Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-07-21 at 13.06.06.jpeg
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus mantan Staf Khusus (Stafsus) Wakil Presiden, Satya Arinantoa jadi Ahli yang dihadirkan DPR dalam sidang lanjutan gugatan UU TNI di MK (YouTube.com/MK)

Intinya sih...

  • Satya Arinantoa membahas peranan pendonor alias "bohir" untuk LSM dan NGO dalam sidang UU TNI di MK.

  • Narasi negatif jika usulan aktivis tidak diakomodir dalam undang-undang dianggap tidak ada partisipasi publik.

  • Kendala penerapan prinsip partisipasi publik, termasuk terlalu banyaknya stakeholder dan aktivis yang tak paham isu terkait.

Jakarta, IDN Times - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus mantan Staf Khusus (Stafsus) Wakil Presiden, Satya Arinantoa, menjadi ahli yang dihadirkan DPR dalam sidang lanjutan gugatan Undang-Undang TNI di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (21/7/2025).

Satya sendiri pernah menjabat sebagai stafus Wakil Presiden Bidang Hukum pada lintas periode jabatan, yaitu era Boediono (2009-2014); Jusuf Kalla (2014-2019); dan Ma’ruf Amin (2019-2024).

1. Bahas soal adanya perananan pendonor alias "bohir" untuk LSM

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus mantan Staf Khusus (Stafsus) Wakil Presiden, Satya Arinantoa jadi Ahli yang dihadirkan DPR dalam sidang lanjutan gugatan UU TNI di MK (YouTube.com/MK)

Dalam persidangan, Satya menyinggung berbagai permasalahan dalam pokok permohonan para pemohon dalam gugatan UU TNI perkara Nomor 45, 56, 69, 75, dan 81.

Setidaknya, ada tujuh permasalahan yakni, kedudukan hukum para pemohon; naskah akademik; program legislasi nasional; melanjutkan proses pembentukan RUU (carry over); kesesuaian asas pembentukan peraturan perundang-undangan; dan kesesuaian dengan UUD 1945.

Satya pun secara khusus menyoroti penerapan prinsip partisipasi bermakna publik dalam mengesahkan UU TNI yang kerap dipermasalahkan pemohon. Ia menyinggung mengenai adanya pihak tertentu yang punya kepentingan di balik narasi yang diperjuangkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau Non-Governmental Organization (NGO).

Dia mengaku secara khusus pernah mengkaji mengenai permasalahan ini, bahwa ada yang memberikan dana kepada LSM untuk mengampanyekan narasi tertentu.

"Kemudian saya temukan itu adalah, adanya perananan lembaga donor dalam memberikan masukan, ini pernah saya alami, karena saya dalam perjalanan karier saya berapa kali diminta lembaga donor dari Belanda untuk mereview dana yang diberikan kepada berbagai macamlah, (untuk) NGO, LSM, apakah (dana) itu sesuai peruntukannya," kata dia dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (21/7/2025).

"Dari situ saya tahu bahwa ada program-program yang dari donor, memang mereka menyuarakan tapi itu ada yang titipan donor. Sekarang masalahnya, mana yang sebenarnya merah putih itu yang mana, yang untuk kepentingan merah putih. Yang mulia lebih tahu dari saya, tapi saya mau menyampaikan ini yang saya temukan," sambung Satya.

2. Narasi yang dibangun jika tak akomodir usulan aktivitas langsung anggap tidak ada partisipasi publik

Kepala Divisi Hukum KontraS, Andri Yunus (kiri) ketika menunjukkan surat penolakan terbuka terhadap revisi UU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat. (IDN Times/Santi Dewi)

Satya lantas membahas mengenai narasi negatif yang dibuat kepada pembentuk undang-undang, jika usulan aktivis tidak dituruti dalam undang-undang. Citra yang dibangun seakan dalam proses pengesahan undang-undang tersebut tidak memenuhi prinsip partisipasi bermakna publik.

"Kemudian, apabila ada sesuatu isu tertentu yang diperjuangkan oleh pengurus atau aktivis tersebut kemudian tidak masuk dalam RUU atau dalam undang-undang langsung disebut partisipasi publiknya tidak ada. Mohon izin ya teman-teman ya, saya ngomong jujur ya, belum tentu anda ini atau yang di zoom. Jadi satu saja tidak masuk langsung (menganggap) 'wah kami pendapatnya nggak masuk, tidak ada partisipasi publik di situ', langsung digugat diajukan ke MK. Jadi lama-lama ini yaitu kutunggu kau di MK," kata dia.

3. Kendala lainnya mulai dari terlalu banyaknya stakeholder hingga aktivis tak terlalu paham isu terkait

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Beberapa kendala dalam penerapan prinsip partisipasi publik yang dipaparkan Satya lainnya, ialah terlalu banyaknya stakeholder dalam suatu proses pembentukan peraturan perundang-undangan di suatu tema tertentu.

Kemudian permasalahan lainnya, para pengurus dan aktivis dari stakeholder yang menghadiri proses pembahasan suatu rancangan peraturan perundang-undangan tersebut orangnya cenderung berganti-ganti. Bahkan, tidak semua pengurus dan aktivis yang menghadiri proses pembahasan suatu rancangan peraturan perundang-undangan benar-benar memahami topik peraturan perundang-undangan yang dibahas secara mendalam, sehingga terkendala saat memberikan masukan.

Dalam kesimpulan keterangan yang disampaikan, Satya menyimpulkan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), sehingga permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Ia meminta agar permohonan para Pemohon ditolak untuk seluruhnya dan keterangan DPR RI secara keseluruhan diterima.

Selain itu, proses pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dinyatakan telah sesuai dengan UUD 1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan.

Editorial Team