Kisah Para Pengungsi di Tanah Jakarta, Berkarya Bebaskan Rasa Pilu

Pengungsi diajari berkarya agar tetap bisa mandiri

Jakarta, IDN Times - Sejak 2019, sebanyak 7.102 refugee atau pengungsi tercatat sudah berada di Jakarta. Sebanyak 35 persen di antaranya merupakan pengungsi dari Afganistan. Selanjutnya disusul pengungsi dari Somalia sebanyak 11 persen. 

Tentu bukan tanpa alasan mereka meninggalkan sebagian besar hidup, rumah yang ia miliki dan keluarga. Sayangnya, kendati merasa keselamatannya terancam, pengungsi malah tidak dapat dilindungi oleh negara asalnya karena para pengungsi meninggalkan negaranya atas kemauan pribadi. Oleh sebab itu, bantuan dan keselamatan mereka menjadi tanggung jawab komunitas internasional. 

Lalu, bagaimana para pengungsi bisa bertahan hidup?

1. Refugee dan pencari suaka memiliki makna yang berbeda

Kisah Para Pengungsi di Tanah Jakarta, Berkarya Bebaskan Rasa PiluKarya foto Jawad (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Pengungsi memiliki makna yang berbeda dengan pencari suaka. Para pencari suaka adalah mereka yang permintaan perlindungannya belum selesai dipertimbangkan. Pencari suaka yang sedang mencari dan meminta perlindungan akan dievaluasi melalui prosedur penentuan status pengungsi.

Agar mendapat status pengungsi, maka mereka harus menjalani beberapa tahapan, dimulai sejak tahapan pendaftaran. Setelah melewati tahapan registrasi, maka para pencari suaka akan menjalani proses wawancara. Dari proses inilah yang akan menghasilkan keputusan apakah mereka layak mendapat status sebagai pengungsi. 

Bila mereka tak melewati proses wawancara, maka status pengungsi akan ditolak. Lalu, pencari suaka akan diberikan satu kali kesempatan untuk meminta banding atas karena permintaannya mengajukan suaka ditolak. Para pengungsi harus melakukan registrasi ke Badan PBB bernama UNHCR. Badan tersebut memiliki kantor perwakilan di Jakarta. 

Namun, proses untuk menjadi pengungsi tidak mudah diperoleh para pencari suaka. Hal itu dialami oleh pencari suaka berusia 17 tahun asal Afghanistan, Jawad. 

Baca Juga: [FOTO] Bemalam di Trotoar: Kisah Pencari Suaka Asal Afganistan-Sudan

2. Jawad tiba di Indonesia pada tahun 2016

Kisah Para Pengungsi di Tanah Jakarta, Berkarya Bebaskan Rasa PiluRefugee Afganistan Jawad (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Kepada IDN Times, Jawad berbagi cerita bagaimana ia mengalami kesulitan saat mencari suaka di pertengahan 2016. Baginya, menyesuaikan bahasa, aturan setempat, makanan, hingga beradaptasi dengan orang-orang di sekitarnya bukanlah hal yang mudah.

“Saya datang ke Indonesia pada pertengahan 2016. Keluarga saya datang ke sini untuk mencari perlindungan. Ketika saya datang ke sini, pertama-tama merasa terkejut, karena semuanya berbeda dari saya dan keluarga saya. Bahasanya berbeda, makanannya berbeda, orang-orangnya berbeda dan saya bisa melihat agama yang berbeda dan mengalami budaya yang berbeda,” ucap Jawad di acara Pameran ‘Berdiam/Bertandang: An Exhibition by Art for Refuge’ di Jakarta Selatan, Sabtu (1/2).

Dengan susah payah belajar bahasa, Jawad dan keluarga akhirnya menjadi refugee di Yayasan Roshan Learning Center.

“Kami senang karena kami belajar dan tumbuh dalam komunitas (Roshan),” ungkapnya.

Baginya, menjadi pengungsi tidak jauh dari rasa kurang percaya diri karena statusnya yang menumpang di Tanah Air orang lain. Ia pun juga tidak bisa melakukan sembarang pekerjaan, karena aturan di Indonesia belum membolehkan para pengungsi untuk bekerja. Namun, lewat yayasannya, Jawad mengembangkan potensinya untuk keluar dari rasa takut dan minder.

