Kuswanto berpakaian rapi, lengkap dengan sepatu pantofel yang membuat penampilannya klimis saat mengajar di SMP N 3 Gandrungmangu Cilacap. Meski pakaiannya berbeda dengan seragam guru lainnya di sekokah itu, ia tetap percaya diri mengajar.
Kuswanto mengajar Pendidikan Kepercayaan di tiga sekolah di tiga kecamatan berbeda, SMPN 3 Gandrungmangu, SMP N 1 Cipari dan SMK Yos Sudarso Sidareja. Setiap hari, Kuswanto harus pontang panting menuju sekolah di kecamatan lain dengan jarak cukup jauh dari tempat tinggalnya.
Nyaris tiada waktu bagi dia untuk mencari nafkah di bidang lain. Hari-harinya disibukkan dengan aktivitas mengajar. Sayang, untuk pekerjaan yang menyita banyak waktunya itu, Kuswanto tak mendapatkan upah layaknya guru lain meski menjalankan fungsi sama.
Mengajar Kepercayaan bagi Kuswanto adalah pengorbanan. Tidak masalah ia mengajar gratisan, asal siswa penghayat dapat terpenuhi hak pendidikannya sesuai keyakinan yang dianut.
Terlebih, pengakuan pemerintah terhadap hak siswa penghayat adalah momentum yang telah lama dinanti. Ia tak ingin kesempatan itu pupus hanya karena ketiadaan guru yang mengajar.
Di lain sisi, tentu ia tak rela siswa penghayat diajar oleh guru yang tidak kompeten di bidangnya. Sebab pemerintah belum memiliki tenaga pendidik dengan kualifikasi Sarjana Pendidikan Kepercayaan.
Karena itu, Kuswanto berkomitmen akan terus mengajar demi terlayaninya hak anak-anak penghayat. Meski untuk itu, duda anak satu itu harus berkorban banyak hal. "Sampai sekarang saya belum menikah lagi karena belum tentu calon istri saya siap dengan pekerjaan saya ini," katanya.
MLKI Cilacap begitu bersemangat untuk memikirkan pendidikan bagi anak-anak mereka. Saat ini, MLKI bahkan memiliki kurang lebih 12 guru penghayat yang berbagi tugas untuk mengajar di 14 sekolah di Cilacap.
Mereka rata-rata berpendidikan setingkat SMA, atau lebih rendah. Para guru relawan ini punya latar belakang profesi yang beragam, mulai dari petani, tukang bangunan hingga buruh serabutan.
Menjadi guru bukan hal mudah. Mereka tidak punya latar belakang ilmu kependidikan. Padahal untuk mengajar butuh keahlian. Karena itu, tidak semua tokoh peghayat bisa mengajar, meski pengetahuan mereka di bidangnya mumpuni.
Ketua MLKI Cilacap Basuki Rahardja mengatakan, untuk memenuhi kualifikasi itu, pihaknya membekali calon guru sebelum diterjunkan ke sekolah untuk mengajar. MLKI memberikan diklat agar mereka punya kepercayaan diri dalam mengajar. Di antaranya terkait teknik mengajar, hingga pemahaman soal silabus, atau materi ajar.
Angin segar kini berhembus di tengah mereka. Pemerintah melalui Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa memberikan kesempatan kepada guru penghayat dengan kualifikasi pendidikan akhir minimal SMA dan usia di bawah 50 tahun untuk mengikuti diklat atau program sertifikasi.
Basuki berharap diklat untuk guru penghayat ini bukan hanya meningkatkan kemampuan mereka mengajar, tetapi jadi langkah awal bagi pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan mereka. "Tentu harapannya ke arah situ, kesejahteraan. Karena mereka ini menjalankan tugas negara," katanya.
MLKI juga terlibat dalam penyediaan perangkat pembelajaran, baik guru maupun buku ajar mapel Kepercayaan yang telah disiapkan. Bahan ajar berisi intisari atau pokok ajaran dari seluruh paguyupan kepercayaan, antara lain menyangkut materi Ketuhanan dan budi pekerti.
Kasi Sekolah Dasar (SD) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Cilacap Untung Mayogo mengatakan, pemerintah memang belum menyediakan anggaran khusus untuk guru Kepercayaan. Kendati demikian, menurut dia, terbuka kesempatan bagi guru kepercayaan untuk mendapatkan hak kesejahteraan dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sebagian alokasi BOS memang diperbolehkan untuk menggaji guru atau pegawai bukan PNS di sekolah.
Masalahnya, kata Untung, pengajar kepercayaan tidak memenuhi kualifikasi guru, di antaranya mensyaratkan lulusan S1 atau mengajar sesuai jurusannya. Sedangkan guru penghayat rata-rata berpendidikan akhir SMA atau di bawahnya. Karena itu, mereka selama ini disebut penyuluh, bukan guru.
Karena tak masuk kualifikasi guru, para pendidik ini, kata dia, masih bisa diberikan upah melalui alokasi BOS untuk tenaga non guru, semisal dimasukkan dalam kategori pembina ekstrakurikuler. "Ya paling yang memungkinkan itu, pembina ekstra," katanya.
—Rappler.com