Ternyata, Sapaan Haji di Tanah Air Ada sejak Zaman Kolonial

Gelar haji pada zaman kolonial diberikan untuk pengawasan

Jakarta, IDN Times - Apa kabar Pak Haji? Apa kabar Bu Haji? Sapaan hangat ini tentu tak asing di telinga masyarakat Indonesia.

Sapaan Pak Haji maupun Bu Haji biasa digunakan saat berbincang dengan orang yang telah menunaikan ibadah haji yang menjadi rukun Islam kelima. Ya, sebagai bentuk penghargaan atau rasa hormat.

Antropolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi, menyebut penyematan gelar haji sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Sebutan itu kemudian terus berkembang hingga sampai saat ini.

Dadi mengatakan, dikutip dari kemenag.go.id, bagi sebagian masyarakat, gelar haji dinilai penting. Gelar tersebut dianggap sebagian masyarakat sebagai hal yang membanggakan dan mencerminkan status sosial.

Menurutnya, ada tiga perspektif pemberian gelar haji kepada masyarakat yang telah berhaji. Apa saja itu?

Baca Juga: Masih Pandemik, 37.988 Jemaah Calon Haji Jabar Tertunda ke Tanah Suci

1. Perspektif keagamaan dan kultural

Ternyata, Sapaan Haji di Tanah Air Ada sejak Zaman KolonialUmat Muslim memakai masker pelindung dan menjaga jarak sosial melakukan Tawaf mengelilingi Ka'bah dalam musim Haji di tengah pandemi penyakit virus korona (COVID-19) di kota suci Mekah, Arab Saudi, Jumat (31/7/2020) (ANTARA FOTO/Saudi Press Agency/Handout via REUTERS)

Secara perspektif keagamaan, Dadi mengungkapkan, haji adalah perjalanan untuk menyempurnakan rukun Islam. Perjalanan yang jauh, biaya tidak sedikit, syarat yang tidak mudah, membuat ibadah haji menjadi sebuah perjalanan ibadah yang semakin penting dan tidak semua orang bisa melakukannya.

“Untuk itulah gelar haji dianggap layak dan terus disematkan bagi mereka yang berhasil melakukannya,” tuturnya.

Dari perspektif kultural, ia mengatakan, sebagian besar tokoh-tokoh masyarakat juga bergelar haji. Selain itu, ada cerita menarik hingga heroik selama berhaji menjadi daya tarik bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama.

“Hal-hal inilah saya kira yang membuat ibadah haji semakin penting dan gelar haji di Indonesia punya nilai dan status sosial yang tinggi,” ucap Dadi.

2. Gelar haji untuk permudah pengawasan

Ternyata, Sapaan Haji di Tanah Air Ada sejak Zaman KolonialSuasana Jamaah Haji di depan Ka'bah, Masjidil Haram, Makkah (IDN Times/Umi Kalsum)

Perspektif ketiga yakni kolonial. Gelar haji sudah disematkan sejak zaman kolonial Belanda. Hal ini dilakukan untuk menandai orang-orang yang sudah pergi haji. Sebab, pemerintah kolonial Belanda takut pengaruh dari masyarakat yang telah berhaji.

“Itu dari perspektif kolonial. Padahal menurut Snouck Hurgronje, yang meneliti haji, saat itu, jemaah haji tidak layak ditakuti sebagai anti-penjajah,” tandasnya.

Berdasarkan buku Berhaji di Massa Kolonial karya Dr M Dien Majid tahun 2008, seseorang yang telah berhaji juga harus mengenakan surban dan jubah. Tentu hal ini agar mudah dikenali oleh pemerintah kolonial.

Baca Juga: Bagian dari Hijrah, Yuk Rencanakan Berhaji Selagi Masih Muda!

3. Sertifikat haji dari pemerintah kolonial

Ternyata, Sapaan Haji di Tanah Air Ada sejak Zaman KolonialIlustrasi Jamaah Haji (IDN Times/Umi Kalsum)

Namun memakai jubah serta surban ini tidak bisa asal. Hanya seseorang yang benar-benar telah berhaji yang berhak mengenakan pakaian tersebut.

Mulai 1859, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan sertifikat haji, sebagai upaya menyeleksi orang-orang yang benar telah pergi berhaji. Seseorang yang baru pulang berhaji wajib menghadap bupati untuk mendapatkan sertifikat tersebut.

Dengan disaksikan kiai dan ulama, mereka yang pulang dari haji harus menjawab pertanyaan seputar haji. Jika lolos maka akan diberi sertifikat dan gelar haji.

Baca Juga: 3 Tips Mengelola Finansial agar Ibadah Haji Gak Sekadar Lagi Mimpi

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya