PKS: RUU HIP Bermasalah Secara Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis

PKS menolak Pancasila diringkas jadi Trisila dan Ekasila

Jakarta, IDN Times - Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini menegaskan fraksinya akan memperjuangkan aspirasi ormas dan masyarakat luas yang keberatan terhadap kelanjutan pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Sejumlah ormas besar seperti Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), organisasi otonom Nahdlatul Ulama (NU), dan berbagai kalangan meminta pembahasan RUU HIP dihentikan. Sebab berbagai catatan subtantif dan rawan membuka polemik ideologis yang kontraproduktif, khususnya soal komunisme.

"Fraksi PKS satu-satunya fraksi yang sejak awal tegas bersikap soal RUU ini. Kami mempelajari dengan cermat naskah akademik maupun pasal-pasal RUU dan menyimpulkan bahwa RUU bermasalah secara filosofis, yuridis, dan sosiologis," kata Jazuli dalam keterangan tertulis, Selasa (16/6).

"Konstruksinya mengarah pada reduksi makna sila-sila Pancasila yang utuh, yang disepakati dan termaktub dalam Pembukaan UUD 1945," dia melanjutkan.

1. PKS usul RUU HIP dicabut dari pembahasan

PKS: RUU HIP Bermasalah Secara Filosofis, Yuridis, dan SosiologisIlustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Fraksi PKS, kata Jazuli, dengan tegas menolak RUU HIP harus memasukkan usul perbaikan fundamental, yang hari ini menjadi catatan kritis ormas-ormas dan publik secara luas.

“Jika tidak, menurut saya sebaiknya RUU ditarik atau dibatalkan pembahasannya,” ujar anggota Komisi I DPR ini.

2. PKS usul memasukkan TAP MPRS XXV/MPRS/1966

PKS: RUU HIP Bermasalah Secara Filosofis, Yuridis, dan SosiologisRapat Paripurna DPR RI (IDN Times/Irfan Fathurohman)

PKS mengusulkan dua poin, pertama, memasukkan TAP MPRS XXV/MPRS/1966 sebagai konsideran yang menjiwai RUU HIP untuk menegaskan bahwa Pancasila tegas menolak seluruh ajaran komunisme, Marxisme, dan Leninisme yang memang bertentangan dengan Pancasila.

“PKI sendiri terbukti telah merongrong kewibawaan Pancasila dan berkhianat pada Republik,” ujar Jazuli.

Baca Juga: Menko Polhukam: RUU HIP Telah Diterima Pemerintah

3. PKS menolak Pancasila diperas menjadi Trisila dan Ekasila

PKS: RUU HIP Bermasalah Secara Filosofis, Yuridis, dan SosiologisDok. IDN Times

Kedua, PKS menolak Pancasila diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Ketentuan tersebut dalam draf RUU HIP menurutnya harus dihapus, karena mereduksi makna Pancasila yang utuh dengan lima silanya.

Jazuli menegaskan, Pancasila yang disepekati bangsa Indonesia adalah yang terdiri dari lima sila dan termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

“Penekanan kembali pada Trisila dan Ekasila bisa mengacaukan konstruksi pemahaman Pancasila dan membuka kembali debat ideologis lama yang kontraproduktif,” ujar dia.

4. Jangan ganggu gugat Pancasila

PKS: RUU HIP Bermasalah Secara Filosofis, Yuridis, dan SosiologisIDN Times/Lia Hutasoit

Jazuli menilai, ada persoalan serius dalam konstruksi RUU HIP dalam menempatkan sila-sila Pancasila. Sila pertama yang seharusnya menjadi sila utama dan menerangi sila-sila lainnya, sangat minimalis penjabarannya dan terkesan hanya pelengkap. Penulisan frasa "Ketuhanan yang berkebudayaan, pensejajaran agama, ruhani, dan budaya", semakin mengesankan reduksi makna sila pertama Pancasila.

