimbangannya karena kami harus mengawal UU Ciptaker ini, karena kami kan wakil rakyat. Sesuai kemampuan kami kita kawal,” ujar Bambang.

3. Demokrat kadang hanya diam menjadi penonton rapat

Catatan Demokrat soal UU Cipta Kerja Sejak Dibahas Hingga DiputuskanBeberapa Menteri dan Para Pimpinan DPR berfoto bersama usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020) (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Setelah kembali ke Panja, Fraksi Demokrat masih menyuarakan untuk ditunda pembahasan klaster terakhir, yaitu klaster ketenagakerjaan. Namun tak pernah ditanggapi.

“Suara Demokrat gak didengar mestinya kalau didengar klaster Ketenagakerjaan itu dilepas. Kami kadang tidak bersuara, hanya diam karena suara kami relatif kecil. Pak Benny yang senior saja tidak ditanggapi,” ujar Bambang.

4. Lima hal yang disuarakan Demokrat dalam pembahasan RUU Ciptaker

Catatan Demokrat soal UU Cipta Kerja Sejak Dibahas Hingga DiputuskanSekretaris Jendral Partai Demokrat Hinca Pandjaitan (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Saat pembahasan, Fraksi Demokrat menyampaikan lima hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam RUU Ciptaker. Pertama, RUU ini tidak memiliki nilai urgensi dan kegentingan memaksa di tengah krisis pandemik ini.

Di masa awal pandemik, prioritas utama negara seharusnya diorientasikan pada upaya penanganan pandemik, khususnya menyelamatkan jiwa manusia, memutus rantai penyebaran COVID-19, serta memulihkan ekonomi rakyat.

Kedua, RUU Ciptaker membahas secara luas beberapa perubahan undang-undang sekaligus (omnibus law). Karena besarnya implikasi dari perubahan tersebut, maka perlu dicermati satu per satu, hati-hati, dan lebih mendalam, terutama terkait hal-hal fundamental, yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.

Ketiga, harapannya UU Ciptaker di satu sisi bisa mendorong investasi dan menggerakkan perekonomian nasional. Namun di sisi lain, hak dan kepentingan kaum pekerja tidak boleh diabaikan, apalagi dipinggirkan.

Tetapi, RUU Ciptaker justru berpotensi meminggirkan hak-hak dan kepentingan kaum pekerja di Indonesia. Sejumlah pemangkasan aturan perizinan, penanaman modal, ketenagakerjaan dan lain-lain, yang diatasnamakan sebagai bentuk reformasi birokrasi dan peningkatan efektivitas tata kelola pemerintahan, justru berpotensi menjadi hambatan bagi hadirnya pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.

Keempat, Demokrat memandang RUU Ciptaker telah mencerminkan bergesernya semangat Pancasila, utamanya Sila Keadilan Sosial ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan terlalu neo-liberalistik.

Kelima, Demokrat melihat, selain cacat substansi, RUU Ciptaker juga cacat prosedur. Fraksi Demokrat menilai, proses pembahasan hal-hal krusial dalam RUU Ciptaker kurang transparan dan akuntabel. Pembahasan RUU Ciptaker dianggap tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, pekerja dan jaringan civil society yang akan menjaga ekosistem ekonomi dan keseimbangan relasi tripartit, antara pengusaha, pekerja, dan pemerintah.

5. Empat catatan lain Demokrat dalam UU Ciptaker

Catatan Demokrat soal UU Cipta Kerja Sejak Dibahas Hingga DiputuskanProses ugal-ugalan dalam pembuatan UU Cipta Kerja (IDN Times/Arief Rahmat)

Selain lima hal yang perlu menjadi pertimbangan, Demokrat juga menyampaikan tiga catatan kritis terkait isi dalam UU Ciptaker. Pertama, ada sejumlah catatan terkait ketidakadilan di sektor ketenagakerjaan, antara lain mengenai aturan prinsip no work no pay oleh pengusaha karena upah dibayar berdasarkan satuan waktu kerja per jam.

Selanjutnya, UU Ciptaker ini juga memberikan kemudahan dan kelonggaran yang berlebihan bagi perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja asing.

Selain itu, UU Ciptaker juga akan berimplikasi terhadap nasib sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), konsumen, dan hukum bisnis. Bagi UMKM dan sektor informal, substansi UU Ciptaker tidak menjawab kebutuhan di lapangan. Prinsipnya, perlindungan terhadap hak-hak para pekerja adalah hal yang fundamental untuk kita perjuangkan.  

Kedua, terkait lingkungan hidup dan sektor pertanahan. UU Ciptaker melegalkan perampasan lahan sebanyak dan semudah mungkin untuk Proyek Prioritas Pemerintah dan Proyek Strategis Nasional, yang pelaksanaannya dapat diserahkan kepada swasta.

Masalah lingkungan hidup juga menjadi catatan tersendiri, di mana dalam UU Ciptaker memberikan kemudahan syarat pembukaan lahan untuk perusahaan di berbagai sektor.
 
Selain itu, UU Ciptaker memberikan kemudahan bagi pengadaan lahan di bawah 5 hektare. Padahal, untuk wilayah perkotaan padat penduduk seperti Jakarta, Surabaya, dan lainnya, luas 5 hektare dapat ditinggali ratusan kepala keluarga.

Akibat pengaturan ini, penggusuran paksa dengan skala kecil sangat mudah dilakukan oleh pemerintah daerah. Hilangnya berbagai perizinan menyebabkan masyarakat kehilangan jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanahnya.

Ketiga, terkait sentralisasi peraturan dari daerah ke pusat. UU Ciptaker membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia. Pertama, wibawa konstitusi dilecehkan dengan adanya aturan yang bertentangan dengan putusan MK, dan dihidupkannya aturan kolonial di sektor perburuhan dan pertanahan.

Keempat, UU Ciptaker akan memberi legalitas bagi pemerintahan yang sentralistik. Dengan pemberian kewenangan yang terlalu besar kepada pemerintah pusat, akan menjadikannya superior dibandingkan kekuasaan legislatif, yudikatif, dan pemerintah daerah. Padahal, tujuan undang-undang ini untuk mengefektifkan birokrasi.

“Tetapi, aturan terbaru ini justru akan semakin merumitkan proses birokrasi karena tidak adanya kepastian dan kejelasan hukum dalam hal perizinan berusaha,” kata Hinca dalam keterangan tertulisnya.

 

Mau unduh draf UU Cipta Kerja versi 812 halaman? Klik di sini 

Baca Juga: Soal UU Ciptaker, Benny K Harman Demokrat: Kita Menyetujui RUU Hantu

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya