Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ada Hak Siswa Penghayat Kepercayaan di Sekolah

PENGANUT ALIRAN KEPERCAYAAN. Kiara Candra Puspita (16 tahun) mendengarkan penjelasan pelajaran kepercayaan dari Nugroho (44 tahun), seorang penyuluh aliran kepercayaan, di SMA Negeri 11 Kota Yogyakarta, Kamis 15 Februari 2018 siang. Kiara adalah satu-satunya penganut aliran kepercayaan di sekolah itu. Foto oleh Anang Zakaria/Rappler

Oleh Anang Zakaria

YOGYAKARTA, Indonesia — Lepas zuhur di Sekolah Menengah Atas Negeri 11 Kota Yogyakarta, pertengahan Februari 2018 lalu. Beberapa siswa meriung, menjadi beberapa kelompok di ruang perpustakaan. Mereka tampak mendiskusikan tugas bersama, serius meski sesekali terdengar canda tawa.

Tapi tidak bagi Kiara Candra Puspita, remaja 16 tahun, siswi kelas X. Ia memilih berbincang dengan Nugroho (44 tahun) di depan meja penerima tamu perpustakaan. Duduk di kursi, berhadapan, dengan sebuah komputer jinjing di atas meja. Sembari menggerakkan jarinya di atas bantalan sentuh komputer, Nugroho menjelaskan materi yang tampil di layar monitor. Sementara Kiara memerhatikan dengan seksama.

“Ya seperti ini suasana pembelajarannya, kadang kalau perpustakaan penuh kami belajarnya di emperan kelas,” kata Nugroho.

Kiara adalah satu-satunya siswa penganut aliran kepercayaan di sekolah itu. Sejak 2016, melalui Permendikbud nomor 27 tahun 2016, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memerintahkan sekolah dan pemerintah daerah memberikan layanan pendidikan kepercayaan bagi siswa penganut. Sehingga mereka punya kesempatan setara dengan siswa pemeluk enam agama lain.

Berbeda dengan tenaga pengajar agama Islam atau Katolik misalnya, pendidik pelajaran kepercayaan bukan guru di tempat mereka sekolah. Mereka disebut penyuluh dan diangkat Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Di sekujur Indonesia kini baru ada 52 penyuluh pendidikan kepercayaan. Nugroho adalah salah satunya. Ia mengajarkan pelajaran kepercayaan setelah ada permintaan dari sekolah. Sebelum diangkat menjadi penyuluh, para calon mendapat bimbingan dari Direktorat. “Di Yogya ini ada dua orang penyuluh, saya salah satunya,” kata dia.

Saat ini, ia melanjutkan, ada dua sekolah di Daerah Istimewa yang menyelenggarakan layanan pelajaran kepercayaan pada siswa penghayat. Selain di SMA Negeri 11 Kota Yogyakarta, satu sekolah lain adalah SMK Negeri 1 Kasihan, Bantul. Di sekolah itu, ada dua orang siswa penghayat kepercayaan.

Anggota Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia DIY Kuswijaya memerkirakan jumlah siswa penganut aliran kepercayaan lebih dari angka itu. Mereka tersebar di banyak sekolah, tak terbatas SMA Negeri 11 Kota Yogyakarta dan SMK Negeri 1 Bantul. Persoalannya, untuk mengungkapkan identintasnya, mereka tak sepercaya diri laiknya siswa lain yang menganut agama-agama yang diakui pemerintah. “Tak semudah siswa agama lain,” katanya.

MLKI menjadi tempat berhimpun paguyuban-paguyuban aliran kepercayaan di Indonesia. Di DIY setidaknya ada 40 paguyuban yang bernaung di organisasi ini. Struktur kepengurusannya berbentuk presidium, dari tingkat pusat (7 orang), propinsi (5 orang), hingga kota atau kabupaten (3 orang).

Ia mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan para penganut kepercayaan pada 7 November 2017 lalu menjadi angin segar. Para penganut kepercayaan memiliki hak setara sebagai warganegara. Jika sebelumnya, sebagian besar mencantumkan agama tertentu atau mengosongkan kolom agama di kartu tanda penduduknya, kini mereka bisa mengisi sesuai kepercayaan yang dianutnya.

