Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sangkal Pemerkosaan Massal Mei 1998, Fadli Zon Didesak Minta Maaf

Fadli Zon, Menteri Kebudayaan RI di peresmian pameran fotografi NEGERI ELOK 2025 80 Tahun Keberagaman pada Selasa (19/8/2025) di Museum Nasional Indonesia. (IDN Times/Febriyanti Revitasari)
Fadli Zon, Menteri Kebudayaan RI di peresmian pameran fotografi NEGERI ELOK 2025 80 Tahun Keberagaman pada Selasa (19/8/2025) di Museum Nasional Indonesia. (IDN Times/Febriyanti Revitasari)
Intinya sih...
  • Pernyataan Fadli Zon meragukan kebenaran perkosaan massal Mei 1998, mempertegas klaim sebelumnya yang disampaikan dalam wawancara “Real Talk” IDN Times pada 10 Juni 2025.
  • Koalisi masyarakat sipil mendesak Majelis Hakim PTUN agar mengabulkan gugatan terhadap Fadli Zon dan menuntut agar dia menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Koalisi Masyarakat Sipil melawan Impunitas mendesak Menteri Kebudayaan, Fadli Zon meminta maaf menyusul pernyataannya yang menyangkal perkosaan massal Mei 1998 bertentangan dengan sejumlah Peraturan Perundang-undangan, Prinsip AUPB dan HAM, hingga memperlihatkan tindakan yang menyalahgunakan wewenang.

Permintaan untuk Fadli Zon meminta maaf itu termuat dalam petitum gugatan yang dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta atas pernyataan tersebut. Gugatan ini teregistrasi dengan nomor perkara 303/G/2025/PTUT-JKT. Gugatan ini resmi didaftarkan pada Kamis, 11 September 2025.

"Menghukum  Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan RI untuk meminta maaf karena tindakan administrasi pemerintahan yang dilakukannya," tulis mereka, dikutip Sabtu (13/9/2025).

1. Minta Fadli Zon tarik pernyataan lewat

Koalisi Masyarakat Sipil melawan Impunitas mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap Menteri Kebudayaan RI  Fadli Zon pada Kamis (11/9/2025) (Dok/ Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas)
Koalisi Masyarakat Sipil melawan Impunitas mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon pada Kamis (11/9/2025) (Dok/ Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas)

Koalisi juga mendesak majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk mengabulkan gugatan terhadap Fadli Zon. Selain itu, mereka meminta majelis hakim menyatakan tindakan administrasi pemerintahan yang dilakukan Fadli Zon sebagai perbuatan melawan hukum.

"Kami telah melayangkan gugatan berakitan dengan gugatan perbuatan melawan hukum oleh badan dan atau pejabat pemerintahan dengan objek gugatan yang kami layangkan kepada Menteri Kebudayaan berupa tindakan administrasi pemerintahan, yaitu pernyataan Menteri Kebudayaan dalam siaran berita Kementerian Kebudayaan Nomor: 151/Sipers/A4/HM.00.005/2025 tertulis tanggal 16 Mei 2025 (disiarkan pada 16 Juni 2025 dan telah diunggah melalui akun Instagram resmi Menteri Kebudayaan atas nama @fadlizon dan akun resmi Kementerian Kebudayaan atas nama @kemenbud tanggal 16 Juni 2025," ujar Kuasa Hukum Koalisi, Jane Rosalina dalam konferensi pers daring, Jumat (12/9/2025).

2. Pernyataan Fadli Zon yang dinilai problematik

Koalisi Masyarakat Sipil melawan Impunitas mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap Menteri Kebudayaan RI  Fadli Zon pada Kamis (11/9/2025) (Dok/ Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas)
Koalisi Masyarakat Sipil melawan Impunitas mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon pada Kamis (11/9/2025) (Dok/ Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas)

Pernyataan Fadli Zon yang dimaksud dalam gugatan tersebut adalah sebagai berikut:

"...laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Di sinilah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri... Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,"

Pernyataan ini dinilai Koalisi mempertegas klaim sebelumnya yang disampaikan Fadli Zon dalam wawancara Real Talk by IDN Times pada 10 Juni 2025 yang meragukan kebenaran atau cenderung menyangkal terjadinya perkosaan massal pada Mei 1998.

"Ini merupakan pernyataan yang problematik dan kami nilai telah mendelegitimasi kerja-kerja tim gabungan pencari fakta Mei 98," kata Jane.

3. Para penggugat perorangan hingga badan hukum perdata

Koalisi Masyarakat Sipil melawan Impunitas mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon pada Kamis (11/9/2025) (Dok/ Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas)
Koalisi Masyarakat Sipil melawan Impunitas mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon pada Kamis (11/9/2025) (Dok/ Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas)

Dalam gugatan yang diajukan ke PTUN itu, terdapat dua kategori penggugat, yaitu perorangan dan badan hukum perdata. Untuk penggugat perorangan tercatat ada Marzuki Darusman, mantan Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998; Ita F. Nadia, pendamping korban perkosaan massal Mei 1998; Kusmiyati, perwakilan dari Paguyuban Mei 1998 yang juga orangtua korban kebakaran Mei 1998, serta Sandyawan Sumardi, Koordinator Tim Relawan untuk Kemanusiaan

Sementara itu, penggugat dari unsur badan hukum perdata meliputi, Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Kalyanamitra

4. Pernyataan Fadli Zon ditafsirkan sebagai obstruction of justice

Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon. (IDN Times/Amir Faisol)
Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon. (IDN Times/Amir Faisol)

Selain itu, Koalisi menilai objek gugatan a quo pada tindakan administratif Fadli Zon. Pernyataan Fadli Zon yang menyangkal keberadaan perkosaan massal Mei 1998 dinilai sebagai tindakan melampaui kewenangan seorang menteri, sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 190 Tahun 2024. Sebab, kewenangan tentang penyelidikan dan penuntasan pelanggaran HAM berat berada di Jaksa Agung, Komnas HAM, DPR, Presiden, dan Pengadilan HAM.

Koalisi menegaskan, pernyataan tersebut bertentangan dengan UU HAM (UU Nomor 39 Tahun 1999), UU Pengadilan HAM (UU Nomor 26 Tahun 2000), serta dapat ditafsirkan sebagai obstruction of justice karena mengandung informasi yang menyesatkan pada saat proses penyelidikan-penyidikan masih berlangsung.

"Pernyataan tersebut juga melanggar UU TPKS (UU Nomor 12 Tahun 2022), karena menihilkan data dan fakta tentang perkosaan massal, bertentangan dengan prinsip penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, kepentingan korban, serta perlindungan hukum," kata Koalisi.

Pernyataan itu juga dinilai melanggar Konvensi CEDAW (UU Nomor 7 Tahun 1984) karena bersifat diskriminatif terhadap perempuan, serta Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT, UU Nomor 5 Tahun 1998) karena menjauhkan korban dari akses pemulihan, memperlihatkan perlakuan buruk yang merendahkan martabat korban, khususnya perempuan Tionghoa-Indonesia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us

Latest in News

See More

Sempat Diperiksa, Sherina Akan Serahkan Lima Kucing Milik Uya Kuya

13 Sep 2025, 13:35 WIBNews