“Pada awalnya itu luar biasa (sulit) tetapi akhirnya menjadi lebih baik,” ujarnya yang fasih Berbahasa Inggris.

3. Jawad memilih berkarya untuk mengabadikan momen

Kisah Para Pengungsi di Tanah Jakarta, Berkarya Bebaskan Rasa PiluKarya foto Jawad (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Perlahan, Jawad mulai belajar Bahasa Inggris dengan dibantu pengungsi lainnya yang berasal dari Afganistan dan Pakistan. Hingga akhirnya, ia bisa membeli makanan, barang kebutuhan sehari-hari, hingga barang lokal Indonesia.

“Kami bertemu dengan beberapa orang Afgani dan Pakistan untuk membantu kami karena ada bahasa setempat dan itulah bagaimana kami dapat membeli makanan dan barang-barang dari Indonesia,” ucapnya. 

Pelan-pelan Jawad mulai bisa menguasai Bahasa Indonesia. Namun, ia tidak berhenti belajar. Jawad memilih mempelajari kemampuan lainnya. 

Kepada IDN Times, ia mengaku sudah lama tertarik terhadap kamera. Dari sana, ia kemudian belajar fotografi. 

“Kami memiliki kesempatan untuk belajar fotografi dengan Chris Bunjamin. Selama periode itu, kami dapat belajar fotografi dan tumbuh bersama orang-orang fotografi, seniman, dan semua yang kami pikir menarik,” ujar Jawad di depan karyanya yang di pajang di salah satu sudut ruang pameran.

Saat ditanya alasannya memilih dunia fotografi, Jawad ternyata hanya ingin meluapkan emosinya dalam melukis lewat cahaya.

“Fotografi cara yang menyenangkan untuk melarikan diri dari dunia nyata dan menangkap kenangan dan momen yang tidak akan kembali lagi,” kata dia.

Dalam pameran tersebut, karya Jawad adalah salah satu dari sepuluh refugee yang juga menyumbang karya fotonya. Dua karya Jawad dipajang dengan tema senyuman pengungsi. Kedua karyanya menggambarkan sosok anak-anak yang tersenyum bahagia di di tempat yang kumuh.

“Foto ini menunjukkan kebahagiaan anak-anak Afganistan terlepas dari situasi apa yang mereka miliki. Ini membuktikan bahwa tidak peduli betapa kerasnya hidup Anda, selalu ada sesuatu yang membuat Anda bahagia,” ucapnya.

4. Pameran yang menggambarkan kehidupan refugee

Kisah Para Pengungsi di Tanah Jakarta, Berkarya Bebaskan Rasa PiluSuasana pameran (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Pameran mengena karya para pengungsi yang diselenggarakan di Cecemuwe Cafe berlangsung pada 31 Januari hingga 2 Februari 2020. Pameran ini menampilkan 72 karya lukis dan fotografi hasil olah artistik 27 seniman.

Pameran berawal dari ruang kelas di Roshan Learning Center, sekolah independen terbuka bagi anak-anak pengungsi. Katrina Wardhana yang menginisiasi proyek bersama sekolah menjadi salah satu pengajar kelas menggambar.

Menggandeng fotografer Chris Bunjamin, mereka memberikan ruang bagi anak-anak untuk mengekspresikan pikiran dan imajinasi. Art for Refuge yang dikuratori Alia Swatika bertujuan mengapresiasi talenta para pengungsi dan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap isu tersebut.

"Dalam pameran, adik-adik pengungsi sebagai pendatang melihat Jakarta lewat cara berbeda," kata salah satu panitia pameran, Belyn.

Menurutnya, pameran menjadi upaya melihat kasus pengungsi dan migran dalam konteks Indonesia dengan segala persoalan sosial dan politik. Belyn menilai, isu pengungsi bukan lagi mengenai negara, tetapi membangun mimpi bersama.

"Pameran itu menjadi wadah berbagi kisah inspiratif melalui seni," ujarnya.

Konsep penting dalam gagasan artistik pameran adalah displacement: sebuah diskontinuitas atas narasi dan ruang. Dalam proses diskusi dengan para seniman, pembacaan yang tak lazim atas ruang akan mendorong lahirnya imajinasi yang baru atas sebuah tempat dan waktu, yang bisa berpindah dan dipertukarkan.