Karena itu, kata Jazuli, Fraksi PKS meminta Ketuhanan Yang Maha Esa harus dimaknai secara tepat dan ditempatkan sebagai sila utama yang melandasi, menjiwai, dan menyinari sila-sila lainnya. Hal itu harus tercermin secara maksimal dalam materi muatan draf RUU HIP, bersama penjabaran sila-sila lainnya.

"Sikap tegas Fraksi PKS sejalan dengan kritisi ormas-ormas besar dan publik secara luas. Kami akan perjuangkan dan berharap DPR mau mendengar karena ini soal dasar negara yang sangat fundamental bagi bangsa dan negara Indonesia," kata Jazuli.

5. Ketua MPR: RUU HIP Tidak Beri Ruang Bagi Komunisme dan PKI di Indonesia

PKS: RUU HIP Bermasalah Secara Filosofis, Yuridis, dan SosiologisIDN Times/Margith Juita Damanik

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo memastikan tak ada ruang bagi ajaran komunis maupun Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali hidup di bumi ibu pertiwi, melalui Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang sedang dibahas DPR RI.

Menurut politikus Partai Golkar itu, Indonesia masih memiliki Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, dan pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, serta larangan setiap kegiatan untuk mengembangkan komunisme atau marxisme.

"Walaupun di dalamnya belum mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, bukan berarti menafikan keberadaan TAP tersebut. Baik TAP MPRS maupun RUU HIP, merupakan satu kesatuan hukum yang tak terpisahkan, sebagai pegangan bangsa Indonesia dalam menumbuhkembangkan ideologi Pancasila," ujar pria yang akrab disapa Bamsoet, di Jakarta, Jumat (29/5).

Bamsoet mengingatkan, TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena itu, tanpa disebutkan dalam RUU HIP, organisasi terlarang ini dan ajaran komunismenya tak mungkin lagi dibangkitkan kembali, dengan cara apapun. Sidang Paripurna MPR RI Tahun 2003, MPR RI telah mengeluarkan TAP MPR Nomor I Tahun 2003, yang secara populer disebut dengan 'TAP Sapujagat'.

Disebut demikian karena TAP MPR Nomor I Tahun 2003 ini berisi Peninjauan Tehadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI sejak 1960 sampai 2002. Dan setelah keluarnya TAP MPR No I Tahun 2003 ini, MPR sudah tidak lagi punya wewenang membuat TAP MPR yang bersifat mengatur keluar (regeling).

Dari total 139 TAP MPRS/MPR yang pernah keluarkan, semuanya dikelompokkan menjadi enam kategori dengan rincian sebagai berikut: Pertama, sebanyak delapan TAP MPR dinyatakan tidak berlaku. Kedua, tiga TAP dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan tertentu.

Ketiga, delapan TAP dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu. Keempat, 11 TAP dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang. Kelima, sebanyak lima TAP dinyatakan masih berlaku sampai ditetapkan Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR hasil pemilu 2004.

Kelima, sebanyak 104 TAP MPR dinyatakan dicabut maupun telah selesai dilaksanakan. Oleh karena MPR saat ini sudah tidak lagi memiliki wewenang membuat ataupun mencabut TAP MPR, maka secara yuridis ketatanegaraan pelarangan PKI dan ajaran komunisme dalam TAP MPRS XXV Tahun 1966 telah bersifat permanen.

“Jadi, TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 itu masuk dalam kelompok kedua dan dinyatakan masih berlaku. Sehingga kita tak perlu khawatir PKI bakal bangkit lagi,’’ ujar Bamsoet.

Bamsoet menjelaskan, ada regulasi lain yang juga mengatur soal itu, yakni Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999, tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan kejahatan Terhadap Keamanan Negara.

Undang-undang ini memuat larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme atau Marxisme-Leninisme, dengan ancaman pidana penjara 12 tahun sampai 20 tahun penjara.

“Dengan demikian, tidak ada ruang bagi PKI untuk kembali bangkit kembali,” ujar Bamsoet.

