Jadi Ahli di Sidang MK, PSHK Bahas 3 Kejanggalan UU TNI

- Fajri Nursyamsi mengungkap tiga kejanggalan UU TNI, termasuk tidak masuk sebagai RUU Prioritas 2025 dan disahkan tanpa memenuhi asas keterbukaan serta partisipasi publik bermakna.
- Pemohon sidang menduga adanya dorongan dari Presiden untuk percepatan pembahasan dan pengesahan UU TNI.
- Pemohon terdiri dari berbagai LSM yang menilai revisi UU TNI tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang sesuai UUD NRI Tahun 1945, serta menuntut agar MK menyatakan UU TNI tidak berlaku kembali.
Jakarta, IDN Times - Deputi Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi mengungkap sejumlah kejanggalan pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).
Hal itu disampaikan Fajri sebagai Ahli yang dihadirkan Pemohon perkara 81/PUU-XXIII/2025 dalam sidang lanjutan uji formil UU TNI di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (14/7/2025). Fajri menjelaskan, pihaknya sejak awal melalui pemantauan terhadap proses pembentukan Revisi UU TNI.
"Sama dengan undang-undang lainnya PSAK juga melakukan pemantauan terhadap proses pembentukan revisi undang-undang TNI yang pada akhirnya disahkan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025," kata dia.
1. Ada tiga temuan soal kejanggalan UU TNI

Fajri mengatakan, berdasarkan pemantauan yang dilakukan terhadap UU TNI, pihaknya menemukan tiga kejanggalan. Pertama, UU TNI disahkan tanpa pernah masuk sebagai RUU Prioritas 2025. Lalu, RUU TNI disahkan tanpa melalui tahap penyusunan. Terakhir, UU TNI disahkan tanpa memenuhi asas keterbukaan serta tidak memenuhi partisipasi publik bermakna.
"Dari pemantauan dan penilaian yang dilakukan, ada tiga temuan yang menunjukkan bahwa pertama, undang-undang 3/2025 disahkan tanpa pernah sah masuk sebagai RUU prioritas 2025. Kedua, UU 3/2025 disahkan tanpa melalui tahap penyusunan. Ketiga, UU 3/2025 disahkan tanpa memenuhi asas keterbukaan dan tidak menerapkan partisipasi yang bermakna dalam pembahasannya," tutur dia.
2. Pemohon duga ada dorongan presiden

Sebelumnya, MK menggelar sidang untuk Perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025 dengan agenda perbaikan permohonan pengujian formil UU TNI terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Para Pemohon menyebut UU TNI dimaksud lebih cepat dibahas dan disahkan karena adanya dorongan dari Presiden.
“Kenapa undang-undang ini bisa lebih cepat untuk dibahas dan juga disahkan karena ada dorongan dari Presiden,” ujar Raden Violla Reininda Hafidz selaku kuasa hukum para Pemohon dalam sidang perbaikan permohonan di Ruang Sidang MK, Jakarta, pada Selasa (27/5/2025).
Violla mengatakan revisi UU TNI ini memang diinisiasi DPR untuk masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Namun, Presiden dalam hal ini berperan untuk mendorong agar Rancangan UU TNI tersebut disahkan.
“Presiden yang memiliki dorongan yang lebih tinggi agar undang-undang ini tetap disahkan,” tutur Violla.
3. Pemohon dalam perkara ini terdiri dari berbagai LSM

Adapun, Pemohon dalam perkara ini diajukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Para Pemohon perkara ini ialah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) beserta perseorangan lainnya Inayah WD Rahman, Eva Nurcahyani, dan Fatiah Maulidiyanty. Menurut para Pemohon, UU TNI tersebut tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang sebagaimana diatur UUD NRI Tahun 1945.
Para Pemohon mengatakan, revisi UU TNI tidak terdaftar dalam prolegnas prioritas DPR RI Tahun 2025 serta tidak menjadi RUU prioritas pemerintah bahkan hingga 2029. Revisi UU TNI pun bukan carry over, karena syarat yang harus dipenuhi untuk menjadikan suatu RUU carry over adalah adanya kesepakatan antara DPR, presiden, dan/atau DPD untuk memasukkan kembali RUU ke dalam daftar prolegnas jangka menengah dan/atau prioritas tahunan. Sedangkan, tidak ada revisi UU TNI dalam Keputusan DPR yang berisikan 12 RUU carry over dalam prolegnas tahunan 2025 dan prolegnas 2025-2029.
Para Pemohon menuturkan, proses pembahasan revisi UU TNI sengaja menutup partisipasi publik, tidak transparan, dan tidak akuntabel sehingga menimbulkan kegagalan pembentukan hukum. Segala dokumen pembentukan revisi UU TNI mulai dari naskah akademik, daftar inventarisasi masalah (DIM), hingga undang-undang itu sendiri tidak dapat diakses oleh publik.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar MK menyatakan pembentukan UU TNI tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang menurut UUD 1945, menyatakan UU TNI tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta menyatakan UU TNI berlaku kembali. Sementara dalam provisinya, para Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan UU TNI ditunda pemberlakuannya sampai dengan adanya putusan akhir MK. Selain itu juga, memerintahkan presiden/DPR untuk tidak menerbitkan peraturan pelaksana baru maupun tidak mengeluarkan kebijakan dan/atau tindakan strategis yang berkaitan dengan pelaksanaan UU TNI baru ini.