Narasi tentang keluarga yang saling terpisah, persahabatan baru yang terbentuk dalam ruang baru, perasaan dekat atas sebuah kota seperti Jakarta, semua berbaur menjadi cerita yang puitis dalam ruangan kelas Roshan.

"Ruang belajar bukan sekedar tempat untuk duduk dan mendengarkan guru, lebih dari itu, ruang belajar menjadi harapan baru yang dipupuk dan disemai ulang," tuturnya.

Associate External Relations UNHCR Indonesia Mitra Samila Suryono berharap, pameran mendorong masyarakat membantu dan tidak menutup diri terhadap pengungsi.

Menurutnya, bagian penting dalam pameran yaitu menampilkan ruang kelas belajar di Roshan Learning Center. Salah satunya kelas seni yang menjadi ruang bagi anak-anak pengungsi membayangkan hidup mereka secara bebas.

Pameran juga menampilkan karya dari beberapa seniman yang telah bekerja atau mempunyai ketertarikan dengan isu-isu tentang pengungsi, terutama seniman dari Afghanistan yang lama di Indonesia. Beberapa nama yang terlibat yaitu Mella Jaarsma, kelompok sambunghambar, Mes 56, Amin Taasha, dan Mumtaz.

5. UNCHR mencoba skema pemberdayaan produktivitas

Kisah Para Pengungsi di Tanah Jakarta, Berkarya Bebaskan Rasa PiluSuasana Pameran ‘Berdiam/Bertandang: An Exhibition by Art for Refuge’ di Jakarta Selatan, Sabtu (1/2). IDN Times/Irfan Fathurohman

UNHCR di Indonesia mulai mencoba skema pemberdayaan produktivitas sebagai salah satu langkah untuk membuat pengungsi dapat hidup mandiri, khususnya secara finansial.

"Bagi pengungsi rentan, bantuan finansial dibutuhkan. Namun setelah bertahun-tahun, jelas bahwa bantuan finansial langsung tidak dapat berkelanjutan, sehingga penting bagi mereka mendapat kesempatan menjadi mandiri," kata Kepala Perwakilan UNHCR di Indonesia, Ann Maymann dikutip dari kantor berita Antara pada Sabtu (1/2).

Dengan status sebagai pengungsi, mereka tidak diizinkan untuk bekerja. Sementara keperluan sehari-hari tetap harus dipenuhi, sehingga sebagian pengungsi tak jarang hanya mengandalkan pemberian dari masyarakat sekitar lokasi penampungan.

Saat ini UNHCR tengah melakukan advokasi kepada pemerintah untuk memberi kesempatan para pengungsi bisa ikut terlibat dalam program kewirausahaan masyarakat lokal, dan mendukung usaha tersebut.

Sebagai timbal balik, UNHCR mengharapkan tenaga pendukung dari para pengungsi itu bisa mendapat imbalan berupa pendapatan kecil, seperti uang saku atau uang pengganti biaya transportasi.

Benang Project, usaha di bidang pembuatan pakaian yang berbasis di Jakarta, adalah proyek percontohan UNHCR dalam skema pemberdayaan produktivitas tersebut. Benang mendapat keuntungan berupa tambahan sumber daya untuk memajukan bisnisnya.

Sejumlah pengungsi yang terlibat dalam Benang Project, selain bisa mendapat pemasukan finansial, juga akan memperoleh atau mengasah keterampilan sebagai bekal untuk kehidupan dirinya di masa depan.

"Pengungsi ingin menjadi bebas. Mereka adalah orang-orang seperti kita yang memiliki keahlian, bakat, dan pengetahuan yang dapat berguna bagi sesama. Mereka juga memiliki keinginan dan kemampuan besar," ujar Ann.

Advokasi yang dilakukan oleh UNHCR mulai dibawa ke forum yang lebih luas, Global Refugee Forum, pada Desember 2019 lalu. ssociate External Relations UNHCR Indonesia Mitra Samila Suryono yakin langkah pemberdayaan produktivitas para pengungsi dapat terus dikembangkan di masa depan. 

Baca Juga: Pencari Suaka Padati Kebon Sirih, Begini Cara Mereka Masuk Indonesia

Topik:

Berita Terkini Lainnya