Sayangnya, ia melanjutkan, proses perekaman dan pemutakhiran data kependudukan di tiap daerah berbeda. Padahal dengan data itu, tiap orang—termasuk penganut kepercayaan—bisa secara tepat mendapatkan haknya sebagai warganegara. Berkesempatan memperoleh layanan pendidikan, mendapat mata pelajaran kepercayaan di sekolahnya.

Tak beragama bukan tak bertuhan

Pertengahan tahun adalah musim penerimaan siswa baru. Termasuk di SMA Negeri 11 Yogyakarta. Adalah Kiara Candra Puspita salah satu calon siswa yang mendaftar pada 2017 lalu.

Laiknya calon siswa lain, Kiara disodori formulir pendaftaran dan diminta menuliskan identitasnya. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, alamat, hingga agama yang dianutnya. Pada kolom agama, pendaftar diminta memilih salah satu agama yang tertera.

“Pas disuruh memilih agama, saya coret semua,” katanya mengenangkan prosesnya mendaftar sekolah di SMA Negeri 11 Kota Yogyakarta, Kamis 15 Februari 2018. Petugas pendaftaran bingung. “Saya ditanya, 'Agamamu apa?'” lanjutnya berkisah.

Kiara lahir dari keluarga relijius. Ia akrab dengan ajaran Islam sejak kecil. Orang tuanya muslim. Bahkan kakek buyutnya seorang kiai yang mengampu pesantren.

Keinginan untuk tak memilih satu dari enam agama yang diakui pemerintah, kata dia, muncul sejak duduk di bangku sekolah dasar. Hasrat itu kian kuat ketika di sekolah menengah pertama. Tapi seperti kebanyakan siswa lain, ia pun harus memilih salah satu materi pendidikan agama. “Sejak SD masuk pelajaran agama Islam,” katanya.

Kian dewasa, Tiara kian terbuka dengan pemikirannya. Beruntung, kedua orang tuanya juga terbuka dengan pemikiran anaknya. Meski muslim, mereka tak pernah memaksakan keyakinan pada anaknya. Perbedaan pendapat yang ada disikapi dengan diskusi.

Perkenalannya dengan aliran kepercayaan, kata dia, justru datang dari ayahnya. Suatu hari, ayahnya memberikan nomor kontak seorang penghayat Sapto Darmo. Penasaran, Kiara mengubunginya. Ia mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang aliran kepercayaan. Hingga akhirnya ia mengenal aliran kepercayaan yang lain, yaitu Sumarah.

Dalam buku Sejarah Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia terbitan Direktorat Kepercayaan tahun 2017, Sapto Darmo adalah aliran kepercayaan yang didirikan oleh Sri Gutama di Pare, Kediri pada 27 Desember 1952.

Adapun Sumarah, didirikan oleh Raden Ngabehi Soekinhartono di Semanu, Gunungkidul. Dalam buku Sejarah Paguyuban Sumarah terbitan Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan tahun 1980, Soekino menerima wahyu pertamanya pada 1937. Nugroho, penyuluh pelajaran kepercayaan di SMA Negeri 11 Kota Yogyakarta adalah penganut Sumarah. Ia cucu Soekino.

Default Image IDN

Dalam pencariannya, Kiara akhirnya memilih Sumarah sebagai jalan mendekatkan diri pada Tuhan. “Saya sreg,” katanya.

Meski sesama penganut Sumarah dengan Kiara, Nugroho mengatakan materi yang diajarkan bagi siswa penghayat kepercayaan tak terpusat pada aliran yang dianut. Sesuai modul pengajaran yang ditetapkan kementerian pendidikan, materi pelajaran kepercayaan lebih banyak mengulas tentang ajaran budi pekerti. “Materinya dari kementerian, ada kompetensi dasar dan intesifnya,” katanya.

—Rappler.com

Share
Topics
Editorial Team
Yetta Tondang
EditorYetta Tondang
Follow Us