Kepala Badan Bela Negara Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI/Polri (FKPPI) dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menilai, luka bangsa Indonesia terhadap kekejaman PKI sulit dilupakan.

Begitu pun dengan ajaran komunisme yang tak sejalan dengan jati diri masyarakat Indonesia yang berketuhanan, berkeadilan, dan berjiwa gotong-royong. Siapa pun yang mencoba membangkitkan ideologi komunisme di Indonesia, ibarat membangunkan mayat dari dalam kubur.

"Kita memahami jika ada pihak yang khawatir. Namun, tidak perlu khawatir. TNI/Polri, ormas keagamaan seperti NU, Muhamadiyah, dan lain-lain. Ormas kepemudaan seperti Pemuda Pancasila, FKPPI, Kelompok Cipayung, dan lain-lain pasti akan bersatu menghadang bangkitnya partai maupun paham komunisme,” ujar Bamsoet.

Mantan Ketua DPR RI ini menambahkan, sebagai bangsa, Indonesia harus tetap waspada. Isu kebangkitan komunisme yang merebak pun perlu dicermati. Namun tidak perlu gelisah, apalagi dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang tak senang melihat bangsa Indonesia hidup tenang.

"Karenanya sekali lagi, masyarakat tak perlu terlalu risau berlebihan terhadap isu kebangkitan komunisme. Aparat keamanan, umat Islam dan umat beragama lainnya, termasuk ormas-ormas yang menentang PKI selama ini seperti NU, Muhammadiah, Pemuda Pancasila, FKPPI, dan lainnya pasti akan bersatu jika komunisme kembali bangkit. Kita perlu waspada, namun tidak perlu panik," kata Bamsoet.

6. Pemerintah akan menolak bila ada usulan meringkas Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila

PKS: RUU HIP Bermasalah Secara Filosofis, Yuridis, dan SosiologisMenko Polhukam Mahfud MD (Dok. Humas Menko Polhukam)

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan RUU HIP yang disusun DPR dan masuk dalam Prolegnas 2020 ini sudah diterima pemerintah. Namun, Presiden Joko "Jokowi" Widodo belum mengirim surat presiden untuk membahasnya dalam proses legislasi.

“Nanti jika saat tahapan sudah sampai pada pembahasan, pemerintah akan mengusulkan pencantuman TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 dalam konsideran dengan payung ‘mengingat: TAP MPR No. I/MPR/1966’. Di dalam Tap MPR No. I/MPR/2003 itu ditegaskan bahwa Tap MPR No. XXV/1966 terus berlaku,” ujar Mahfud MD dalam webinar bersama tokoh Madura lintas provinsi, Sabtu (13/6) lalu.

Mahfud mengatakan, pemerintah akan menolak bila ada usulan meringkas Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila. Bagi pemerintah, Pancasila adalah lima sila yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 dalam satu kesatuan paham.

“Kelima sila tersebut tidak bisa dijadikan satu atau dua atau tiga tetapi dimaknai dalam satu kesatuan yang bisa dinarasikan dengan istilah ‘satu tarikan napas’,” ujar Mahfud.

Dia menegaskan dalam pembahasan RUU HIP nantinya tidak ada celah bagi komunisme untuk bangkit di Indonesia. “Pelarangan komunisme di Indonesia bersifat final sebab berdasarkan TAP MPR No I Tahun 2003 tidak ada ruang hukum untuk merubah atau mencabut TAP MPRS XXV Tahun 1966,” ujar dia.

7. Beberapa fraksi ramai-ramai menolak pembahasan RUU HIP

PKS: RUU HIP Bermasalah Secara Filosofis, Yuridis, dan SosiologisRapat Paripurna DPR RI (IDN Times/Irfan Fathurohman)

RUU HIP sebelumnya ramai-ramai ditolak beberapa fraksi di DPR lantaran tidak adanya TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 soal pelarangan komunisme di Indonesia.

Di antaranya Fraksi PAN, yang mengkritisi RUU HIP ini tidak mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagai rujukan atau konsideran.

