Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-10-15 at 16.30.39 (1).jpeg
Talkshow sejarah dan fakta tragedi Mei 1998, tantangan penyangkalan dan kelembagaan Komnas Perempuan dalam agenda 27 Tahun Komnas Perempuan. (IDN Times/Lia Hutasoit)

Intinya sih...

  • Keberadaan hakim laki-laki dinilai mendiskriminasi

  • Mendesak PTUN Jakarta mengganti anggota majelis hakim jadi perempuan

  • Hakim sidang gugatan Fadli Zon sudah diganti perempuan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Aktivis perempuan dan pendamping korban pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa pada Mei 1998, Ita Fatia Nadia, mengatakan gugatan terhadap Menteri Kebudayaan Fadli Zon akan dibawa ke Mahkamah Konsitusi (MK).

Saat ini Fadli tengah jalani gugatan usai melakukan penyangkalan di ruang publik soal perkosaan massal pada Mei 1998. Pihaknya akan menggugat itu ke MK soal penulisan sejarah yang menegasikan pelanggaran HAM berat masa lalu tentang Mei 1998.

"Saya mau mengatakan sebelum saya tutup, bahwa gugatan kami ke PTUN nanti juga akan kami bawa ke MK, Mahkamah Konstitusi, tentang penulisan sejarah," kata Ita dalam diskusi peringatan 27 Tahun Komnas Perempuan, di Jakarta, Rabu (15/10/2025).

1. Masyarakat sipil gugat Fadli Zon ke PTUN karena sangkal perkosaan 1998

Fadli Zon di penutupan Jakarta World Cinema 2025 di CGV Grand Indonesia, Jakarta, Sabtu (4/10/2025) (dok. IDN Times/Shandy Pradana)

Fadli Zon digugat gabungan individu hingga organisasi usai melakukan penyangkalan di ruang publik soal perkosaan massal pada Mei 1998.

Dari pihak perorangan, hadir tokoh-tokoh kunci yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM seperti Marzuki Darusman (Ketua TGPF Mei 1998), Ita Fatia Nadia (pendamping korban perkosaan massal), Kusmiati (orang tua korban kebakaran Klender), dan Sandyawan Sumardi (koordinator Tim Relawan untuk Kemanusiaan—TRuK). Dari pihak lembaga, penggugat berasal dari Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Kalyanamitra.

Sejumlah individu dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) KontraS menggugat Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada Kamis (11/9). Fadli digugat karena pernah menyangkal di ruang publik adanya perkosaan massal pada Mei 1998. Gugatan sudah didaftarkan ke PTUN dengan nomor registrasi perkara 303/G/2025/PTUN-JKT.

Kuasa hukum Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, Jane Rosalina Rumpia menjelaskan, obyek gugatan mereka adalah pernyataan Menbud di dalam siaran pers Kementerian Kebudayaan Nomor 151/Sipers/A4/HM.00.005/2025 pada 16 Mei 2025. Siaran pers itu disebarkan ke ruang publik pada 16 Juni 2025 lalu melalui akun resmi media sosial Kemenbud dan Fadli Zon.

"Siaran pers itu menyatakan laporan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) ketika itu hanya menyebut angka tanpa ada data pendukung yang solid, baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Di sini lah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri," ujar Jane ketika membacakan ulang cuplikan siaran pers saat memberikan keterangan pada hari ini.

2. Keberadaan hakim laki-laki dinilai mendiskriminasi

Talkshow sejarah dan fakta tragedi Mei 1998, tantangan penyangkalan dan kelembagaan Komnas Perempuan dalam agenda 27 Tahun Komnas Perempuan. (IDN Times/Lia Hutasoit)

Ita menjelaskan, gugatan ini sebelumnya dicabut dan diajukan kembali, dan kini sidang dilaksanakan dengan seluruh hakim perempuan. Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mendesak PTUN Jakarta mengganti anggota majelis hakim, dalam perkara gugatan terhadap Fadli Zon dengan hakim perempuan.

"Kami melakukan persidangan, dan kemarin ketika hakimnya semua laki-laki dan mendiskriminasi keberadaan kami, kami menyatakan gugatan dicabut," katanya.

"Tapi kemudian kami menggugat kembali dan meminta hakimnya semua perempuan. Ini sebuah langkah yang sangat penting dari gerakan perempuan dan gerakan masyarakat sipil yang membawa kasus perkosaan massal," lanjut Ita.

3. Mendesak PTUN Jakarta mengganti anggota majelis hakim jadi perempuan

Koalisi Masyarakat Sipil melawan Impunitas mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon pada Kamis (11/9/2025) (Dok/ Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas)

Pada akhir September, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mendesak PTUN Jakarta mengganti anggota majelis hakim, dalam perkara gugatan terhadap Fadli Zon dengan hakim perempuan.

Dalam sidang kedua, penggugat Rena Herdiyani menilai kehadiran hakim perempuan diperlukan untuk memastikan adanya perspektif korban, dan sensitivitas gender dalam pemeriksaan perkara.

“Kami berharap hakimnya ada yang perempuan. Karena diharapkan hakim juga memiliki perspektif gender, dan juga dalam memeriksa perkara menggunakan pendekatan yang terpusat pada korban,” ujarnya dikuti dari unggahan Instagram @kontras_update.

Permintaan tersebut didasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017, tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

4. Hakim sidang gugatan Fadli Zon sudah diganti perempuan

Koalisi Masyarakat Sipil melawan Impunitas mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon pada Kamis (11/9/2025) (Dok/ Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas)

Kemudian pada Senin, 13 Oktober 2025, gugatan ini sebelumnya dicabut sudah diajukan kembali. Sidang dilaksanakan dengan seluruh hakim perempuan.

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, Virdinda La Ode mengatakan gugatan ini terkait pernyataan melalui siaran pers dan juga unggahan di Instagram Kementerian Kebudayaan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon, terkait penyangkalan terhadap peristiwa dan fenomena perkosaan massal pada Mei 1998.

"Kami hari ini dihadapkan dengan para hakim yang semuanya perempuan, yang artinya bahwa permohonan yang kami ajukan agar kemudian dalam gugatan ini yakin semuanya yang dihadirkan perempuan terkabul, ya kami berharap dengan adanya majelis hakim perempuan adanya perspektif gender, dalam pemeriksaan perkara yang kami ajukan ini, dan juga menghadirkan keadilan yang substantif bagi para korban perkosaan massal Mei 1998," kata dia dalam keterangan melalui video, dikutip Rabu (14/10).

Editorial Team