“PAN menilai bahwa TAP MPRS itu masih sangat diperlukan dalam rangka mengawal kemurnian ideologi Pancasila. Termasuk untuk menghalau ideologi-ideologi lain yang bisa saja masuk di tengah-tengah masyarakat,” kata Wakil Ketua Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay saat dihubungi pada (18/5) lalu.

Sebab, menurut Saleh, tanpa TAP MPRS maka tak dipungkiri RUU HIP ini akan dibayang-bayangi dengan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) lewat ideologi yang terselundup di RUU HIP.

Merujuk pada draf RUU HIP, ada delapan rujukan atau konsideran namun TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ini tidak termasuk di dalamnya. Oleh karena itu, PAN bertekad menarik diri dari pembahasan.

“Sikap PAN jelas terkait masalah ini. Jika TAP MPRS itu diabaikan, Fraksi PAN akan menarik diri dari pembahasan. PAN tidak mau bermain-main dengan isu-isu sensitif yang bisa mencederai umat dan masyarakat. PAN tegak lurus dalam membela dan menjunjung tinggi ideologi Pancasila. Karena itu, ideologi-ideologi lain harus ditolak secara tegas,” ujar Anggota Komisi IX itu.

Senada dengan Saleh, Ketua Fraksi Partai NasDem Ahmad Ali juga menyatakan belum bisa mendukung berlanjutnya RUU HIP ke fase pembahasan berikutnya, sepanjang belum dicantumkannya TAP MPRS No XXV Tahun 1966 sebagai salah satu konsideran di dalam RUU dimaksud.

“Dalam pandangan NasDem, konsideran ini tetap harus dicantumkan dalam RUU HIP sebagai salah satu bentuk akomodasi kepentingan dan kedewasaan politik DPR,” ujar Ali lewat keterangan tertulisnya pada (18/5) lalu. 

Fraksi PKS juga sebelumnya menyatakan menolak tidak dimasukkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme ke dalam RUU Halauan Ideologi Pancasila. Sikap ini disampaikan Fraksi PKS saat pengesahan RUU HIP menjadi inisiatif DPR pada Rapat Paripurna DPR RI pada (12/5) lalu. 

Menurut Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini TAP MPRS XXV/MPRS/1966 yang masih berlaku hingga saat ini menyiratkan bahaya laten PKI dan ideologi komunis yang jelas-jelas menjadi ancaman bagi Pancasila. Menurutnya, jika bicara haluan ideologi Pancasila harus dibunyikan dengan tegas soal larangan PKI dan ideologi komunisnya di Indonesia.

"Jangan abaikan bahaya laten komunisme. TAP MPRS XXV/1966 secara resmi masih berlaku karena bahayanya mengancam Bangsa Indonesia sampai dengan saat ini. TAP MPRS tersebut dalam hierarki perundang-undangan berada di atas UU dan di bawah UUD, jadi sudah semestinya menjadi rujukan," kata dia.

Apalagi TAP MPRS XXV/1966 itu berkaitan erat dengan sejarah Pancasila sehingga setiap 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. PKI pernah ingin mengganti ideologi Pancasila tapi gagal. Menjadi aneh, menurut Fraksi PKS, jika TAP MPRS yang penting itu tidak dijadikan konsideran.

“Bicara ideologi Pancasila harus berani secara tegas menolak anasir-anasir yang mengancam keberadaannya," ujar Jazuli.

Oleh karena itu, Fraksi PKS meminta secara tegas agar TAP MPRS XXV/1966 dimasukkan sebagai konsideran RUU HIP. Dalam pembahasan RUU, Fraksi PKS akan terus berkomunikasi lintas fraksi agar memiliki kesamaan pandang tentang pentingnya TAP MPRS tersebut.

"Kami dengar sejumlah fraksi berkomitmen untuk mengusulkan hal yang sama," kata Jazuli. 

Baca Juga: Kawal Pembahasan RUU HIP, Muhammadiyah Utus Tim Jihad Konstitusi

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya